Bpd, Forum Demokrasi Desa Yang Terlupakan
Lemahnya fungsi BPD dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dikhawatirkan akan mengganggu prosedur check and balances, sehingga pada gilirannya kekuasaan pemerintah desa lebih dominan.
Melalui asas rekognisi dan subsidiaritas, UU No. 6/2014 perihal Desa (UU Desa) mengusung semangat penguatan Desa sebagai entitas yang mandiri, yaitu suatu entitas yang sanggup menyelenggarakan urusannya sendiri tanpa campur tangan berlebih dari pemerintah (supra desa). Dalam mengatur urusannya sendiri itulah Desa diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan desa yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, dimana warga desa mempunyai kedudukan yang setara dengan pemerintah desa dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut. Dalam konteks ini Badan Permusyawaratan Desa (BPD) menjadi penting alasannya yakni keberadaannya sebagai representasi warga desa.
Dalam fungsinya sebagai pihak yang membahas dan menyepakati rancangan Peraturan Desa (Perdes), BPD tidak lebih proaktif dari Kepala Desa. Meskipun rancangan sanggup saja diajukan oleh BPD namun pada kenyataannya lebih sering rancangan Perdes diusulkan oleh Kepala Desa. Pada kasus yang lain, rancangan Perdes yang telah dirumuskan dan diajukan oleh Kepala Desa gagal disahkan alasannya yakni BPD tidak kunjung membahasnya. Kondisi ini menjadikan Desa kurang produktif dalam mengesahkan Perdes di luar Perdes-Perdes yang pokok, yaitu Perdes perihal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), Aanggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes).
Dalam hal menampung aspirasi warga, BPD masih kurang mendapat kepercayaan dari masyarakat. Ini sanggup dilihat dari kecenderungan warga desa yang lebih menentukan memberikan aspirasinya kepada orang yang dianggap akrab secara kekuasaan dengan kepala desa, dengan keinginan bahwa orang tersebut akan menyampaikannya pribadi kepada kepala desa. Ada juga warga yang mengadukan aspirasinya kepada ketua RT atau RW. Di Panggungharjo, justru aspirasi warga disampaikan kepada para penarik sampah yang mendatangi rumah penduduk tiap pagi. Para penarik sampah yang bekerja untuk Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) pengolahan sampah tersebut memang sengaja ditugaskan oleh Pemerintah Desa untuk menjalankan kiprah sebagai wakil desa untuk menampung aspirasi dan dilema warga. Menurut kepala desa Panggungharjo, melalui prosedur semacam ini pemerintah desa pernah mengatasi dilema warga yang terjerat rentenir.
Sebagai pengawas kinerja kepala desa, BPD hampir tidak pernah membahas secara serius laporan pertanggungjawaban pemerintah desa. Hampir tidak pernah ditemui BPD memperlihatkan catatan terhadap laporan tersebut. Laporan pertanggungjawaban kepada bupati cenderung dianggap penting ketimbang kepada BPD, alasannya yakni menganggap laporan kepada bupati akan berimplikasi pada persetujuan untuk pencairan dana desa tahap berikutnya. Dari data yang ada terungkap bahwa kekerabatan antara BPD dan Pemdes cenderung “harmonis”, tidak ada suatu wacana kritis yang dikedepankan oleh BPD dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan desa. Kantor BPD sendiri kebanyakan merupakan bab dari kantor pemerintah desa. Memang pernah diakui oleh BPD, bahwa pihaknya melaksanakan pengawasan, namun dalam hal ini pengawasan yang dilakukan yakni berupa pengecekan terhadap proses pengerjaan pembangunan fisik, bukan pengawasan yang bersifat komprehensif terkait dengan spesifikasi material dengan dokumen perencanaan misalnya. Kalaupun ini sanggup disebut sebagai menjalankan kiprah pengawasan, pengawasan yang dilakukan masih terbilang kurang substantif, alasannya yakni tidak melaksanakan pengawasan terhadap kinerja kepala desa secara keseluruhan.
Dalam kasus yang lain, yakni dalam hal menangkap rekomendasi, pemerintah desa cenderung lebih banyak meminta rekomendasi kepada pemerintah kabupaten daripada kepada BPD. Kasus kepala desa Berumbung pada ketika hendak membangun gedung pertemuan dari dana ADD, semoga tidak terkena hukum tender harus diturunkan dananya di bawah Rp 200 juta, harus konsultasi dengan BPMD Kabupaten. Pembangunan dijalankan sesudah mendapat rekomendasi dari BPMD, sedangkan BPD yang mestinya menjalankan kiprah kontrol pemerintahan desa tidak dimintakan rekomendasi.
Masalah yang Dihadapi
Lemahnya fungsi BPD dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dikhawatirkan akan mengganggu prosedur check and balances, sehingga pada gilirannya kekuasaan pemerintah desa lebih dominan. Dominasi pemerintah desa ini lambat laun akan menggulung kiprah dan partisipasi warga desa, yang pada kesudahannya akan memperlemah proses demokrasi di tingkat desa.
Terkait dengan kurang optimalnya fungsi BPD tersebut, kami mengindentifikasi beberapa dilema sebagai berikut. Pertama, lemahnya pengorganisasian. Sebagai sebuah lembaga, BPD tidak dikelola melalui prosedur pengorganisasian yang baik. Dari pengamatan yang paling sederhana saja, hampir tidak ditemukan bagan perihal struktur organisasi BPD. Pada hal yang lebih substantif, secara kelembagaan BPD kurang terlihat dalam mengorganisir para anggotanya, sehingga para anggota BPD terkesan bekerja secara asal-asalan. Dari keseluruhan BPD yang diteliti, pada umumnya hanya sedikit saja dari anggota BPD yang aktif. Bahkan ada BPD yang aktif hanya ketuanya saja. Di desa yang lain, ada salah satu anggota BPD yang tidak aktif hingga enam bulan, namun tidak ada upaya secara kelembagaan untuk mengatasi dilema tersebut.
Kedua, nihil pemberian staf dan kesekretariatan. Selain soal pengorganisasian, lemahnya fungsi BPD juga alasannya yakni secara kelembagaan BPD tidak didukung oleh staf yang mengelola sekretariat. Ketiadaan staf dan kesekretariatan menjadikan BPD tidak dikelola secara baik sebagai sebuah lembaga. Hal ini berbeda dengan pemerintah desa yang mempunyai struktur kelembagaan yang jelas, termasuk pemberian staf dan kesekretariatan. Melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 84 tahun 2015 perihal Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa bagan struktur Pemerintah Desa digambarkan secara jelas, dimana Pemerintah Desa didukung dengan Sekretariat Desa yang diketuai oleh Sekretaris Desa yang membawahi para Kepala Urusan.
Ketiga, hak bagi anggota BPD yang kurang jelas. Isu yang mengemuka dalam kajian ini juga termasuk hal yang terkait dengan hak anggota BPD. Muncul pendapat yang mengemuka yang beranggapan bahwa hak yang diterima oleh anggota BPD dirasa masih jauh dibanding dengan yang diterima oleh kepala desa. Meskipun tolong-menolong banyak hak yang seharusnya diterima oleh BPD, namun dalam praktiknya hak-hak tersebut belum sepenuhnya diterima. Peraturan Pemerintah No. 43/2014 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 47/2015 (PP Desa), pada pasal 78 diatur bahwa pimpinan dan anggota BPD mendapat hak untuk memperoleh tunjangan pelaksanaan kiprah dan fungsi dan tunjangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; biaya operasional; pengembangan kapasitas melalui pendidikan dan pelatihan, sosialisasi, pembimbingan teknis, dan kunjungan lapangan dan penghargaan dari pemerintah tempat provinsi, dan pemerintah tempat kabupaten/kota bagi pimpinan dan anggota BPD yang berprestasi. Dari beberapa hak yang diatur oleh PP tersebut, gres hanya tunjangan kiprah dan fungsi saja yang telah diberikan. Itupun dengan jumlah yang tidak menentu.
Keempat, minim kapasitas personal. Secara individual, anggota BPD tampak kurang mempunyai kapasitas yang memadai terkait pribadi dengan fungsinya. Sebut saja misalnya, dalam fungsinya sebagai pembahas rancangan Perdes, anggota BPD semestinya mempunyai kemampuan dalam bidang legal drafting. Namun dalam kenyataannya, hampir sanggup dipastikan bahwa sebagian besar anggota BPD tidak mempunyai kemampuan tersebut. Dengan demikian rancangan Perdes lebih banyak berasal dari kepala desa. Dalam hal pengawasan kepala desa, banyak anggota BPD yang kurang memahami konsep pengawasan yang sesungguhnya, sehingga yang dilakukan hanyalah pengawasan secara parsial, yakni sebatas mengawasi pembangunan fisik. Pada hal yang paling mendasar, banyak juga ditemui anggota BPD yang kurang cakap dalam berkomunikasi. Padahal sebagai penyalur aspirasi masyarakat, anggota BPD semestinya mempunyai kemampuan komunikasi yang mumpuni, bahkan hingga pada tingkat sanggup menghipnotis orang lain.
Akar Masalah
Dari keseluruhan problem tersebut, akar dilema yang sanggup ditarik yakni alasannya yakni secara normatif, belum ada peraturan turunan yang mengatur secara spesifik perihal BPD. Dapat disampaikan di sini bahwa dari keseluruhan hal yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan desa, BPD termasuk forum yang belum mempunyai hukum turunan secara spesifik, terutama hukum di tingkat lokal ibarat Perda, SK Bupati/Walikota dan hukum sejenisnya. Ketiadaan hukum inilah yang menjadikan BPD merasa kurang mempunyai contoh jelas. Ketiadaan hukum di tingkat lokal bisa jadi alasannya yakni belum ada peraturan yang seharusnya diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri. Sebagaimana diatur dalam PP Desa pasal 79, Kementerian Dalam Negeri seharusnya menerbitkan peraturan untuk mengatur lebih lanjut ketentuan perihal tugas, fungsi, kewenangan, hak dan kewajiban, pengisian keanggotaan, pemberhentian anggota, serta peraturan tata tertib BPD. Namun hingga kini peraturan sebagaimana dimaksud belum terbit.
Aturan turunan sebagaimana dimaksud yakni hukum lokal berupa Perda. Namun di sisi lain, pemerintah kabupaten/kota sulit untuk menerbitkannya alasannya yakni mandat penerbitan peraturan menteri belum diterbitkan oleh Kemendagri. Ketiadaan Permendagri perihal BPD menciptakan BPD menjadi forum demokrasi yang terlupakan.[Sumber:datadesa.com]
Melalui asas rekognisi dan subsidiaritas, UU No. 6/2014 perihal Desa (UU Desa) mengusung semangat penguatan Desa sebagai entitas yang mandiri, yaitu suatu entitas yang sanggup menyelenggarakan urusannya sendiri tanpa campur tangan berlebih dari pemerintah (supra desa). Dalam mengatur urusannya sendiri itulah Desa diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan desa yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, dimana warga desa mempunyai kedudukan yang setara dengan pemerintah desa dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut. Dalam konteks ini Badan Permusyawaratan Desa (BPD) menjadi penting alasannya yakni keberadaannya sebagai representasi warga desa.
Demokrasi desa sendiri sejatinya telah diafirmasi semenjak awal reformasi bergulir, tepatnya melalui UU No. 22/1999. Didorong oleh semangat mengevaluasi pemerintahan Orde Baru yang cenderung sentralistik, UU No. 22/1999 mengusung penguatan tatakelola pemerintahan lokal melalui prinsip demokrasi, termasuk pemerintahan Desa di dalamnya. Dalam konteks itulah kemudian UU No. 22/1999 memandatkan pembentukan Badan Perwakilan Desa yang menjalankan fungsi sebagai tubuh legislatif desa.
Di masa Orde Baru, dimana Desa diposisikan sebagai perpanjangan manajemen pemerintah pusat, sanggup dipastikan tidak tumbuh demokrasi di level desa. Berbagai keputusan yang diambil oleh pemerintah desa tidak lain didasarkan sepenuhnya pada isyarat dari Pemerintah Pusat. Meskipun tolong-menolong pada ketika itu di desa terdapat forum serupa BPD yaitu Lembaga Musyawarah Desa (LMD) sebagaimana dimandatkan oleh UU No. 5/1979, namun sebagaimana yang terjadi pada tubuh legislatif di level nasional, LMD pun menjadi forum demokrasi yang semu.
Keberadaan dan fungsi Badan Perwakilan Desa tetap dipertahankan sesudah UU No. 22/1999 diganti menjadi UU No. 32/2004, meskipun secara harfiah mengalami perubahan sebutan menjadi Badan Permusyawaratan Desa. Sebutan ini tetap dipertahankan di bawah pengaturan UU Desa kini ini. Mengingat keberadaannya yang sudah cukup lama, semestinya BPD telah menjadi forum yang relatif mapan dalam memperkuat proses demokrasi di desa. Terlebih sesudah diperkuat secara normatif oleh UU Desa, BPD semestinya menjadi poinir dalam mendorong kemandirian desa sebagaimana yang dikehendaki oleh UU Desa.
Kurang Optimal BPD Menjalankan Fungsinya
Namun di sisi lain, meskipun mempunyai posisi yang sangat strategis, BPD masih belum optimal dalam menjalankan fungsinya. Gejala ini tampak pada hasil penelitian PATTIRO terhadap dua desa masing-masing di kabupaten Kebumen, Bantul dan Siak. Sebagaimana diketahui, sebagai institusi demokrasi desa, berdasarkan UU Desa BPD mempunyai tiga fungsi, yaitu 1) membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa; 2) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan 3) melaksanakan pengawasan kinerja Kepala Desa. Penelitian PATTIRO memperlihatkan bahwa secara umum BPD masih belum optimal dalam menjalankan ketiga fungsi tersebut.
Namun di sisi lain, meskipun mempunyai posisi yang sangat strategis, BPD masih belum optimal dalam menjalankan fungsinya. Gejala ini tampak pada hasil penelitian PATTIRO terhadap dua desa masing-masing di kabupaten Kebumen, Bantul dan Siak. Sebagaimana diketahui, sebagai institusi demokrasi desa, berdasarkan UU Desa BPD mempunyai tiga fungsi, yaitu 1) membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa; 2) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan 3) melaksanakan pengawasan kinerja Kepala Desa. Penelitian PATTIRO memperlihatkan bahwa secara umum BPD masih belum optimal dalam menjalankan ketiga fungsi tersebut.
Dalam fungsinya sebagai pihak yang membahas dan menyepakati rancangan Peraturan Desa (Perdes), BPD tidak lebih proaktif dari Kepala Desa. Meskipun rancangan sanggup saja diajukan oleh BPD namun pada kenyataannya lebih sering rancangan Perdes diusulkan oleh Kepala Desa. Pada kasus yang lain, rancangan Perdes yang telah dirumuskan dan diajukan oleh Kepala Desa gagal disahkan alasannya yakni BPD tidak kunjung membahasnya. Kondisi ini menjadikan Desa kurang produktif dalam mengesahkan Perdes di luar Perdes-Perdes yang pokok, yaitu Perdes perihal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), Aanggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes).
Dalam hal menampung aspirasi warga, BPD masih kurang mendapat kepercayaan dari masyarakat. Ini sanggup dilihat dari kecenderungan warga desa yang lebih menentukan memberikan aspirasinya kepada orang yang dianggap akrab secara kekuasaan dengan kepala desa, dengan keinginan bahwa orang tersebut akan menyampaikannya pribadi kepada kepala desa. Ada juga warga yang mengadukan aspirasinya kepada ketua RT atau RW. Di Panggungharjo, justru aspirasi warga disampaikan kepada para penarik sampah yang mendatangi rumah penduduk tiap pagi. Para penarik sampah yang bekerja untuk Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) pengolahan sampah tersebut memang sengaja ditugaskan oleh Pemerintah Desa untuk menjalankan kiprah sebagai wakil desa untuk menampung aspirasi dan dilema warga. Menurut kepala desa Panggungharjo, melalui prosedur semacam ini pemerintah desa pernah mengatasi dilema warga yang terjerat rentenir.
Sebagai pengawas kinerja kepala desa, BPD hampir tidak pernah membahas secara serius laporan pertanggungjawaban pemerintah desa. Hampir tidak pernah ditemui BPD memperlihatkan catatan terhadap laporan tersebut. Laporan pertanggungjawaban kepada bupati cenderung dianggap penting ketimbang kepada BPD, alasannya yakni menganggap laporan kepada bupati akan berimplikasi pada persetujuan untuk pencairan dana desa tahap berikutnya. Dari data yang ada terungkap bahwa kekerabatan antara BPD dan Pemdes cenderung “harmonis”, tidak ada suatu wacana kritis yang dikedepankan oleh BPD dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan desa. Kantor BPD sendiri kebanyakan merupakan bab dari kantor pemerintah desa. Memang pernah diakui oleh BPD, bahwa pihaknya melaksanakan pengawasan, namun dalam hal ini pengawasan yang dilakukan yakni berupa pengecekan terhadap proses pengerjaan pembangunan fisik, bukan pengawasan yang bersifat komprehensif terkait dengan spesifikasi material dengan dokumen perencanaan misalnya. Kalaupun ini sanggup disebut sebagai menjalankan kiprah pengawasan, pengawasan yang dilakukan masih terbilang kurang substantif, alasannya yakni tidak melaksanakan pengawasan terhadap kinerja kepala desa secara keseluruhan.
Dalam kasus yang lain, yakni dalam hal menangkap rekomendasi, pemerintah desa cenderung lebih banyak meminta rekomendasi kepada pemerintah kabupaten daripada kepada BPD. Kasus kepala desa Berumbung pada ketika hendak membangun gedung pertemuan dari dana ADD, semoga tidak terkena hukum tender harus diturunkan dananya di bawah Rp 200 juta, harus konsultasi dengan BPMD Kabupaten. Pembangunan dijalankan sesudah mendapat rekomendasi dari BPMD, sedangkan BPD yang mestinya menjalankan kiprah kontrol pemerintahan desa tidak dimintakan rekomendasi.
Masalah yang Dihadapi
Lemahnya fungsi BPD dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dikhawatirkan akan mengganggu prosedur check and balances, sehingga pada gilirannya kekuasaan pemerintah desa lebih dominan. Dominasi pemerintah desa ini lambat laun akan menggulung kiprah dan partisipasi warga desa, yang pada kesudahannya akan memperlemah proses demokrasi di tingkat desa.
Terkait dengan kurang optimalnya fungsi BPD tersebut, kami mengindentifikasi beberapa dilema sebagai berikut. Pertama, lemahnya pengorganisasian. Sebagai sebuah lembaga, BPD tidak dikelola melalui prosedur pengorganisasian yang baik. Dari pengamatan yang paling sederhana saja, hampir tidak ditemukan bagan perihal struktur organisasi BPD. Pada hal yang lebih substantif, secara kelembagaan BPD kurang terlihat dalam mengorganisir para anggotanya, sehingga para anggota BPD terkesan bekerja secara asal-asalan. Dari keseluruhan BPD yang diteliti, pada umumnya hanya sedikit saja dari anggota BPD yang aktif. Bahkan ada BPD yang aktif hanya ketuanya saja. Di desa yang lain, ada salah satu anggota BPD yang tidak aktif hingga enam bulan, namun tidak ada upaya secara kelembagaan untuk mengatasi dilema tersebut.
Kedua, nihil pemberian staf dan kesekretariatan. Selain soal pengorganisasian, lemahnya fungsi BPD juga alasannya yakni secara kelembagaan BPD tidak didukung oleh staf yang mengelola sekretariat. Ketiadaan staf dan kesekretariatan menjadikan BPD tidak dikelola secara baik sebagai sebuah lembaga. Hal ini berbeda dengan pemerintah desa yang mempunyai struktur kelembagaan yang jelas, termasuk pemberian staf dan kesekretariatan. Melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 84 tahun 2015 perihal Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa bagan struktur Pemerintah Desa digambarkan secara jelas, dimana Pemerintah Desa didukung dengan Sekretariat Desa yang diketuai oleh Sekretaris Desa yang membawahi para Kepala Urusan.
Ketiga, hak bagi anggota BPD yang kurang jelas. Isu yang mengemuka dalam kajian ini juga termasuk hal yang terkait dengan hak anggota BPD. Muncul pendapat yang mengemuka yang beranggapan bahwa hak yang diterima oleh anggota BPD dirasa masih jauh dibanding dengan yang diterima oleh kepala desa. Meskipun tolong-menolong banyak hak yang seharusnya diterima oleh BPD, namun dalam praktiknya hak-hak tersebut belum sepenuhnya diterima. Peraturan Pemerintah No. 43/2014 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 47/2015 (PP Desa), pada pasal 78 diatur bahwa pimpinan dan anggota BPD mendapat hak untuk memperoleh tunjangan pelaksanaan kiprah dan fungsi dan tunjangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; biaya operasional; pengembangan kapasitas melalui pendidikan dan pelatihan, sosialisasi, pembimbingan teknis, dan kunjungan lapangan dan penghargaan dari pemerintah tempat provinsi, dan pemerintah tempat kabupaten/kota bagi pimpinan dan anggota BPD yang berprestasi. Dari beberapa hak yang diatur oleh PP tersebut, gres hanya tunjangan kiprah dan fungsi saja yang telah diberikan. Itupun dengan jumlah yang tidak menentu.
Keempat, minim kapasitas personal. Secara individual, anggota BPD tampak kurang mempunyai kapasitas yang memadai terkait pribadi dengan fungsinya. Sebut saja misalnya, dalam fungsinya sebagai pembahas rancangan Perdes, anggota BPD semestinya mempunyai kemampuan dalam bidang legal drafting. Namun dalam kenyataannya, hampir sanggup dipastikan bahwa sebagian besar anggota BPD tidak mempunyai kemampuan tersebut. Dengan demikian rancangan Perdes lebih banyak berasal dari kepala desa. Dalam hal pengawasan kepala desa, banyak anggota BPD yang kurang memahami konsep pengawasan yang sesungguhnya, sehingga yang dilakukan hanyalah pengawasan secara parsial, yakni sebatas mengawasi pembangunan fisik. Pada hal yang paling mendasar, banyak juga ditemui anggota BPD yang kurang cakap dalam berkomunikasi. Padahal sebagai penyalur aspirasi masyarakat, anggota BPD semestinya mempunyai kemampuan komunikasi yang mumpuni, bahkan hingga pada tingkat sanggup menghipnotis orang lain.
Akar Masalah
Dari keseluruhan problem tersebut, akar dilema yang sanggup ditarik yakni alasannya yakni secara normatif, belum ada peraturan turunan yang mengatur secara spesifik perihal BPD. Dapat disampaikan di sini bahwa dari keseluruhan hal yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan desa, BPD termasuk forum yang belum mempunyai hukum turunan secara spesifik, terutama hukum di tingkat lokal ibarat Perda, SK Bupati/Walikota dan hukum sejenisnya. Ketiadaan hukum inilah yang menjadikan BPD merasa kurang mempunyai contoh jelas. Ketiadaan hukum di tingkat lokal bisa jadi alasannya yakni belum ada peraturan yang seharusnya diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri. Sebagaimana diatur dalam PP Desa pasal 79, Kementerian Dalam Negeri seharusnya menerbitkan peraturan untuk mengatur lebih lanjut ketentuan perihal tugas, fungsi, kewenangan, hak dan kewajiban, pengisian keanggotaan, pemberhentian anggota, serta peraturan tata tertib BPD. Namun hingga kini peraturan sebagaimana dimaksud belum terbit.
Aturan turunan sebagaimana dimaksud yakni hukum lokal berupa Perda. Namun di sisi lain, pemerintah kabupaten/kota sulit untuk menerbitkannya alasannya yakni mandat penerbitan peraturan menteri belum diterbitkan oleh Kemendagri. Ketiadaan Permendagri perihal BPD menciptakan BPD menjadi forum demokrasi yang terlupakan.[Sumber:datadesa.com]