Peradilan Moral Masih Terhambat

GampongRT - SECARA regulasi, Aceh sudah punya cukup syarat untuk mengimplementasikan peradilan budpekerti tingkat gampong dan mukim. Namun, santunan pemerintah yang masih minim menciptakan peradilan ini tak sanggup berjalan efektif. Serambi mengurai liku-liku peradilan budpekerti dengan sejumlah masalah yang dihadapi dalam laporan khusus edisi hari ini.

Peradilan budpekerti yakni proses penyelesaian masalah masyarakat yang dilakukan oleh perangkat gampong atau mukim yang mengacu pada aturan budpekerti yang berlaku. Ada bermacam-macam regulasi yang sudah tersedia untuk mendukung pelaksanaan pengadilan ini, antara lain Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008.


Di dalam pasal 98 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 perihal Pemerintahan Aceh, juga ditegaskan bahwa penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara budpekerti ditempuh melalui forum adat. Pemerintah Aceh bahkan telah punya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Gubernur Aceh, Kapolda, dan Ketua MAA perihal Penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong dan Mukim. 


Meskipun peradilan budpekerti gampong telah diakui sebagai salah satu instrumen memperoleh keadilan, namun banyak kendala dalam implementasinya, antara lain minimnya pengetahuan budpekerti tokoh-tokoh  masyarakat, perilaku masyarakat yang belum mendapatkan sepenuhnya, sampai  politicall will yang masih setengah-setengah dari pemerintah.


Selama ini bermacam-macam masalah yang dihadapi masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana ringan, dilaporkan ke polisi. Namun, ibarat halnya institusi penegak aturan lainnya di republik ini, proses mencari keadilan di sini bertele-tele, menguras banyak tenaga, pikiran, sampai uang.  Lebih dari itu, keadilan juga lazim tak kunjung digapai oleh kedua pihak.


Hasil penelitian UNDP beberapa waktu kemudian cukup menarik. Dari 3.054 masalah yang diselesaikan di tingkat gampong dan mukim, menurut survei tersebut, terungkap bahwa para pihak mengaku cukup puas dengan proses penyelesaian peradilan budpekerti model begini. Sedangkan persentase masyarakat yang tidak puas terhadap proses peradilan ini terbilang kecil, hanya puluhan masalah dari 3.000 lebih masalah yang disurvei. Ini bermakna, pengadilan alternatif ini sangat menjanjikan di tengah turunnya dapat dipercaya aneka macam institusi penegak aturan lainnya.


Ada pola masalah yang cukup menarik pada 2010 di Lhokseumawe.  Berdasarkan data fotocopi BAP yang dimiliki Serambi, terungkap bahwa  ada masalah penganiayaan berat yang terjadi di Kota Lhokseumawe dan diselesaikan secara adat. Seorang perjaka yang babak belur dikeroyok, sampai korban harus berobat ke Penang, jadinya rela kasusnya diproses di tingkat gampong. Berkas pengaduannya ke polisi pun dicabut. Meskipun harus membayar kompensasi biaya pengobatan sampai Rp 50 juta, pihak pelaku dan korban merasa proses aturan di tingkat gampong ini sudah mendekati keadilan, ketimbang menanti diproses pihak kepolisian.


Begtupun, sampai sekarang masih banyak masalah yang melingkupi peradilan budpekerti gampong dan mukim. Karena bersifat sukarela, sebagian warga memang tak mau menentukan peradilan ini.


Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Badruzzaman Ismail SH MHum menyebutkan, peradilan budpekerti ini sederhana, murah, dan cepat. Pelapor cukup mendaftar kasus, dilakukan olah TKP, kemudian dilanjutkan dengan proses perdamaian sampai dicapai kata sepakat. “Cuma, kedua pihak harus sukarela menentukan peradilan ini. Jika salah satu pihak saja tak setuju, ya tidak sanggup diproses,” kata Badruzzaman.  


Di sisi lain, kata dia, masih butuh perhatian lebih dari pemerintah kabupaten/kota, khususnya pemberian insentif untuk para pengadil ini. “Kita mengusulkan insentif senilai Rp 300.000 untuk satu masalah yang diproses. Di Lhokseumawe dan Aceh Tengah sudah berjalan, sedangkan di kota/kabupaten lain masih secara ikhlas. Insentif itu dimaksudkan hanya  untuk sekadar uang minum,” paparnya.(*)


Sumber: Serambi 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel