Dana Desa Dalam Padat Karya Tunai

UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa lahir alasannya yaitu ketidakseimbangan pola pembangunan antara desa dan kota. Jika kita lihat data perihal stunting, pengangguran, setengah penganggur, dan tingkat kesenjangan pendapatan akan menyumbang angka kemiskinan yang tinggi di perdesaan.
Pelaksanaan Padat Karya Tunai di Desa/Foto: Sumadi Arsyah
Data resmi dari BPS Maret 2017, warga miskin di desa 13,93% dan di kota 7,72%. Perbandingannya mendekati kisaran 2:1, yang artinya jumlah warga miskin di desa hampir dua kali lipat warga miskin di kota.

Untuk mengatasi kesenjangan ini pemerintah Jokowi menggulirkan kegiatan Dana Desa yang setiap tahunnya mengalami kenaikan signifikan kecuali pada 2018. Total dana desa yang sudah dikucurkan semenjak 2015 hingga 2018 mencapai Rp 187,74 triliun. Kita sanggup bayangkan kalau uang ini dikelola sempurna sasaran, tidak akan ada lagi gizi buruk, pengangguran, kesenjangan ekonomi, dan kesenjangan lainnya.

Pola pengelolaan yang dibangun dari penggunaan dana desa selama 3 tahun pertama porsinya lebih banyak pada pembangunan infrastruktur yang belum terkendali dengan semestinya, alasannya yaitu masyarakat desa kurang dilibatkan. Sehingga proses perencanaan pembangunan tidak sempurna sasaran, dan rawan korupsi.

Belum lagi seorang kepala kawasan yang tidak bersinergi dengan desa. Pembangunan infrastruktur di desa akan berarti apabila pembangunan jalan-jalan kabupaten dan provinsi terhubung dengan baik. Masih banyak kepala kawasan abai terhadap desa, alasannya yaitu belum maksimum menunjukkan pelatihan dan pengawasan terkait pencapaian standar pelayanan minimal pembangunan dan pemberdayaan di desa.

Alih-alih untuk mengentaskan kemiskinan, justru dana desa sanggup menjadi tragedi apabila tidak paham cara pengelolaannya. Dasar pengelolaannya ini menurut prioritas kebutuhan masyarakat desa itu dengan melibatkan seluruh stakeholder yang ada di desa. Tahapannya diawali dari musyawarah desa, penyusunan RKPDesa, hingga pada penetapan APBDesa yang disusun sempurna waktu.

Selama 3 tahun pertama, sasaran untuk mengentaskan kemiskinan di desa masih jauh dari harapan. Data Indeks Desa Membangun sebagai tolok ukur pembangunan di desa belum mengubah wajah desa. Jumlah desa tertinggal dan sangat tertinggal mencapai 60% dari total desa. Bahkan, di Papua mencapai 96% dari total desa. Artinya, kesenjangan masih menganga di Republik ini.

Padat Karya Tunai

Gerakan Saemaul Undong di Korea sanggup dijadikan proyek percontohan pembangunan desa di Indonesia. Kesuksesan gerakan ini diindoktrinisasi secara vertikal dan horizontal. Vertikalnya, pemerintah mengucurkan dana sekaligus menempatkan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa sebagai subjek. Horizontalnya, menggagas semangat menolong diri sendiri dan kerja sama.

Bangsa Indonesia dari zaman dahulu sudah mempunyai modal awal pembangunan, yakni semangat gotong royong. Semangat ini akan terkikis habis bila tidak dipelihara, diajarkan, dan dilestarikan. Untuk mencapai konsesus nasional pembangunan, pemerintah sudah mengakuinya dalam kewenangan lokal berskala desa, dan kewenangan menurut hak asal-usul. Kewenangan inilah sebagai aset desa untuk membangun dan memberdayakan masyarakatnya.

Program Padat Karya Tunai yang dimunculkan kembali dalam wajah gres pemerintahan Jokowi sanggup menjawab permasalahan yang sedang dihadapi di desa. Ketentuannya, 30% dari seluruh kegiatan pembangunan dibayarkan untuk upah.

Sasaran dari kegiatan ini yaitu keluarga yang mengalami gizi buruk, pengangguran, setengah pengangguran, warga miskin, petani, perempuan dan pria usia produktif yang tidak harus berpengalaman. Upah mereka dibayarkan setiap hari atau mingguan sesuai dengan standar harga di masing-masing daerah.

Manfaatnya meningkatkan produksi dan nilai tambah, ekspansi kesempatan kerja sementara, penciptaan upah atau pemanis pendapatan, ekspansi kanal pelayanan dasar sekaligus mutunya, dan terbukanya desa terisolir.

Strateginya diawali dari persiapan pelaksanaan yang meliputi planning kerja, data tenaga kerja lokal, identifikasi sumber daya lokal, dan pengadaan barang dan jasa. Tahapan selanjutnya pelaksanaan, pelaporan, dan pelatihan serta pengawasan.

Kelemahan yang terjadi di desa sering terjadi pada proses perencanaan. Pemerintah desa sering terlambat melengkapi dokumen RKPDesa dan APBDesa. Kebanyakan desa menuntaskan proses pembuatan dokumen ini di tahun berjalan. Alhasil, pencairan pertama dana desa terjadi di pertengahan tahun. Tentu saja proses percepatan pembangunan di desa menjadi terlambat.

Cara mengatasinya cukup mudah. Pendamping desa diberikan kanal kemudahan memfasilitasi pemerintah desa dalam percepatan pembuatan dokumen tersebut. Jangan hingga pembuatan dokumen-dokumen ini dipihakketigakan sehingga akan muncul tawar-menawar harga. Pendamping desa harus siap memfasilitasi proses pembuatannya.

Supaya Program Padat Karya Tunai berkelanjutan, pendamping desa haruslah independen. Pembinaan dan pengawasan pendamping desa jangan lagi di bawah pemerintah daerah, melainkan pemerintah pusat. Proses pengadaannya diserahkan pada panitia seleksi nasional. Pada tahapan akhir, pendamping desa menginduk pada komisi pendamping profesional yang berdiri sejajar dengan forum atau tubuh nasional.

Saat ini jumlah pendamping profesional dan pendamping teknis berkisar 227.629 yang tersebar di sembilan kementerian. Jika pendamping ini dipolitisasi, kegiatan percepatan pengentasan kemiskinan hanya menjadi mimpi di siang bolong.

Kesimpulan

Model intervensi Program Padat Karya Tunai cocok dilaksanakan pada wilayah pascabencana, rawan pangan, pascakonflik, desa tertinggal dan sangat tertinggal untuk mengurangi jumlah pengangguran dan masyarakat miskin sehingga produktivitas, pendapatan, dan daya beli masyarakat meningkat.

Jika model ini berhasil dilaksanakan, maka segitiga keseimbangan akan tercipta di desa. Keseimbangan ekonomi, keseimbangan sosial, dan keseimbangan lingkungan yaitu ciri-ciri sebuah desa itu sudah maju dan mandiri. Jika sudah maju dan sanggup berdiri diatas kaki sendiri maka migrasi, urbanisasi, serta pengiriman TKI yang rawan dieksekusi mati pasti tidak terjadi.(*)

Oleh Marudut H. Panjaitan pemerhati pendidikan, aktif di pemberdayaan masyarakat desa dan relawan Jokowi Centre.

(Sumber: Detik.com)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel