Dana Desa Dan Transformasi Berdesa

Kehadiran UU No 6 Tahun 2014 diyakini banyak kalangan, terutama masyarakat desa, sebagai produk aturan satu-satunya yang membela desa.

Undang-undang itu memperlihatkan standing position negara yang bergotong-royong terhadap desa. Sebelumnya, tidak pernah ada terobosan aturan yang berani berada di garis depan untuk membela desa. Produk aturan sebelumnya, UU No 5/1979 perihal Desa yang dibentuk Orde Baru, hanya menghasilkan keganasan rezim sentralisasi atas desa.
undang itu memperlihatkan standing position negara yang bergotong-royong terhadap desa  Dana Desa dan Transformasi Berdesa

Desa diseragamkan dan dijadikan objek segala bentuk kebijakan pemerintah yang dikendalikan Jakarta. Kebijakan top down dan perencanaan dari atas masuk ke desa, mulai jadwal KUD (Koperasi Unit Desa), Revolusi Hijau, hingga Inpres Desa Tertinggal (IDT). Program-program itu gagal melahirkan transformasi desa menjadi desa yang mandiri, maju, dan sejahtera.

Program revolusi hijau sendiri bergotong-royong merupakan jadwal monumental dari hasil pedoman William Gaud (1968) yang menggandakan masifnya perubahan pertanian di Meksiko 1945. Waktu itu revolusi pertanian Meksiko dijalankan dengan memperkuat riset terhadap bibit unggul, intensifikasi, dan ekstensifikasi pertanian serta peningkatan infrastruktur pertanian.

Hasilnya, pada 1956, Meksiko memenuhi kebutuhan gandum domestik dan bahkan sebagiannya dicadangkan untuk trend paceklik. Program Revolusi Hijau kemudian diadopsi Orde Baru menjadi jadwal prioritas di bidang pertanian.

Banyak studi memperlihatkan program-program itu gagal alasannya ialah masyarakat desa hanya dijadikan sebagai objek. Akibat penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, petani mengalami keterasingan dari lahan pertanian sendiri.Studi Hans Antlov (2003) yang kemudian menjadi buku monumental dengan judul Negara Dalam Desa-Patronase Kepemimpinan Lokal memperlihatkan proyek mengakibatkan desa sebagai objek juga menghasilkan desa yang mengalami desakralisasi politik yang menawarkan keleluasaan terhadap negara untuk mencaplok sumber daya desa demi kepentingan kekuasaan.

Ketika Orde Baru runtuh pada 1998, ada impian yang sangat berpengaruh bahwa negara tidak lagi memperlakukan desa secara diskriminatif. Namun, fakta memperlihatkan perlakuan diskriminatif negara bergeser ke pemerintah daerah. Berbagai produk undang-undang, mulai UU No 22 Tahun 1999 hingga UU No 32 Tahun 2004 perihal Pemerintahan Daerah, melahirkan model gres pengendalian terhadap desa. Di bawah payung otonomi daerah, desa dijadikan sebagai anak tiri pemerintah kabupaten, dianggap remeh, dan bahkan dipandang sebelah mata. Desa bersusah-payah merumuskan jadwal perencanaan dalam lembaga musrenbangdes (musyawarah planning pembangunan desa).

Eksekusinya sangat bergantung pada kebaikan hati pemerintah kabupaten dan bahkan banyak hasil musrenbangdes yang dibuang ke tong sampah dengan alasan tidak ada anggaran. Di sisi yang lain, pemerintah kabupaten basuh tangan terhadap persoalan-persoalan desa yang paling mendasar, menyerupai kasus air bersih, listrik, dan jalan desa. Sumber daya insan desa pun tidak diperhatikan pemerintah tempat dan sengaja dibiarkan tidak berdaya.

Dana desa dan kelakuan rezim

Dana desa yang berasal dari APBN tentu saja membawa angin segar terhadap desa. Bagaimana pun, adanya dana desa menawarkan keadilan terhadap desa sama dengan struktur pemerintahan yang lain, yaitu pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota yang selama ini memperoleh pemberian APBN yang sangat signifikan. Pemerintah pun mempunyai komitmen yang kuat. Bahkan, Presiden Joko Widodo mengatakan, pada 2016 dana desa akan ditingkatkan menjadi Rp46,6 triliun dari sebelumnya Rp20,7 triliun untuk 74,093 desa di Indonesia (Kompas, 16 Maret 2016). Perlu diakui komitmen dan pemberian dana desa sudah mulai membawa perubahan dan kemajuan yang signifikan di desa.

Dalam jadwal fasilitasi pembuatan RPJMDes (rencana pembangunan jangka menengah desa) di 65 desa di Sumba Tengah pada 2015, kami elihat gelora dan semangat berdesa yang muncul kembali di desa sejalan dengan penyaluran dana desa. Studi Sutoro Eko (2015) memperlihatkan ada sedikitnya 2.657.916 pertumbuhan dan peresapan tenaga kerja gres di desa yang merupakan dampak mengalirnya dana desa ke desa.

Ini merupakan belahan dari cash for work bagi desa. Jika dihitung rata-rata, setiap desa pada 2015 menerima sekitar 360 juta dan pada 2016 meningkat 100% menjadi sekitar 620 juta per desa. Jumlah ini memang masih jauh dari kesepakatan yang disampaikan dalam kampanye Presiden Jokowi pada Pemilu 2014, yaitu setiap desa memperoleh sekitar Rp1,4 miliar.

Selama ini, desa mengalami problem ketiadaan anggaran untuk mendukung jadwal pemerintah, menyerupai air bersih, listrik desa, dan jalan desa. Melalui dana desa, semua kebutuhan desa yang terkait dengan infrastruktur dasar akan terpenuhi walaupun jumlahnya belum memadai. Namun, yang sangat dikuatirkan ialah munculnya beberapa dilema terkait dengan dana desa. Pertama, kasus sinkronisasi aturan di tingkatan pemerintahan.

Masuknya dana desa melalui rekening pemerintah tempat menutup ruang bagi pemerintah tempat untuk menyalurkan alokasi dana desa (ADD) yang bersumber dari APBD. Padahal, porsi ADD yang harus dialokasikan tempat ke desa mencapai 10% dari APBD dari dana perimbangan pemerintah tempat yang diterima dari pemerintah pusat. Di sini kita sangat membutuhkan supervisi dan atensi publik untuk menekan kewajiban pemerintah tempat biar jangan lupa menyalurkan ADD dan jangan mengklaim dana desa sebagai dana kabupaten. Jika demikian yang terjadi, rezim tempat berarti berkelakuan benalu dan memanfaatkan bagan desentralisasi untuk mengendalikan desa.

Kedua, masuknya tenaga pendamping desa yang terdiri atas tenaga pendamping profesional dan kader pemberdayaan masyarakat desa. Di satu sisi, itu akan menawarkan kemudahan bagi desa dalam menciptakan manajemen dan teknis pelaporan keuangan. Namun, di sisi yang lain, perekrutan mereka yang eksklusif dibawa Menteri PDT bernuansa politis sehingga diragukan tenaga pendamping itu akan bisa membawa perubahan di desa. Bisa jadi tenaga pendamping desa itu akan menjadi benalu gres yang ikut menggerus dana desa untuk tujuan-tujuan politik.

Berdasarkan data 2015, dana desa ternyata tidak semata-mata dipakai untuk infrastruktur, tetapi juga dipakai untuk pemerintah desa (5,49%), kemasyarakatan 2,63%, pemberdayaan 2,50%, dan infrastruktur hanya 89,39% (Marwan Jafar, 2016). Dengan demikian, sanggup dikatakan bahwa dana desa mempunyai peluang penyimpangan yang sangat tinggi. Karena itu, kontrol dan perhatian multipihak sangat penting untuk meminimalkan penyimpangan dana desa. Apabila desa tertib dan disiplin dalam memakai dana desa, transformasi berdesa, cepat atau lambat, akan tercapai.

Transformasi ini menyangkut banyak hal, antara lain perubahan tata kelola pemerintahan, pembangunan, serta pemberdayaan dan kemasyarakatan yang lebih maju, mandiri, dan sejahtera. Dengan sendirinya, pandangan sinis terhadap desa akan berlalu sejalan dengan perubahan wajah desa menjadi desa self help dan Dengan demikian, di masa mendatang, pendapatan orisinil desa (PADes) menjadi kata kunci kemajuan. Desa diperlukan tidak bergantung lagi pada APBD dan APBN.

Oleh Gregorius Sahdan Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan STPMD "APMD" Direktur The Indonesian Power for Democracy (IPD).

Sumber: Media Indonesia.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel