Dana Desa Dan Sumbangan Anak
Dengan diundangkannya Undang - Undang No 6 Tahun 2014 wacana Desa, maka desa-desa di Indonesia mempunyai kemandirian terutama dalam soal keuangan. Pada masa kemudian desa hanya mempunyai sumber pendapatan dari alokasi dana desa yang diberikan dari APBD Kabupaten dan pendapatan orisinil desa (PAD) yang dikelola menjadi APBDes. Kini desa juga menerima dana desa yang merupakan kucuran dana dari sentra yang jumlahnya bervariasi antara Rp 600 juta hingga Rp 1 miliar.
Selain duduk kasus fisik desa, ketika ini banyak desa berhadapan dengan masalah kontribusi anak yang kian kompleks terutama kekerasan kepada anak dan perempuan, Mulai dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, pemerkosaan, eksploitasi hingga penelantaran anak. Dalam masalah ini, desa menjadi ujung terdepan pelayanan pemerintah paling erat berafiliasi dengan anak. Kasus-kasus itu juga terjadi di desa dan mau tidak mau desa harus meresponsnya.
Komite Desa
Tidak sanggup dihindari bila desa mempunyai keterbatasan terkait dengan pengurangan risiko, pencegahan dan penanganan kekerasan kepada anak-perempuan. Meski marak kasus-kasus pelanggaran kontribusi anak yang berbasis desa, kenyataan desa tidak mempunyai sumber daya memadai untuk merespons. Di sejumlah desa urusan terkait wanita dan anak dimasukkan sebagai cuilan kiprah kepala urusan kesejahteraan rakyat atau kaur kesra. Yang di dalamnya terdapat hampir semua urusan sosial yang ada di desa dari ibu hamil, melahirkan hingga kematian.
Dalam praktiknya kaur kesra ini dibantu lembaga-lembaga yang ada di desa ibarat PKK, karang taruna, dasa wisma dalam memperlihatkan penyuluhan maupun pendidikan kepada masyarakat. Perlindungan anak mestinya berada di ranahnya untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan kekerasan kepada anak. Sayangnya, pegawanegeri yang membidangi ini dan ujung tombak strategis kurang menerima training dan pembekalan memadai untuk merespons kasus-kasus kontribusi anak.
Nyaris tidak banyak desa yang mempunyai semacam komite, kelompok atau komisi yang membantu pemerintah desa merespons kasuskasus kontribusi anak. Sebutlah contohnya kelompok kontribusi anak desa (KPAD) yang membantu pemerintah membantu dalam upaya pencegahan dan penanganan masalah kekerasan kepada anak. Kedua, minimnya anggaran untuk kontribusi anak. Hampir semua kepala desa yang penulis temui menyatakan mereka tidak berani mengalokasikan dana desa untuk kegiatan-kegiatan terkait sebab tidak ada petunjuk tertulis dari kabupaten.
Komitmen
Ketidakberanian ini terkait dengan lemahnya kesepakatan desa menyelenggarakan upaya kontribusi anak. Desa tidak melaksanakan terobosan sebab dianggap menyalahi hukum yang lebih tinggi. Padahal jikalau merujuk Peraturan Menteri Desa No 5/2015 wacana Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa, desa mempunyai kesempatan untuk mengalokasikan anggaran untuk pemenuhan hak dan kontribusi anak. Di bidang pembangunan dana desa sanggup dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan dasar ibarat pengembangan pos kesehatan desa, polindes, posyandu dan PAUD.
Sementara di bidang pemberdayaan masyarakat dana desa sanggup dipergunakan untuk acara kontribusi anak oleh pemerhati kontribusi anak. Dari Permendes ini sebetulnya tidak ada alasan bagi desa untuk tidak mengalokasikan dananya bagi upaya-upaya kontribusi anak. Ketidaktahuan desa dan rendahnya kesepakatan terkait hal ini sanggup difasilitasi oleh pihak lain terutama pemerintah kabupaten dengan melibatkan LSM, Perguruan Tinggi yang peduli pada pemenuhan hak anak.
Desa perlu didorong semoga tidak hanya mengalokasikan dana desa untuk infrastruktur ibarat membangun jalan, selokan, gorong-gorong, talut, jembatan dan sejenisnya. Tetapi juga untuk membangun insan ialah mencegah dan melindungi bawah umur dan wanita dari kekerasan. Apalah artinya infrastruktur manis namun warganya menjadi pelaku dan korban kekerasan?
Aktivis kontribusi anak dan wanita di desa perlu diperkuat dengan isu-isu kontribusi anak dan mengangkatnya dalam musrenbangdes. Pada tahun-tahun pertama mungkin masih kalah dengan informasi infastruktur namun pada tahun-tahun berikutnya perhatian pemerintah desa dan BPD niscaya akan berubah. Desa perlu terus didorong semoga semakin berani dan peka memakai anggaran responsif anak dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup anak yang merupakan sepertiga jumlah penduduk desa.
Baca juga Artikel Desa Lainnya:
Ditulis Oleh: Paulus Mujiran, S.Sos, M.Si
Penyusun Modul Konvensi Hak Anak Provinsi Jawa Tengah, Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang. [Sumber:http://krjogja.com/]
Selain duduk kasus fisik desa, ketika ini banyak desa berhadapan dengan masalah kontribusi anak yang kian kompleks terutama kekerasan kepada anak dan perempuan, Mulai dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, pemerkosaan, eksploitasi hingga penelantaran anak. Dalam masalah ini, desa menjadi ujung terdepan pelayanan pemerintah paling erat berafiliasi dengan anak. Kasus-kasus itu juga terjadi di desa dan mau tidak mau desa harus meresponsnya.
Komite Desa
Tidak sanggup dihindari bila desa mempunyai keterbatasan terkait dengan pengurangan risiko, pencegahan dan penanganan kekerasan kepada anak-perempuan. Meski marak kasus-kasus pelanggaran kontribusi anak yang berbasis desa, kenyataan desa tidak mempunyai sumber daya memadai untuk merespons. Di sejumlah desa urusan terkait wanita dan anak dimasukkan sebagai cuilan kiprah kepala urusan kesejahteraan rakyat atau kaur kesra. Yang di dalamnya terdapat hampir semua urusan sosial yang ada di desa dari ibu hamil, melahirkan hingga kematian.
Dalam praktiknya kaur kesra ini dibantu lembaga-lembaga yang ada di desa ibarat PKK, karang taruna, dasa wisma dalam memperlihatkan penyuluhan maupun pendidikan kepada masyarakat. Perlindungan anak mestinya berada di ranahnya untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan kekerasan kepada anak. Sayangnya, pegawanegeri yang membidangi ini dan ujung tombak strategis kurang menerima training dan pembekalan memadai untuk merespons kasus-kasus kontribusi anak.
Nyaris tidak banyak desa yang mempunyai semacam komite, kelompok atau komisi yang membantu pemerintah desa merespons kasuskasus kontribusi anak. Sebutlah contohnya kelompok kontribusi anak desa (KPAD) yang membantu pemerintah membantu dalam upaya pencegahan dan penanganan masalah kekerasan kepada anak. Kedua, minimnya anggaran untuk kontribusi anak. Hampir semua kepala desa yang penulis temui menyatakan mereka tidak berani mengalokasikan dana desa untuk kegiatan-kegiatan terkait sebab tidak ada petunjuk tertulis dari kabupaten.
Komitmen
Ketidakberanian ini terkait dengan lemahnya kesepakatan desa menyelenggarakan upaya kontribusi anak. Desa tidak melaksanakan terobosan sebab dianggap menyalahi hukum yang lebih tinggi. Padahal jikalau merujuk Peraturan Menteri Desa No 5/2015 wacana Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa, desa mempunyai kesempatan untuk mengalokasikan anggaran untuk pemenuhan hak dan kontribusi anak. Di bidang pembangunan dana desa sanggup dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan dasar ibarat pengembangan pos kesehatan desa, polindes, posyandu dan PAUD.
Sementara di bidang pemberdayaan masyarakat dana desa sanggup dipergunakan untuk acara kontribusi anak oleh pemerhati kontribusi anak. Dari Permendes ini sebetulnya tidak ada alasan bagi desa untuk tidak mengalokasikan dananya bagi upaya-upaya kontribusi anak. Ketidaktahuan desa dan rendahnya kesepakatan terkait hal ini sanggup difasilitasi oleh pihak lain terutama pemerintah kabupaten dengan melibatkan LSM, Perguruan Tinggi yang peduli pada pemenuhan hak anak.
Desa perlu didorong semoga tidak hanya mengalokasikan dana desa untuk infrastruktur ibarat membangun jalan, selokan, gorong-gorong, talut, jembatan dan sejenisnya. Tetapi juga untuk membangun insan ialah mencegah dan melindungi bawah umur dan wanita dari kekerasan. Apalah artinya infrastruktur manis namun warganya menjadi pelaku dan korban kekerasan?
Aktivis kontribusi anak dan wanita di desa perlu diperkuat dengan isu-isu kontribusi anak dan mengangkatnya dalam musrenbangdes. Pada tahun-tahun pertama mungkin masih kalah dengan informasi infastruktur namun pada tahun-tahun berikutnya perhatian pemerintah desa dan BPD niscaya akan berubah. Desa perlu terus didorong semoga semakin berani dan peka memakai anggaran responsif anak dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup anak yang merupakan sepertiga jumlah penduduk desa.
Baca juga Artikel Desa Lainnya:
Ditulis Oleh: Paulus Mujiran, S.Sos, M.Si
Penyusun Modul Konvensi Hak Anak Provinsi Jawa Tengah, Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang. [Sumber:http://krjogja.com/]