Dana Desa Tersandera
Pengucuran dana desa sebagai bab dari implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 perihal Desa mengalami hambatan. Sejak pertengahan 2015, upaya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, bersama Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan, berupaya menyusun langkah-langkah strategis semoga pencairan dana desa yang sanggup menjadi sumber daya membiayai pembangunan itu segera dijalankan. Namun, implementasinya ternyata tidak mudah.
Selain lambannya koordinasi kelembagaan tingkat kementerian, regulasi turunan berupa peraturan pemerintah (PP) sebagai dasar aturan tidak berjalan efektif. Hal ini terjadi terutama alasannya ialah regulasi itu tidak disiapkan secara matang, runtut, dan sinkron dari peraturan menteri hingga peraturan bupati. Lebih-lebih, tanda-tanda pembengkakan jumlah desa secara tiba-tiba sebagai reaksi kesepakatan pengucuran dana desa menjadi persoalan yang tidak sanggup dianggap remeh.
Birokratisasi, fragmentasi, dan buruknya konsolidasi penanganan dana desa ini telah berdampak paling nyata, yakni kabupaten pada akhirnya tidak responsif. Lebih dari 50 persen dana desa masih "tersimpan" di kabupaten. Ini sungguh ironis. Hak konstitusional atas dana desa, yang semestinya segera dimanfaatkan oleh pemerintah desa bersama masyarakat, akhirnya harus tertunda.
Alasannya macam-macam. Daerah merasa masih ragu alasannya ialah tafsir antar-regulasi yang tidak sama. Umumnya mereka berlindung dari ketakutan atas risiko aturan jikalau salah mengambil kebijakan. Sayangnya, keraguan ini berlarut-larut dan balasannya desa tidak segera mendapat haknya. Padahal tinggal kurang dari dua bulan saja hingga selesai tahun dana itu harus dipertanggungjawabkan penggunaannya.
Ada pula tanda-tanda di beberapa kawasan yang sedang menjalankan pemilihan kepala kawasan ditengarai terjadi politisasi pencairan dana desa, terutama oleh inkumben (Koran Tempo, 28 September 2015). Bahkan, pemerintah kabupaten juga cenderung menakuti-nakuti desa dengan segala "glorifikasi" risiko hukum. Fenomena ini gotong royong sudah diprediksi semenjak awal, tapi tidak diantisipasi secara cepat dan tepat.
Situasi ini sempat direspons oleh pemerintah. Muncullah surat keputusan bersama (SKB) tiga kementerian yang menaungi penyelenggaraan dana desa. Tujuannya ialah semoga pemerintah kabupaten tidak mempersulit pencairan dana, dari fasilitas persyaratan hingga pemotongan prosedur semoga lebih sederhana, termasuk dukungan sanksi.
Tapi, apakah sudah berjalan lancar? Ternyata belum. Kegalauan ini terutama dialami oleh kepala desa dan perangkatnya. Di satu sisi, banyak gosip dana desa telah cair, sehingga masyarakat terus bertanya kepada pemerintah desa semoga dana itu segera dibelanjakan sesuai dengan peruntukannya. Namun, pemerintah desa, yang telah mendapat dana, ragu menggunakannya, alasannya ialah belum ada kejelasan payung aturan dari kabupaten. Sebut saja soal peraturan bupati mengenai kewenangan desa sebagai dasar pembelanjaannya. Apalagi bagi desa yang belum mendapat transfer dana, tentu lebih galau lagi.
Sejak awal, rancang bangkit dana desa ini memang membutuhkan pendampingan. Masa transisi penataan keuangan desa terang memerlukan tahap adaptasi semoga arah, tata kelola, dan prosedur pelaporan penggunaan dana sanggup akuntabel. Para pendamping itulah yang untuk sementara menemani desa, membantu menyiapkan penyusunan perencanaan dan penganggaran, serta mengawal implementasi dan pelaporannya. Minimal, ada tertib manajemen dan tidak ada korupsi.
Sayangnya, kegiatan pendampingan ini tidak sesuai dengan skenario. Jebakan sengkarut pendampingan sebagai konsekuensi "ketegangan usang antarkementerian" serta konflik kepentingan di dalamnya berisiko kegiatan pendampingan tidak cepat berproses hingga ke desa. Sampai pertengahan November 2015, gres sebagian kecil desa yang ditemani pendamping. Itu pun belum didalami apakah kapasitas dan kualitas pendampingan sesuai dengan skemanya.
UU Desa ini dirancang bukan untuk mempersulit desa. Jika pada kenyataannya penyalurannya tersendat dan kedodoran, kita harus segera menempuh langkah radikal. Pemerintah harus bergerak lebih cepat dan intensif, terutama memfungsikan pemerintah provinsi untuk segera mengecek kemandekan itu. Jika kabupaten secara sengaja mempersulit atau mendistorsinya, harus diberi hukuman sesuai dengan peraturan.
Di sisi lain, perlu pula asosiasi kepala desa atau perangkat desa untuk proaktif menanyakan dan mengawal proses ini di tingkat kabupaten. Perguruan tinggi dan forum swadaya masyarakat juga perlu membantu mereka untuk menekan risiko semoga pada masa- masa transisi ini mereka sanggup memecahkan masalahnya.
Oleh Arie Sujito, Sosiolog UGM, Tim Advokasi UU Desa IRE Yogyakarta
Selain lambannya koordinasi kelembagaan tingkat kementerian, regulasi turunan berupa peraturan pemerintah (PP) sebagai dasar aturan tidak berjalan efektif. Hal ini terjadi terutama alasannya ialah regulasi itu tidak disiapkan secara matang, runtut, dan sinkron dari peraturan menteri hingga peraturan bupati. Lebih-lebih, tanda-tanda pembengkakan jumlah desa secara tiba-tiba sebagai reaksi kesepakatan pengucuran dana desa menjadi persoalan yang tidak sanggup dianggap remeh.
Birokratisasi, fragmentasi, dan buruknya konsolidasi penanganan dana desa ini telah berdampak paling nyata, yakni kabupaten pada akhirnya tidak responsif. Lebih dari 50 persen dana desa masih "tersimpan" di kabupaten. Ini sungguh ironis. Hak konstitusional atas dana desa, yang semestinya segera dimanfaatkan oleh pemerintah desa bersama masyarakat, akhirnya harus tertunda.
Alasannya macam-macam. Daerah merasa masih ragu alasannya ialah tafsir antar-regulasi yang tidak sama. Umumnya mereka berlindung dari ketakutan atas risiko aturan jikalau salah mengambil kebijakan. Sayangnya, keraguan ini berlarut-larut dan balasannya desa tidak segera mendapat haknya. Padahal tinggal kurang dari dua bulan saja hingga selesai tahun dana itu harus dipertanggungjawabkan penggunaannya.
Ada pula tanda-tanda di beberapa kawasan yang sedang menjalankan pemilihan kepala kawasan ditengarai terjadi politisasi pencairan dana desa, terutama oleh inkumben (Koran Tempo, 28 September 2015). Bahkan, pemerintah kabupaten juga cenderung menakuti-nakuti desa dengan segala "glorifikasi" risiko hukum. Fenomena ini gotong royong sudah diprediksi semenjak awal, tapi tidak diantisipasi secara cepat dan tepat.
Situasi ini sempat direspons oleh pemerintah. Muncullah surat keputusan bersama (SKB) tiga kementerian yang menaungi penyelenggaraan dana desa. Tujuannya ialah semoga pemerintah kabupaten tidak mempersulit pencairan dana, dari fasilitas persyaratan hingga pemotongan prosedur semoga lebih sederhana, termasuk dukungan sanksi.
Tapi, apakah sudah berjalan lancar? Ternyata belum. Kegalauan ini terutama dialami oleh kepala desa dan perangkatnya. Di satu sisi, banyak gosip dana desa telah cair, sehingga masyarakat terus bertanya kepada pemerintah desa semoga dana itu segera dibelanjakan sesuai dengan peruntukannya. Namun, pemerintah desa, yang telah mendapat dana, ragu menggunakannya, alasannya ialah belum ada kejelasan payung aturan dari kabupaten. Sebut saja soal peraturan bupati mengenai kewenangan desa sebagai dasar pembelanjaannya. Apalagi bagi desa yang belum mendapat transfer dana, tentu lebih galau lagi.
Sejak awal, rancang bangkit dana desa ini memang membutuhkan pendampingan. Masa transisi penataan keuangan desa terang memerlukan tahap adaptasi semoga arah, tata kelola, dan prosedur pelaporan penggunaan dana sanggup akuntabel. Para pendamping itulah yang untuk sementara menemani desa, membantu menyiapkan penyusunan perencanaan dan penganggaran, serta mengawal implementasi dan pelaporannya. Minimal, ada tertib manajemen dan tidak ada korupsi.
Sayangnya, kegiatan pendampingan ini tidak sesuai dengan skenario. Jebakan sengkarut pendampingan sebagai konsekuensi "ketegangan usang antarkementerian" serta konflik kepentingan di dalamnya berisiko kegiatan pendampingan tidak cepat berproses hingga ke desa. Sampai pertengahan November 2015, gres sebagian kecil desa yang ditemani pendamping. Itu pun belum didalami apakah kapasitas dan kualitas pendampingan sesuai dengan skemanya.
UU Desa ini dirancang bukan untuk mempersulit desa. Jika pada kenyataannya penyalurannya tersendat dan kedodoran, kita harus segera menempuh langkah radikal. Pemerintah harus bergerak lebih cepat dan intensif, terutama memfungsikan pemerintah provinsi untuk segera mengecek kemandekan itu. Jika kabupaten secara sengaja mempersulit atau mendistorsinya, harus diberi hukuman sesuai dengan peraturan.
Di sisi lain, perlu pula asosiasi kepala desa atau perangkat desa untuk proaktif menanyakan dan mengawal proses ini di tingkat kabupaten. Perguruan tinggi dan forum swadaya masyarakat juga perlu membantu mereka untuk menekan risiko semoga pada masa- masa transisi ini mereka sanggup memecahkan masalahnya.
Sumber: Tempo
Foto ilustrasi: Desa Indonesia Dalam Angka