Aturan Keuangan Desa Berubah, Desa Dipaksa Berguru Lagi

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 perihal Desa (UU Desa) sudah masuk tahun ke empat, alasannya yakni efektif berjalan semenjak 2015.
 
Pemberdayaan desa menemukan bermacam-macam tantangan dan pembelajaran Aturan Keuangan Desa Berubah, Desa Dipaksa Belajar Lagi
Pemberdayaan desa menemukan bermacam-macam tantangan dan pembelajaran. Salah satu tantangan yang akan dihadapi oleh pengelola keuangan desa dalam waktu bersahabat yakni penyesuaiantata kelola keuangan desa  terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 tahun 2018 (Permendagri 20/2018) perihal Pengelolaan Keuangan Desa.

Permendagri 20/2018 mencabut Permendagri 113/2014 perihal Pengelolaan Keuangan Desa dan beberapa pasal atau ayat terkait pada Permendagri 114/2014 perihal Pedoman Pembangunan Desa.

Catatan Perubahan Mendasar Pengelolaan Keuangan Desa
  1. Pencatatan akutansi keuangan memakai metode Basis Kas. Artinya, transaksi keuangan gres dicatat jikalau sudah terjadi penerimaan atau pengeluaran. Sebelumnya memakai basis akrual yang mencatat semua transaksi meskipun belum ada pengeluaran atau penerimaan kas.
  2. Pengelola keuangan diharuskan berasal dari perangkat desa yang terdiri dari Kepala Urusan (Kaur) dan Kepala Seksi (Kasi). Dalam hal ini sebetulnya Kabupaten/Kota sanggup mengatur (melalui Perbup) mengenai adanya unsur masyarakat yang masuk menjadi tim pelaksana kegiatan. Penatausahaan atau fungsi perbendaharaan dilakukan oleh Kaur Keuangan, sebelumnya oleh Bendahara.
  3. Terdapat perubahan struktur kodifikasi Bidang, Sub Bidang, Kegiatan, Jenis Belanja, Obyek Belanja, sampai item belanja/pengeluaran. Struktur ini termasuk penentuan instruksi rekening yang baku sampai item belanja dalam rancangan anggaran. Penambahan item yang dinamis (di luar kebakuan) hanya disediakan nomor instruksi rekening 90-99 saja. Terlihat ambisi yang tinggi untuk kepentingan agregasi secara nasional.
  4. Terdapat suplemen format dokumen penganggaran, pelaksanaan, sampai laporan realisasi dan pertanggungjawaban. Dokumen suplemen tersebut (selain yang sudah termuat dalam Permendagri 113/2014) meliputi: DPA, RKA, RKK, RAK, Buku Pembantu Panjar, Buku Pembantu Terima Swadaya, laporan perkembangan pelaksanaan kegiatan, Catatan atas Laporan Keuangan (CALK), dan laporan kegiatan sektoral.
  5. Adanya kewenangan BPD untuk menolak RAPBDesa.
  6. Kewenangan training dan pengawasan bukan hanya pada level kabupaten/kota dan provinsi, tetapi sampai level Kementerian.
Tantangan Penguatan Kapasitas dan Pemberdayaan Desa

Aturan gres akan menjadikan hukum turunan baru. Mekanisme gres akan menjadikan pembiasaan secara sosial dan teknis di lapangan. Dalam hal ini pengelola keuangan di desa juga “harus” menyesuaikan tata kelola keuangan yang sudah berjalan selama ini dengan hukum dan prosedur yang baru. Bukan hanya desa, pemerintah kabupaten/kota dan provinsi pun juga harus menyiapkan contoh penguatan kapasitas dan pendampingan desa sehingga pengelolaan keuangan desa tidak menjebak desa pada aspek teknokratis dan administatif saja. Selain itu, implementasi UUDesa tidak hanya dimaknai dengan pengelolaan Akutansi Dana Desa.

Refleksi
Mengutip pernyataan Sutoro Eko dalam diskusi yang digelar Institute for Research and Empowerment (IRE) pada 21/07/2018 di Yogyakarta bertajuk “Meluruskan Jalan Desa”, ada tiga poin penting reflektif yang perlu dilakukan oleh desa dalam implementasi UUDesa, yaitu:
  1. Radikalisasi Desa, dimaknai sebagai tolong-menolong dalam merebut kuasa pengelolaan urusan desa
  2. Dekolonialisasi, dimaknai sebagai melawan penjajahan yang memakai regulasi dan teknokrasi
  3. Siasat dan Negosiasi, dimaknai dengan Desa harus tetap menyiasati pemberdayaan masyarakat desa demi keutuhan abjad desa yang berdaya.
Silahkan unduh Permendagri 20/2018 dan lampirannya disini.

Sumber: https://sekolahdesa.or.id/aturan-pengelolaan-keuangan-desa-berubah-ambisi-teknokrasi-desa/

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel