Keujruen Blang Dan Panglima Uteun



Dengan gembira saya ingin mengajak pembaca untuk menyidik kembali suatu warisan budaya Aceh yang luar biasa penting dan strategis kiprahnya dalam pemanfaatan dan konservasi sumber daya pertanian dan kehutanan. Lembaga/institusi watak tersebut ialah Keujruen Blang dan Panglima Uteun. Tidak cukup menjadi sebuah legenda pada masa kejayaan kesultanan Aceh, namun diharapkan menjadi aset berharga yang berkelanjutan hingga selesai hayatnya bangsa ini.

Keujruen Blang

Dalam pasal 1 ayat 22 Qanun No.10 tahun 2008 ihwal Lembaga Adat, Keujruen Blang didefinisikan sebagai orang yang memimpin dan mengatur kegiatan perjuangan di bidang persawahan. Merujuk pada pasal 25, fungsinya antara lain (1) memilih dan mengkoordinasikan tata cara turun ke sawah, (2) mengatur pembagian air ke sawah petani, (3) membantu pemerintah dalam bidang pertanian, (4) mengkoordinasikan khanduri blang atau upacara watak lainnya terkait dengan pengurusan pertanian sawah, (5) memberi teguran dan hukuman kepada petani yang melanggar aturan-aturan watak bersawah (meugo) atau tidak melaksanakan kewajiban lain dalam sistem pelaksanaan pertanian secara adat, dan (6) menuntaskan sengketa antar petani yang berkaitan dengan pelaksanaan perjuangan pertanian sawah. 

Dalam sebuah kajian di Kecamatan Sawang Aceh Utara, hirarki Keujruen Blang terdiri atas 3 tingkat yaitu Keujruen Chik (tingkat kecamatan), Keujruen Muda (tingkat desa), dan Keujruen Petak (Yulia dkk., Jurnal Dinamika Hukum, Vol.12 No.2 Mei 2012).

Keujruen Blang ialah seorang seorang jago di bidang penataan pertanian yang memiliki posisi sebagai bab dari tim asistensi kepala gampong (keuchik) dalam memakmurkan petani. Pengangkatan dilakukan melalui jalam musyawarah oleh masyarakat. Figur Keujruen Blang didasarkan pada kriteria petani yang berkepribadian tekun dan disiplin, berpengalaman dalam bidang kemasyarakatan, menguasai aturan watak pertanian (meugo), dan memahami keadaan yang dipengaruhi oleh hidrologis wilayah (keuneunong).

Adat meugo ini merupakan hasil kesepakatan bersama yang ditetapkan dalam khanduri blang dimana sebagian isinya ialah warisan budaya. Contoh watak meugo yang merupakan warisan budaya ialah pantangan memasang bubu (bube) di sawah, menjemur dan menumbuk padi selama 7 hari terhitung semenjak pelaksanaan khanduri blang. Adat meugo juga mencakup ihwal waktu turun ke sawah, prosedur pembagian air, dan perawatan jaringan air. Apabila terjadi pelanggaran maka Keujruen Blang akan turun menawarkan hukuman yang sepatutnya kepada warganya. Sanksinya sangat sederhana contohnya denda Rp 10.000 untuk setiap pengambilan air secara tidak sah, atau perbaikan jaringan air yang menyerupai keadaan sebelum rusak. Namun demikian kekuatan hukuman sosial ini sangat besar untuk tertegaknya aturan watak meugo tersebut. Uniknya apabila terjadi sengketa antarpetani, Keujruen Blang akan menawarkan hukuman yang bervariasi, mulai dari menyediakan masakan ringan manis apam sebanyak 1.000 buah hingga penyembelihan seekor kambing untuk dimakan bersama dalam aktivitas kesepakatan damai.

Panglima Uteun

Berbeda dengan hirarki Keujruen Blang, Panglima Uteun merupakan unsur pemerintahan mukim yang bertanggung jawab kepada Imum Mukim. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh luasan hutan yang tidak sanggup dipisahkan menurut batas teritorial sebuah desa. Fungsi Panglima Uteun yang telah eksis juga sangat banyak yaitu (1) menyelenggarakan watak glee, (2) mengawasi dan menerapkan larangan watak glee, (3) pemungut cukai (wasee glee) sebesar 10% untuk raja, (4) menuntaskan sengketa yang terkait dengan pelanggaran aturan watak glee (www.zuheimiaceh.blogspot.com, 2013).

Dalam Qanun No. 10 Tahun 2008, istilah yang dipakai ialah Pawang Glee (Pasal 30-31), bukan Panglima Uteun. Lebih jauh dalam qanun ini, fungsi Pawang Glee (yang dipilih per 6 tahun) sebagai pemungut cukai sudah tidak disebutkan lagi, dimana fungsinya hanya dibatasi pada memimpin dan mengatur watak istiadat terkait pengelolaan dan pelestarian hutan, membantu pemerintah dan menuntaskan sengketa dalam urusan kehutanan tersebut.

Adat glee yang dimiliki oleh orang Aceh sangat menarik. Pertama, larangan menebang pohon dalam jarak 600 meter dari mata air, danau, waduk, alue, dan lain-lain. Kedua, larangan menebang pohon pada jarak 60 meter dari tubuh sungai besar. Ketiga, larangan menebang pohon pada jarak 30 meter dari tubuh anak sungai (alue). Keempat, larangan menebang pohon di puncak gunung, pada bab yang terjal, dan pada jarak 2x kedalamannya dari sebuah jurang. Kalau dicermati maka watak glee ini mengandung nilai keilmuan yang modern dan sangatlah konservatif alasannya ialah apabila diimplementasikan akan berdampak pada pelestarian hutan.

Keujruen Blang dan Panglima Uteun ialah modal besar bagi Aceh untuk mencapai kejayaan di bidang pertanian dan kehutanan. Menyikapi keberadaan forum watak dalam masyarakat, Pemerintah sudah berupaya mentransformasikan legalitasnya dengan legalisasi Qanun No.10 Tahun 2008. Hal ini sanggup dikatagorikan sebagai sebuah upaya penguatan keberadaan forum adat. Terima kasih pada pemerintah. Harapan kita semua tentunya biar Aceh sanggup mempertahankan warisan leluhur tersebut sebagai sebuah pujian serta mendapat manfaat yang besar dari pelaksanaan fungsi-fungsinya. Namun ketika melaksanakan hukuman di lapangan, pemerintah masih kurang sensitif atau lemah dalam melaksanakan analisa, sehingga menghasilkan ketidakefektifan dan bahkan cenderung menjadikan rusaknya fungsi-fungsi forum adat. 

Hal ini perlu menjadi perhatian supaya ke depan kita bisa hasilkan capaian yang lebih baik. Kalau pada langkah pertama Pemerintah sudah melaksanakan penguatan, maka pada langkah selanjutnya Pemerintah dihentikan menjadikan pelemahan dari fungsi-fungsi forum adat. Sebaliknya Pemerintah harus bisa menerjemahkan konsep pelaksanaan lapangan yang meningkatkan kapasitas dan kualitas kerja forum adat, dengan tetap mempertahankan nilai sosial forum watak yang selama ini mendapat penghargaan dari rakyatnya atas dasar cinta dan keikhlasan. Lembaga watak jangan hingga tercemar dengan virus komersial. 

Sebagai bukti masih belum efektif, penelitian Yulia, dkk (2012) mengidentifikasikan bahwa para Keujruen Blang ada yang belum mendapat sosialisasi ihwal qanun, para Keujruen Muda gagal membangun koordinasi yang baik, dan belum ada prosedur baik untuk menghargai jasa Keujruen Blang. Atas dasar inovasi ini, pemerintah (Dinas terkait) harus segera mengagendakan aktivitas sosialisasi dan koordinasi untuk para Keujruen Blang. Qanun dihentikan hanya menjadi dokumen mati, namun rohnya qanun perlu diarusutamakan dalam panduan teknis pelaksanaan forum watak Keujruen Blang. 

Tidak boleh gagal

Pemerintah dihentikan gagal dalam aktivitas penguatan Keujruen Blang dan Panglima Uteun, hanya alasannya ialah mereka tidak sanggup membaca dan menulis. Kinerja Keujruen Blang maupun Panglima Uteun sudah sangat kasatmata dirasakan keuntungannya dari masa ke masa. Sepatutnya Pemerintah melaksanakan interaksi sosial menggali keilmuan alamiah dari Keujruen Blang dan Panglima Uteun yang kemudian sanggup dipakai untuk menghasilkan dokumen dan aktivitas yang berkualitas. Pemerintah sanggup melibatkan akademisi untuk mencari metode transfer ilmu pengetahuan tanpa harus memaksa para Keujruen Blang dan Panglima Uteun untuk bisa membaca dan menulis. Misalnya sanggup memakai metode sosialisasi qanun dengan sistem sekolah lapang, talk show interaktif di radio terkait informasi Keujruen Blang dan Panglima Uteun, dan lain sebagainya. 

Selain koordinasi internal Keujruen Blang, Pemerintah perlu juga sensitif menuntaskan duduk masalah koordinasi dengan forum lain menyerupai dengan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) di bawah Dinas Pengairan dan dengan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS). Bahkan yang menjadi pertanyaan berikutnya ialah apakah P3A dibutuhkan di Aceh yang sudah memiliki forum Keujruen Blang? Karena apabila fungsi P3A sama dengan Keujruen Blang, sama artinya pemerintah telah membunuh identitas Keujruen Blang itu sendiri dengan menghilangkan tugas dan fungsinya. Pemerintah juga harus menjamin koordinasi yang baik antara Panglima Uteun dan Polisi Hutan biar sanggup bahu-membahu saling menguatkan dalam proses menjaga hutan Aceh.

Keuangan ialah soal na heik na hak, yang sangat sensitif untuk dibicarakan. Menurut saya, pemberian penghargaaan (award) bagi Keujruen Blang dan Panglima Uteun terbaik setiap tahunnya akan berdampak lebih baik  pada kinerja mereka dibandingkan dengan pemberian honorarium bulanan. Pada ketika ini, pemerintah melalui Dinas Kehutanan telah menawarkan honorarium kepada seluruh Panglima Uteun. Ironisnya, kemudian pemerintah tidak memiliki alokasi dana untuk membantu operasional atau aktivitas kerja mereka. 

Seharusnya Pemerintah memahami bahwa kiprahnya ialah untuk meningkatkan kinerja Panglima Uteun sehingga prioritas aktivitas pembangunan diarahkan ke dukungan di bidang operasional. Misalnya saja alokasi dana untuk patroli atau pengawasan di hutan, atau biaya untuk membeli mercon yang dipakai untuk mengusir gajah. Yang sangat kita kuatirkan ialah rusaknya mentalitas Panglima Uteun akhir kebijakan honorarium tersebut, melahirkan iklim bahwa posisi Panglima Uteun ialah posisi yang basah, dan seterusnya. Semoga saja hal ini tidak terjadi. Amin.

Dr. Rita Khathir, S.TP., M.Sc., Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Email: rkhathir79@gmail.com

(Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2014/06/25/keujruen-blang-dan-panglima-uteun)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel