Tiga Tahun Uu Desa
Kebijakan ini saya pastikan gagal," ujar Didik J Rachbini suatu ketika. Dua tahun sehabis itu, sebuah isu berkata lain: "Dana desa sudah sanggup memperkuat daerah-daerah terpencil."
Images: Kompas |
Tak gampang mengevaluasi kinerja implementasi UU Desa sehabis tiga tahun penerapannya. Sejak awal tidak adabaseline data yang dipakai sebagai pijakan. Tak ada masalah gres dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah, mulai dari sentra sampai kabupaten, gagal menangkap roh UU Desa. Prinsip rekognisi dan subsidiaritas tidak ditaati.
Hasil survei yang memakai metodologi digital terhadap 24 sumber isu di sentra dan tempat lebih minor lagi. Dengan mengecualikan beberapa kata kunci, isu yang paling banyak diliput ialah soal pemilihan kepala desa. Disusul ihwal musyawarah desa; serta anggaran pendapatan dan belanja desa. Dua kepentingan kelompok elite desa lebih sanggup tempat ketimbang tiga urusan lain terkait kepentingan warga.
Lilitan regulasi
Urutan masalah selama dua tahun pelaksanaan UU Desa lebih panjang daripada catatan keberhasilannya. Begitu kesimpulan Taufik Madjid, Direktur Pemberdayaan Masyarakat Desa pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), sebagaimana dilaporkan banyak sekali media. Mudah diduga, ini implikasi eksklusif kebijakan Presiden Jokowi yang membagi urusan desa pada tiga kementerian.
Secara horizontal, kebijakan antar-kementerian tidak saling berkesesuaian. Secara vertikal, kebijakan yang lebih rendah tak taat asas. Ambil referensi regulasi ihwal kewenangan desa. Semula ia diatur dalam Permendes PDTT Nomor 1 Tahun 2015. Setahun kemudian gres muncul Permendagri No 44/2016. Masalahnya, rincian kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa antara kedua kebijakan itu tak sama. Timbul kebingungan di lapangan. Padahal, kejelasan kewenangan desa ini penting untuk penyusunan dokumen perencana dan alokasi anggaran desa.
Isu lain: regulasi ihwal penataan desa. Tiga tahun kebutuhan ini dibiarkan kosong. Akibatnya, inisiatif mendirikan sekitar 130 desa adat di tingkat tempat tidak sanggup dilanjutkan dengan proses pendaftaran desa (Zakaria, 2015, dan Epistema Institute, 2017). Baru final Januari lalu, tanpa proses konsultasi publik, Kemendagri memberlakukan Permendagri No 1/2017 ihwal Penataan Desa.
Toh, dilema tidak eksklusif selesai. Persyaratan pembentukan (pemerintahan) desa adat diberlakukan sama dengan pembentukan desa. Padahal, sebagaimana diatur pada Pasal 98 Ayat (2) UU Desa, proses pembentukan desa adat tidak sama dengan proses pembentukan pemerintahan desa adat. Alhasil, niat membayar utang konstitusional kepada masyarakat adat yang tertunda selama 70 tahun itu tidak akan segera terlaksana.
Tidak taat asas
Sejatinya, substansi pengaturan yang ada pada Permendes PDTT No 1/2015 jauh lebih konsisten ketimbang Permendagri No 44/2016. Paling tidak, meski hanya mengatur soal kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa, Permendes PDTT No 1/2015 setidaknya mengulangi apa yang telah disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No 43/2015. Sementara Permendagri No 44/2016 cenderung lebih menyederhanakan alasannya itu menjadi multitafsir.
Persoalan jadi makin rumit di tingkat kabupaten/kota. Untuk sanggup menyalurkan dana desa, misalnya, kabupaten terpaksa menetapkan kewenangan desa. Padahal, kebijakan induk belum tersedia. Di tingkat kabupaten/kota kewenangan desa itu menjadi jauh lebih sempit lagi.
Masalah koordinasi pun kemudian jadi kebutuhan. Namun, kebijakan yang menaungi pun tidak kunjung datang. Masalah lain yang menonjol soal prioritas penggunaan dana desa dan alokasi dana desa. Prinsip rekognisi dan subsidiaritas juga belum diterapkan secara lebih konsisten. Faktanya, tiap tahun ada kode dari sentra bagaimana dana desa pada tahun berjalan harus digunakan. Di tingkat lapangan, apa yang telah direncanakan dan diputuskan lewat musyawarah desa jadi teringkari.
Upaya peningkatan pelayanan publik pun kemudian jadi polemik. Sebagian kalangan berpendapat, desa tidak berkewajiban menyediakan pelayanan publik yang jadi kiprah negara, tetapi meningkatkan layanan melaluipenyediaan. Sebagian kelompok lain memahami pelayanan publik desa tidak ada bedanya dengan pelayanan publik oleh pemerintah sentra dan daerah. Sebagian kelompok lagi menghendaki pelayanan publik desa harus diatursecara administratif, baku, dan ketat (rezim administratif) (Ahmad Rofiq, 2016).
Masalah korupsi
Di samping beberapa masalah yang telah dijelaskan di atas, masih terdapat sejumlah masalah lain yang juga masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, baik (pemerintah) sentra maupun (pemerintah) daerah, dan juga para pihak yang peduli.
Pekerjaan rumah tersebut antara lain: (a) dilema kapasitas aparatur abdnegara desa; (b) keragaman sistem aplikasi yang dipersiapkan untuk membantu manajemen dan keuangan desa; (c) masalah perekrutan dan kapasitas pendamping desa; (d) kejelasan pembagian acara "desa membangun" di suatu sisi dan "pembangunan desa" di sisi lain; (e) alokasi dana desa dan alokasi dana desa yang lebih peduli dengan masalah kemiskinan dan kepentingan kelompok marjinal di dalam desa; (f) partisipasi masyarakat, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan terlebih lagi dalam proses pengawasan dari bawah; (g) masalah demokratisasi desa, utamanya keterwakilam kelompok-kelompok marjinal dan rentan dalam proses-proses pengambilan keputusan di tingkat desa; serta (h) efektivitas dana desa, alokasi dana desa, dan aset desa (termasuk efektivitas BUMDes).
Kebijakan BUMDes yang jadi jadwal utama Menteri Desa PDTT dikala ini dianggap banyak pihak bertentangan dengan semangat UU Desa itu sendiri. "Kacau-balau! Sepertinya Pak Menterindak paham soal BUMDes yang seharusnya bab dari kewenangan lokal berskala desa. Bukan bab dari kiprah perbantuan sebagaimana yang dimaksudkan Pak Menteri," komentar seorang pegiat BUMDes dari Kabupaten Bantul.
Salah satu dilema yang perlu menerima perhatian tentu saja soal korupsi. Merujuk jumlah kasus yang diterima (sekitar 362 kasus) dan yang layak ditindaklanjuti (87 kasus) KPK, secara persentase relatif rendah. Namun, berdasarkan seorang mantan wali nagari di Sumatera Barat, kasus sejenis seharusnya jauh lebih luas. "Itu hanya puncak gunung es," kata sang mantan wali nagari itu menanggapi sebuahposting di laman Facebook.
Singkat kata, implementasi UU Desa, kecuali yang janji pemerintah untuk terus meningkatkan pemikiran dana ke desa yang tahun anggaran 2017 ini mencapai angka Rp 60 triliun, memang masih jauh dari memuaskan. Maka, kritik ihwal ambiguitas pengaturan desa oleh lebih dari satu kementerian itu perlu menjadi perhatian presiden dan para pembantunya. Waktu "belajar" tiga tahun rasanya cukup untuk menerapkan UU Desa ini secara lebih konsekuen di masa-masa yang akan datang.[*]
Oleh R YANDO ZAKARIA
Praktisi Antropologi, Anggota Tim Ahli dewan perwakilan rakyat RI untuk RUU Desa.
Praktisi Antropologi, Anggota Tim Ahli dewan perwakilan rakyat RI untuk RUU Desa.
Harian Kompas, 11/02/2017