Keanehan Antara Orang Kota Dengan Orang Kampung
Ilustrasi |
Paska perjanjian hening antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sepintas terlihat bahwa pembangunan kampung (gampong) sudah terasa ada sayup-sayup. Biarpun jalan belum beraspal, listrik masih sering padam, infrastuktur pendidikan, kesehatan dan teknologi pertanian masih sekedar adanya, alias tradisional.
Namun, hebatnya orang kampung, mereka tidak banyak protes. Misalnya, dikala mati lampu, orang-orang di kampung lebih konkrit dalam menyikapi situasi. Mungkin orang-orang kampung, mereka mempunyai daya tahan sekaligus dapat menyiasati kehidupan bagaimanapun sulitnya.
Kondisi ini berbeda jauh dengan orang-orang kota. Misalnya, dikala listrik padam, orang-orang kota eksklusif meluapkan protesnya, melalui aneka macam jenjaring sosial ibarat twitter, facebook dan BlackBerry Messenger (BMM) mulai dengan "kata makian hingga sindiran".
Hal lain yang saya lihat dari orang-orang kampung. Misalnya, saya juga tidak menemukan adanya pembahasan yang serius perihal hasil Pilpres di kalangan orang-orang kampung. Perdebatan perihal Pilpres biarlah menjadi konsumsi dan kegilaan orang-orang di kota.
Bagi masyarakat kampung, asalkan mereka dapat menyelenggarakan hidupnya sendiri, dengan damai, nyaman, dan kondusif tanpa diganggu oleh siapapun dan hak-hak mereka tidak diambil, maka cukuplah itu..?
Secara struktural, orang-orang kampung juga tidak mempunyai ketergantungan yang berlebihan (penyakit terlalu berharap) kepada misalnya, anggota dewan, APBA, APBK, dana subsidi, dana pemerataan, dan lain-lain.
Selama di kampung halaman, saya melihat warga kampung kini banyak yang sudah punya honda (motor roda dua, orang Aceh apapun jenis motor, menyebutnya dengan honda). Bahkan dalam satu keluarga ada yang hingga punya dua hingga tiga buah honda. Satu digunakan sang ayah pergi ke kebun, satu digunakan anaknya pergi ke sekolah. Pada sore hari menjelang magrib, honda-honda dapat kita lihat diparkir di depan rumah mereka, mungkin ini sebagai lambang kemajuan dan kesejahteraan paska damai..?
Yang selalu mengasyikan saya, jikalau pulang kampung, belum dewasa muda kampung tak sungkan-sungkan mereka memamerkan “kemajuan-kemajuan teknlogi” tertentu. Kalau kita duduk di warung-warung kopi, ponsel android dan smartphone tercanggih kini bukan lagi barang langka dikalangan belum dewasa muda kampung. "Dulu tidak SMS-an, kini kala BBM"
Yang paling menciptakan saya asyik dengan orang-orang kampung. Bagaimana pun sistem nilai, moralitas, referensi perhubungan, dan perilaku masyarakat kampung terkadang selalu lebih jernih dan manusiawi dibanding dengan masyarakat modern yang hidup di kota-kota. Yang mana, sepahit apapun kondisi dan pertumbuhan ekonomi, kita tidak pernah mendengar ada gelandangan di kampung-kampung. Mungkin, orang-orang di kampung lebih menentukan membanting tulang ketimbang berharap kasihan orang lain.
Atas situasi kebatinan orang-orang kampung tersebut, kita-kita yang hidup di kota (kaum urban), acapkali memendam kerinduan kita. Setidaknya, sewaktu-sewaktu, dapat kembali atau tinggal di kampung.
Apalagi kehidupan orang-orang kampung, mereka "saling bantu-membantu, tolong-menolong dan saling berkunjung." Sehingga persatuan orang kampung jauh lebih baik, dibandingkan dengan orang-orang kota. Walaupun kebiasaan baik ini, sedikit memudar, boleh jadi sebab efek wabah induvidualisme yang sering mengindap orang kota.
"Orang-orang kota praktis bekerja untuk kemajuan dan prestasi dirinya". Kehidupan orang kota penuh dengan sekat-sekat sosial, dinding-dinding kultural dan pagar-pagar individual yang semakin mempersempit insan untuk hanya melihat dirinya sendiri.
Orang-orang kota selalu menyukai dan mengaku berpikiran kasatmata tetapi mereka juga membangun pagar rumah dan mengunci pintu rumah bahkan walau hanya ditinggalkan sejenak.
Anehnya, orang-orang kota selalu merasa, kita-kita inilah yang paling berhak perihal segala jenis konsep perihal memanusiakan manusia. Sementara paradoks besar itu ada pada diri kita.
Kota juga selalu identik, depenuhi dengan orang-orang terpelajar, baik yang bergiat di usaha-usaha perbaikan masyarakat, melaksanakan pendekatan ilmiah, melaksanakan diskusi-diskusi, mengolah data, memperlihatkan analisa-analisa, kemudian mereka terlelap dalam labirin panjang teori mereka sendiri dan merasa telah berbuat sesuatu untuk kemanusiaan.
Orang-orang kota membuka diri untuk motivasi, menonton dan membaca buku-buku perihal pengembangan diri, sehingga merasa telah menjadi transhuman, kemudian mengunci dirinya dalam ruang kedap bunyi yang tidak dapat dijangkau oleh insan lain.
Saya sendiri merasa sebagai orang yang sudah lima belas tahun hidup di kota, pikiran saya sudah sangat rusak dengan prasangka. Begitu ada wacana kenaikan BBM saja, kita dilanda kepanikan dan menentukan untuk memborong BBM sebisa-bisanya. Padahal kota itu banyak orang terpelajar, kenapa harus penuh dengan wajah-wajah yang khawatir...?? Entahlah