Prasyarat Bum Desa Sebagai Tubuh Aturan Publik Bercirikan Desa

Pengetahuan teoritis tubuh hukum[1] masih didominasi oleh teori fiksi,[2] positivisme hukum,[3] dan teori hirarki (Hans Kelsen),[4] daripada teori entintas nyata atau teori organik yang lebih relevan dengan BUM Desa pada kontes kemandirian Desa di Indonesia.[5] Term 'teori organ' ditertibkan menjadi 'teori organik' pada konsep tubuh aturan Gierke[6] yaitu kesatuan masyarakat aturan yang nyata (Krperschaftsbegriff). Sebab itu, uraian berikut menganalisis Desa dan BUM Desa sebagai komunitas-organik. Terdiri dari anggota-anggota yang menetapkan dan bertindak sebagai satu kesatuan kolektif.


 daripada teori entintas nyata atau teori organik yang lebih relevan dengan BUM Desa pada  Prasyarat BUM Desa sebagai Badan Hukum Publik Bercirikan Desa
Teori moral-hukum Genossenschaft relevan secara normatif dan empiris untuk meneliti masyarakat perdesaan di Indonesia. Gierke memakai Teori Genossenschaft atas perdesaan Jerman periode ke-19.[7] Rizal Sofyan Gueci memakai teori yang sama untuk menganalisis Desa Pesanggarahan (Batu, Jawa Timur), Perkumpulan Tani, Nagari (Sumatra Barat), Desa Adat dan Subak (Bali) sebagai Genossenschaft tradisional Indonesia dalam pluralitas aturan dan otonomi Desa.[8]

Diskursus tubuh perjuangan dan tubuh aturan dibuat dari filsafat personalitas (Philosophie der Personalitt). Ron Harris mengkategori filsafat aturan personalitas kedalam tipologi aturan inkorporasi, aturan kontraktual, dan aturan rekognisi.[9] Disisi lain Mulhadi dalam Hukum Perusahaan: Bentuk-bentuk Badan Usaha di Indonesia mengutip aneka macam teori tubuh aturan meliputi teori fiksi, teori organ, teori kekayaan bersama, dan teori kenyataan yuridis. 

Pilihan argumen-argumen hukumnya dibatasi pada Dogmatik-hukum. Mulhadi juga menyatakan bahwa Usaha Dagang (UD), Persekutuan Perdata, Persekutuan Komanditer, dan Firma bukan tubuh hukum.[10] Argumentasi hukumnya didasarkan pada perdebatan yang berlangsung diantara mahir aturan Belanda pada periode ke-19.

Teori organ kurang difungsikan sebagai kerangka analitis tubuh hukum. Dogmatik-hukum cenderung fokus pada ada tidaknya frasa "badan perjuangan milik desa yaitu tubuh hukum" dalam suatu peraturan perundang-undangan. Diskursus tubuh aturan dalam paradigma Positivisme Hukum mempunyai keterbatasan berkaitan dengan kekuasaan negara yang belum tentu memihak tubuh perjuangan yang sudah eksis dalam realitas. Hampir seluruh diskursus teoritis perihal tubuh aturan di Indonesia bersumber pada disertasi Houwing.

[11] Pemikiran Houwing berada dalam batasan-batasan Dogmatik-hukum. Dogmatik-hukum hanya salah satu pecahan kecil dari struktur teori aturan dalam arti sempit. Tindakan komunikatif dari masyarakat tidak diperhitungkan dalam pengetahuan teknis Dogmatik-hukum sebagai unsur pembentukan diskursus tubuh aturan sebagai subjek hukum.

BUM Desa merupakan pecahan organik dari komunitas-organik Desa (Genossenschaft). Perkembangan badan-badan perjuangan di Desa merupakan pecahan dari konsep kesatuan masyarakat aturan yang eksis dalam realitas sosial (Krperschaftsbegriff). Kesatuan masyarakat aturan diakui oleh negara menjadi tubuh aturan yang bersifat organik (Genossenschaft).

Konstruksi tubuh aturan organik atau Korporasi-organik berbeda dengan Korporasi-normatif (Korporationslehre; Jerman). Korporasi-normatif merupakan pengetahuan tubuh aturan yang mengabstraksikan personalitas-individu atau kelompok dan bersumber dari aturan positif saja. 

Kekuasaan negara membentuk dan menjamin Korporasi-normatif menjadi tubuh aturan ibarat bank Desa, Badan Usaha Unit Desa (BUUD) berbadan aturan Koperasi, dan BUM Desa periode 1999-2014. Sutoro Eko memberi referensi Lembaga Perkreditan Rakyat (LPD) di Bali tidak punya keabsahan status tubuh hukum.[12] 

Keberadaannya didukung Adat dan menyumbangkan kemakmuran untuk krama Desa. Kondisi faktual LPD di Desa Adat di Bali merupakan bentuk konkret dari Republik Desa (Dorpsrepublieken) yang otonom dalam mengatur dan mengurus diri sendiri. Pendapat dari Sutoro Eko secara tidak eksklusif mengkritik tubuh aturan privat dan membuka peluang analitis terhadap tubuh aturan organik yang berkembang untuk diakui sebagai tubuh aturan publik bercirikan Desa.

Analisis pada pecahan ini selanjutnya dibatasi tidak pada pendalaman diskursus teoritis tetapi menyusun gagasan mengenai ratifikasi dan penghormatan terhadap BUM Desa sebagai tubuh perjuangan bercirikan Desa yang diakui oleh kekuasaan negara sebagai tubuh aturan dengan uraian ringkas sebagai berikut:

Kewenangan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala Desa merupakan alasan-alasan aturan bagi Pemerintah Desa dan BPD untuk mengakui BUM Desa sebagai tubuh aturan bercirikan Desa (Badan Hukum Desa) yang dibuat berdasar kesepakatan dalam Musyawarah Desa, Peraturan Desa, dan penetapan AD/ART BUM Desa melalui keputusan kepala Desa.

Wewenang (bevoegheid) forum negara Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yang dilegitimasikan dari aturan publik, merupakan alasan-alasan aturan bagi kewenangan Menteri Desa untuk mengakui dan menjamin kedudukan BUM Desa sebagai Badan Hukum Publik bercirikan Desa.

Kedudukan BUM Desa baik sebagai Badan Hukum Desa maupun Badan Hukum Publik Bercirikan Desa berhak melaksanakan perjuangan bersama (co-operative) dan wajib tunduk pada prinsip, semangat, dan asas kekeluargaan dan kegotongroyongan.

Hukum ratifikasi dan penghormatan terhadap BUM Desa pada susunan organik BUM Desa lebih spesifik diuraikan sebagai berikut.

BUM Desa sebagai Badan Hukum Publik Bercirikan Desa dibuat oleh Desa sebagai tubuh aturan publik. Dasar legitimasinya yaitu asas rekognisi-subsidiaritas, musyawarah, dan kekeluargaan-gotong royong. Asas aturan ini melandasi kewenangan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala Desa dimana BUM Desa masuk sebagai kategori kewenangan dimaksud.

BUM Desa sebagai Badan Hukum Publik Bercirikan Desa dibahas dan disepakati dalam proses deliberatif (Musyawarah Desa), ditetapkan dengan Peraturan Desa mengenai pendiriannya, dan AD/ART ditetapkan dengan keputusan Kepala Desa yang mengalir dari norma aturan Peraturan Desa.

BUM Desa sebagai Badan Hukum Publik Bercirikan Desa mempunyai kekayaan yang dipisahkan dari Desa. Kekayaan BUM Desa merupakan kekayaan Desa yang dipisahkan.

Neraca dan pertanggungjawaban pengurusan BUM Desa dipisahkan dari neraca dan pertanggungjawaban Pemerintah Desa. Kekayaan (aset) BUM Desa bersumber dari penyertaan modal dari Pemerintah Desa dan penyertaan modal dari masyarakat Desa (tidak berupa saham).

Kebijakan dari Kementerian Desa PDTT memposisikan Dana Desa sebagai dana rekognisi-subsidiaritas dan bukan dana tunjangan (medebewind), sehingga dalam perspektif standar akuntansi lebih sempurna diposisikan khusus sebagai modal penyertaan modal dari Desa. Pada konteks Dana Desa dipakai sebagai penyertaan modal untuk BUM Desa melalui pemerintah Desa, maka BUM Desa berwenang memakai dana rekognisi-subsidiaritas itu untuk menambah aktivitas pengembangan, pengelolaan pemasaran, dan lainnya.

Desa berwenang menetapkan BUM Desa membeli aset-aset yang diharapkan untuk pengembangan usahanya. Tetapi aset-aset tersebut tetap dipakai untuk kepentingan kolektif. Hal ini diputuskan bersama dalam Musyawarah Desa.

Penyertaan modal dalam bentuk saham dari warga Desa lebih sempurna sebagai modal penyertaan individu warga Desa pada Unit Usaha berbadan aturan PT yang dibuat oleh BUM Desa. 

Konsekuensinya, BUM Desa harus stabil pendapatan usahanya dan legitim secara aturan biar berikutnya bisa melaksanakan penyertaan modal-saham pada Unit Usaha berbadan aturan privat (PT). Adapun tunjangan dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pihak ketiga lebih sempurna diposisikan sebagai kewajiban BUM Desa dalam perspektif standar akuntansi keuangan. Karena BUM Desa terikat kewajiban sebagai pelaksana tunjangan yang mengalir dari keuangan publik.

BUM Desa sebagai Badan Hukum Publik Bercirikan Desa berhak memperoleh Dana Desa untuk penyertaan modal dan aktivitas pengembangan perjuangan bersama, mengelola aset Desa melalui pemanfaatan aset Desa, menjalankan perjuangan bersama (holding) untuk mengorganisir dan mengkonsolidasi usaha-usaha dari warga Desa, dan melaksanakan kerjasama kemitraan strategis dengan pihak lain dari luar Desa. 

BUM Desa sebagai Badan Hukum Publik Bercirikan Desa wajib memperlihatkan gosip perihal kinerjanya secara terbuka kepada publik berkaitan dengan penggunaan Dana Desa, aset Desa, dan hasil kerjasama kemitraan strategis untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa. 

Disinilah struktur organisasi BUM Desa tidak hanya semata terdiri dari Penasihat, Pelaksana Operasional, dan Pengawas, tetapi meliputi Musyawarah Desa, Penasihat, Pelaksana Operasional, Pengawas dan seterusnya sebagai satu kesatuan organik.

Berkaitan dengan Organ, BUM Desa sebagai Badan Hukum Publik bercirikan Desa berwenang melaksanakan perbuatan hukum, baik aturan publik maupun aturan privat, serta sanggup menuntut dan dituntut di pengadilan. Direktur Utama BUM Desa berwenang untuk melaksanakan perbuatan aturan dan mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan.

Unit perjuangan BUM Desa yang berstatus perseroan terbatas, diakui sebagai unit perjuangan BUM Desa (satu kesatuan dengan BUM Desa), melalui Peraturan Desa dan Keputusan Kepala Desa yang diuraikan sebelumnya. Hukum rekognisi ini membentuk BUM Desa dalam teori organik sebagai Badan Hukum Publik Bercirikan Desa.

Unit perjuangan BUM Desa berbentuk perseroan terbatas diradikalisasi menjadi entitas aturan yang gres (the new legal entity) dibawah kekuasaan BUM Desa sebagai organisasi payung (holding). Unit perjuangan BUM Desa diakui berdasar aturan kontraktual dan diabsahkan dihadapan notaris. Tetapi pengabsahannya tidak memerlukan sertifikat penegasan alasannya sertifikat penegasan berakibat aturan pada delegitimasi Peraturan Desa perihal Pendirian BUM Desa.

Modal-saham yang telah dilepaskan terbuka oleh BUM Desa dan/atau unit perjuangan PT bentukannya, tidak relevan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 perihal Desa alasannya BUM Desa dibedakan tegas dengan tubuh aturan PT. Untuk mengantisipasi konflik diantara pemegang saham, sertifikat pendirian PT bentukan BUM Desa dicermati kembali. 

Saham tetap dipertahankan dalam pola mobilisasi modal yang telah dilakukan selama ini oleh BUM Desa, tetapi hal ini harus diungkapkan secara terbuka bahwa modal-saham dijalankan oleh Unit Usaha PT dan bukan secara eksklusif oleh BUM Desa. Publik akan mengetahui huruf gres BUM Desa tipe holding yang memayungi unit-unit perjuangan berbadan aturan privat tersebut. 


Selain itu sertifikat pendirian Unit-unit perjuangan perlu dicermati ulang, berkaitan dengan hubungan-hubungan antara Kepala Desa, Direktur BUM Desa, Direktur Unit Usaha (PT), dan warga Desa sebagai pihak pemegang saham. Hubungan antara kepentingan kolektif dalam Musyawarah Desa dan kepentingan individual-kelompok dalam Rapat Umum Pemegang Saham. Direktur Unit Usaha PT bertanggungjawab kepada Direktur Utama BUM Desa.

1] Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Cetakan Ketiga, (Bandung: Penerbit PT Alumni, 2012).

[2] Friedrich Carl von Savigny, System des heutigen Romischen Rechts, (Berlin: Bei Deit und Comp, 1840).

[3] Tilman Altwicker, "Rechtsperson im Rechtspositivismus," dalam Grschner et.al., Person und Rechtsperson: Zur Philosophie der Personalitt, (Tbingen: Mohr Siebeck, 2015).

[4] Badan Hukum (juristic person) dalam Hans Kelsen, The Pure Theory of Law, diterjemahkan Max Knight dari Reine Rechtslehre, unvernderter nachdruck, (Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1970). Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa'at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Konstitusi Press dan Syaamil Cipta Media, 2006).

[5] Otto von Gierke, Das deutsche Genossenschaftsrecht, Erster Band, Rechtsgeschichte der deutschen Genossenschaft, (Berlin: Weidmannsche Buchhandlung, 1868) (selanjutnya disingkat Otto von Gierke I). Untuk penelitian aturan dengan memakai teori Genossenschaft terhadap Nagari atau Desa, lihat Rizal Sofyan Gueci, Verfassungsstaat, traditionelles Recht und Genossenschaftstheorie in Indonesien: eine Studie zu den Verbindungen zwischen Otto von Gierkes Genossenschaftstheorie und Supomos Staats- und Gesellschaftstheorie, (Europische Hochschulschriften: Reihe 2, Rechtswissenschaft; Bd. 2386). Zugl.: Frankfurt (Main), Univ. Diss., 1997, (Frankfurt am Main; Berlin; Bern; New York; Paris; Wien: Lang, 1999).

[6] Otto von Gierke, Das deutsche Genossenschaftsrecht, Zweiter Band, Geschichte des deutschen Krperschaftsbegriffs, (Berlin: Weidmannsche Buchhandlung, 1873)

[7] Otto von Gierke, Die Genossenschaftstheorie und Die Deutsche Rechtsprechung, (Berlin: Weidmannsche Buchhandlung, 1887)

[8] Rizal Sofyan Gueci, op.cit., hlm. 54-61.

[9] Ron Harris, "The Transplantation of The Legal Discourse on Corporate Personality Theories: From German Codification to British Political Pluralism and American Big Business," Journal: Wash & Lee L. Rev, Volume 63, hlm. 1427.

[10] Mulhadi, Perusahaan, Pola Kemitraan dan Badan Hukum, Cetakan Kedua, (Bandung: PT Refika Aditama, 2017).

[11] Philippus Abraham Nicolaas Houwing, Subjectief Recht, Rechtssubject, Rechtspersoon, (Zwolle: N.V. Uitgevers-Maatschappij, W.E.J. Tjeenk Willink, 1939).

[12] Sutoro Eko bersama Tim FPPD, "Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan," Policy Paper BUM Desa, 2 Desember 2013.

Sumber: https://www.kompasiana.com/anomsuryaputra

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel