Desa

PENDAHULUAN

Upaya otonomi desa telah dilakukan semenjak proklamasi kemerdekaan RI, mengalami pasang surut, kemudian menerima momentum pada abad reformasi dan kebangkitan otonomi daerah, berpuncak pada tahun 2014. Desa diangkat UU menjadi subyek kepemerintahan, merupakan reformasi bersifat otonomi paling sejati.

Upaya otonomi desa telah dilakukan semenjak proklamasi kemerdekaan RI Desa

OTONOMI DAERAH

UU 22 tahun 1999 dan UU 32 tahun 2004 meletakkan substansi otonomi daerah dalam kekerabatan pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertujuan demokratisasi sistem pemerintahan, meningkatkan pelayanan publik dan meningkatkan kepercayaan masyarakat melalui tata kepemerintahan yang lebih cepat tanggap, akuntabel dan transparan melalui penyerahan pecahan kiprah pemerintah pusat yang sebaiknya menjadi kiprah pemerintah daerah dan menahan selebihnya. PP 38/2007 membagi wewenang pemerintah pusat dan pemda berdasar kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.

Dalam upaya meningkatkan derajat UU otonomi daerah yang dalam kenyataan- masih bersifat nominal (diterapkan secara babat pilih, yang diterapkan sebagian dan/atau yang bertentangan dengan UU) dan yang masih bersifat semantik (sekadar jargon, yang masih dipakai sebagai sekadar sarana pidato politik) menjadi sebuah konstitusi bersifat normatif yang diterapkan dan dipatuhi secara paripurna, KSAP membangun pertanggungjawaban berbasis akuntansi dan laporan keuangan.

Sebagai sebuah produk per-undang-undangan, PP 71/2010 perihal standar akuntansi pemerintahan dibuat untuk mencipta keadilan akuntansi, mencipta ketertiban dan akuntabilitas keuangan berbentuk LK, memberi manfaat transparansi keuangan bagi publik. Keadilan akuntansi yaitu upaya mitigasi risiko sistem politik berbentuk kekuasaan administrator terlampau besar, membangun keseimbangan kekuasaan dengan pertanggungjawaban keuangan negara antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, menghapus disharmoni APBN dan APBD, kepatutan keadilan alokasi dana APBN dan APBD berbasis aspirasi rakyat. Sementara audit LK akan menguji kewajaran pertanggungjawaban akuntansi dan pelaporan LK pemerintahan.

Karena itu PP 71/2010 bertujuan membangun nilai luhur ketertiban kuasa anggaran dan perbendaharaan bersifat akuntabel, transparan dan demokratis, mencipta iklim keuangan negara nan aman, damai, adil bagi kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat banyak.

UUD menentukan bahwa entitas NKRI terbagi menjadi entitas daerah provinsi, entitas provinsi terbagi menjadi beberapa entitas kabupaten dan kota. Entitas daerah provinsi, kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri sesuai UU otonomi daerah dan kiprah perbantuan melalui pembentukan peraturan daerah, masing-masing membentuk DPRD berdikari dengan anggota DPRD dan kepala pemerintahan daerah yang terpilih secara demokratis melalui pemilihan umum daerah, sehingga layak disebut entitas pelaporan LK.

UU 6 tahun 2014 perihal Desa menggambarkan itikad negara untuk mengotomikan desa, dengan banyak sekali kemandirian pemerintahan desa ibarat pemilihan umum calon pemimpin desa, anggaran desa, semacam DPRD desa, dan kemandirian pembuatan peraturan desa semacam perda, mengakibatkan daerah otonomi NKRI menjadi provinsi, kabupaten atau kota, dan desa. Reformasi telah mencapai akarnya, kesadaran konstitusi desa dan dusun diramalkan akan mendorong proses reformasi berbasis otonomi daerah bersifat hakiki.

Dalam buku indah berjudul Hukum Konstitusi dan Konsep Otonomi, Kajian Politik Hukum perihal Konstitusi, otonomi Daerah dan Desa Pasca Perubahan Konstitusi karangan Dr. Didik Sukriono, S.H,M.H., Beliau menguraikan bahwa UU 13/2003, UU 1/2004, UU 15/2004, UU 32/2004 dan UU 33/2004 menjadikan banyak sekali wacana keterbatasan kemampuan DPRD membentuk RPJMD, ketidakkonsistenan RPJMD dan APBD, wacana mis-alokasi anggaran, eforia Peraturan Daerah perihal pajak dan pungutan daerah dan pembatalannya oleh Mendagri, wacana disekitar dana dekonsentrasi dan dan kiprah pembantuan, kemudian PP 7/2008 diterbitkan untuk mengatasi dua isu terakhir tersebut. 

Permendagri 24 tahun 2006 mendorong pelayanan terpadu bertujuan biar layanan pemda makin baik, murah, cepat dan sederhana, namun dihambat keterbatasan anggaran pemda, standar pelayanan minimum belum tersusun, keterbatasan kesadaran dan kemampuan berakuntabilitas, mekanisme layanan berbelit-belit, kekurangan SDM dan koordinasi pemda dengan pemangku kepentingan.

UU 32/2004 menampilkan Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Peraturan Daerah mencakupi beban penduduk (pajak, retribusi dll), pembatasan kekebasan penduduk dan hak penduduk, serta pengaturan lain sesuai perundang-undangan NKRI.

Reformasi membawa angin segar deregulasi, pemekaran berkelanjutan daerah otonom telah memperlihatkan tanda-tanda berlebihan (kebablasan) dalam bentuk cita-cita berpisah dan separatisme kedaerahan berciri eforia pemekaran lanjutan banyak sekali pemerintah daerah sedemikian rupa kecilnya sehingga mengurangi daya ekonomi setiap pemerintahan daerah, meningkatnya biaya birokrasi dan rentang alokasi APBN, penurunan skala ekonomi (economies of scale) yang mengakibatkan Indonesia memasuki abad ekonomi mahal (diseconomies), penurunan pelayanan publik, penurunan daya saing negara, berpotensi separatisme ekstrim berupa penolakan menjadi pecahan NKRI, berkonsekuensi bahwa PP 71/2010 harus diterapkan oleh setiap daerah otonom yang baru.

SEJARAH KEPEMERINTAHAN DESA

Sejak ribuan tahun lalu, sebuah masyarakat beradat-istiadat khusus membentuk sebuah masyarakat berkepemerintahan otonom, siap berperang dengan masyakarat ekslusif lain, sering disebut oleh para antropolog sebagai suku-asli, tribe dan otonomi asli. UU 6/2014 perihal Desa mengangkat kembali otonomi desa berbasis jati diri desa, mengakomodasi keanekaragaman & keunikan budaya tiap desa, didalam sebuah negara kesatuan Republik Indonesia.

Secara struktural, organisasi negara mengatur kepemerintahan hanya hingga tingkat kecamatan, sehingga organ di bawah kecamatan diklasifikasi sebagai organ masyarakat, sehingga masyarakat desa disebut sebagai masyarakat yang mengatur dirinya sendiri dan mendirikan pemerintahan desa yang mengatur dirinya sendiri sebagai sebuah otoritas lokal bertaraf desa, pada Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 B disebut sebagai otonomi khusus yang menerima ratifikasi dan penghormatan sebagai masyarakat aturan budbahasa yang sesuai prinsip NKRI.

Dr. Didik Sukriono, S.H,M.H. selanjutnya menjelaskan bahwa pada pemerintahan penjajahan Belanda, Regenringsreglement (RR) Pasal 71 tahun 1854 mengatur pengesahan/pemilihan kepala desa dan pemerintah desa, memberi hak desa mengatur/mengurus rumah tangga desa sendiri.

Pada pemerintahan penjajahan Jepang, Osamu Seirei No 7/2604 (tahun 1944) mengatur pemilihan/pemberhentian kepala desa bersebutan Kuco.

UU 1/ 1945 menempatkan desa sebagai otonomi terbawah, berhak mengatur kepemerintahan desa sendiri. 

UU 22/1948 memberi proteksi keberadaan desa sebagai sebuah masyarakat mempunyai asal-usul khas dan berhak mengaturdan mengurus pemerintahan desa sendiri, dan dengan sebutan desa (di pulau Jawa dan Bali), desa negeri, nagari (di Minangkabau), negeri, kota kecil negeri, mukim, huta, sosor, kampung, dusun atau marga (di Palembang), mukim, desa, gampong (pada pemerintahan Aceh) dan sebutan lain sebagai Daerah otonom Tingkat III.

UU 1/1957 membadi daerah otonom menjadi daerah otonom biasa dan daerah swapraja. UU 19/1965 melaksanakan penyeragaman desapraja dan pembentukan daerah tingkat III.

TAP MPR IV/MPR/1978 perihal GBHN berisi planning memperkuat pemerintahan desa biar semakin bisa menggerakkan masyarakat desa berpartisipasi dalam pembangunan NKRI dan bisa menyelenggarakan manajemen kepemerintahan desa nan efektif, melalui sebuah UU perihal Peemerintahan Desa.

UU 5/1979 yaitu sebuah upaya menghapus otonomi desa, menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa sebagai sebuah kepemerintahan adminsitratif. Desa berada dibawah kecamatan, kepala desa dibawah camat yang melaksanakan kepemerintahan vertikal.

Iklim reformasi melahirkan UU 22 /1999 yang berupaya mengutamakan pengalihan pengaturan desa dari tingkat nasional menuju tingkat daerah, dari birokrasi ke institusi masyarakat lokal, memberi ratifikasi keunikan dan keanekaragaman desa atau dengan nama lain sebagai masyarakat berkepemerintahan sendiri & berdikari sebagai pengejawantahan istilah “ istimewa” pada Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. 

Desa yaitu subsistem dan sebuah kepemerintahan yang diatur oleh kabupaten melalui perda. Sebagai subsistem kabupaten, tak seberapa terperinci apakah desa berada di dalam rumah tangga kabupaten atau di luar rumah tangga kabupaten. Untuk membangun kepemerintahan berdikari berbasis demokrasi, UU menampilkan Badan Perwakilan Desa (BPD).

UU 32/2004 menyatakan bahwa desa yaitu subyek hukum, negara mengakui desa sebagai kesatuan masyarakat aturan berdasar sejarah asal-usul dan budbahasa istiadat. Desa yaitu self governing community berdaulat dan berbasis musyawarah, bukan entitas otonom yang disebut local self government ibarat halnya kabupaten. Pada sisi lain, desa ditempatkan di dalam pemerintahan kabupaten/kota. UU sekali lagi berupaya mempertegas otonomi desa, mengubah istilah BPD menjadi Badan Permusyawaratan Desa, setara MPR NKRI.

Sejak beberapa tahun terakhir sebelum awal tahun 2014, tertengarai upaya 
pemerintah meningkatkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 72 tahun 2005 perihal desa, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 tahun 2006 perihal Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa dan Perubahan Status Desa menjadi Kelurahan, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 tahun 2006 perihal Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa, menjadi sebuah UU 6 tahun 2014 perihal Desa dengan banyak sekali perubahan mendasar, disahkan dewan perwakilan rakyat pada hari Rabu tanggal 18 Desember 2013 dan diundangkan pada 15 Januari 2014.

Sesungguhnya, dalam sejarah pengaturan Desa, telah ditetapkan beberapa pengaturan perihal Desa, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 perihal Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 perihal Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 perihal Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 perihal Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 perihal Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 perihal Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 perihal Pemerintahan Daerah, dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 perihal Pemerintahan Daerah, bertransformasi menjadi UU 6 tahun 2014 perihal Desa yang diundangkan pada 15 Januari 2014.

Tertengarai bahwa falsafah Bhineka Tunggal Ika menguat tatkala UU 6 tahun 2014 mengakui dan melindungi keaneka ragaman budbahasa istiadat, UU Desa secara eksplisit bermaksud melestarikan budbahasa cq budaya orisinil sebagai kebhinekaan yang menyatu dibawah peraturan perUUan NKRI. UU 6 tahun 2014 perihal desa mengatur desa atau sebutan lain, desa budbahasa atau sebutan lain, serta secara ringan mengatur dusun. Undang-Undang 6 tahun 2014 mengatur materi mengenai Asas Pengaturan Desa, Kedudukan Desa dan Jenis Desa, Penataan Desa, Kewenangan Desa, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Hak dan Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa, Peraturan Desa, Keuangan Desa dan Aset Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa, Kerja Sama Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, serta Pembinaan dan Pengawasan. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur dengan ketentuan khusus yang hanya berlaku untuk Desa Adat.

Dengan konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government, diperlukan kesatuan masyarakat aturan budbahasa yang selama ini merupakan pecahan dari wilayah Desa, ditata sedemikian rupa menjadi Desa dan Desa Adat. Desa dan Desa Adat intinya melaksanakan kiprah yang hampir sama. Sedangkan perbedaannya hanyalah dalam pelaksanaan hak asal-usul, terutama menyangkut pelestarian sosial Desa Adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban bagi masyarakat aturan adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli.

Desa Adat mempunyai fungsi pemerintahan, keuangan Desa, pembangunan Desa, serta menerima fasilitasi dan training dari pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam posisi ibarat ini, Desa dan Desa Adat menerima perlakuan yang sama dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Oleh lantaran itu, di masa depan Desa dan Desa Adat sanggup melaksanakan perubahan wajah Desa dan tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, pelaksanaan pembangunan yang berdaya guna, serta training masyarakat dan pemberdayaan masyarakat di wilayahnya. Dalam status yang sama ibarat itu, Desa dan Desa Adat diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang ini. Desa Adat pada prinsipnya merupakan warisan organisasi kepemerintahan masyarakat lokal yang dipelihara secara bebuyutan yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin dan masyarakat Desa Adat biar sanggup berfungsi membuatkan kesejahteraan dan identitas sosial budaya lokal. 

Desa Adat mempunyai hak asal usul yang lebih mayoritas daripada hak asal usul Desa semenjak Desa Adat itu lahir sebagai komunitas orisinil yang ada di tengah masyarakat. Desa Adat yaitu sebuah kesatuan masyarakat aturan budbahasa yang secara historis mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul.

Kesatuan masyarakat aturan budbahasa yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan pusat kehidupan masyarakat yang bersifat mandiri. Dalam kesatuan masyarakat aturan budbahasa tersebut dikenal adanya forum budbahasa yang telah tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam eksistensinya, masyarakat aturan budbahasa mempunyai wilayah aturan budbahasa dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah aturan budbahasa tersebut serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus, dan menuntaskan banyak sekali permasalahan kehidupan masyarakat Desa berkaitan dengan budbahasa istiadat dan aturan budbahasa yang berlaku. 

Lembaga budbahasa Desa merupakan kawan Pemerintah Desa dan forum Desa lainnya dalam memberdayakan masyarakat Desa. UU 6 tahun 2014 menonjolkan aspek kearifan lokal sebagai asas yang menegaskan bahwa di dalam penetapan kebijakan harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat Desa, lantaran itu UU amat mementingkan desa budbahasa sebagai ulayat atau wilayah budbahasa yaitu wilayah kehidupan suatu kesatuan masyarakat aturan adat, dengan syarat bahwa desa budbahasa selaras dengan perundang-undangan NKRI, desa budbahasa wajib mengakomodasi keberagaman dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat yang dihentikan mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu.

Menurut Penjelasan UU 6, Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas hampir 73 ribu desa atau sebutan lain setara desa, sementara wikipedia mencatat bahwa jumlah desa telah mencapai 79.075 desa. Apabila hampir sebanyak 73 ribu desa tersebut dalam kondisi produktif, sehat dan bertumbuh, maka NKRI sehat dan berkembang. Apabila produktivitas desa modern meningkat maka PDB dan pendapatan perkapita regional akan berkembang, diramalkan devisa ekspor hasil pertanian & kelautan meningkat dahsyat akan memperkuat ketahanan ekonomi dan fiskal NKRI.

Karena UU Desa, maka desa terangkat –dari sekadar obyek pembangunan- kini menjadi subyek pembangunan. Diramalkan pecahan APBN dan APBD untuk pembangunan sarana dan prasarana desa serta dusun pada tahun-tahun yang akan tiba akan meningkat secara signifikan, berkonsekuensi pertanggungjawaban keuangan desa perlu ditingkatkan. Kepala Desa menerima honor dari negara.

Kepemerintahan NKRI terbagi menjadi pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pada tataran pemerintah daerah, selain kebupaten/kota berdikari sebagai pemerintah daerah otonom, pemerintah desa juga mempunyai ciri otonomi tertentu dalam pengelolaan dan pengaturan desa masing-masing.

Presiden NKRI memimpin kepemerintahan Pemerintah Pusat dibantu Wapres NKRI dan para Menteri, dengan catatan Menteri Dalam Negeri dibantu Gubernur Provinsi sebagai interface pemerintah pusat dengan pemerintah daerah otonom. Menteri yang menangani Desa ketika ini yaitu Menteri Dalam Negeri. Dalam kedududukan ini Menteri Dalam Negeri memutuskan pengaturan umum, petunjuk teknis, dan fasilitasi mengenai penyelenggaraan pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, training kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.

Bupati/walikota memimpin pemerintah daerah otonom dibantu perangkat organisasi kabupaten/kota berdikari ibarat sekretariat, para camat, lurah dan kepala desa. Sebuah desa mungkin terbagi menjadi beberapa dusun.

Tahap selanjutnya otonomi daerah berlangsung. Sejak 1 Januari 2014 seluruh Kabupaten/Kota bertanggungjawab akan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), berhak menentukan tarif PBB-P2 sendiri hingga batas maksimum nasional sebesar 0,3% tersesuai kondisi perekonomian dan tingkat hidup daerah masing-masing, meningkatkan PAD dan sebagian tentu saja dialirkan kembali dalam bentuk belanja kabupaten dalam RAPBD untuk maslahat sebesar-besarnya desa dan dusun dibawah kabupaten tersebut.

Sebuah desa yaitu sebuah yuridiksi aturan berkegiatan utama pertanian, ekstraktif dan pengelolaan sumber-daya-alam lain, sebuah daerah yang dipakai sebagai tempat pemukiman perdesaan, pelayanan jasa kepemerintahan desa, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Rencana Undang-Undang perihal Desa menjelaskan bahwa desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa yaitu sebuah kesatuan masyarakat aturan yang mempunyai batas wilayah desa.

Dalam batas wilayah aturan desa tersebut masyarakat desa tersebut berwewenang untuk mengatur & mengurus sendiri kepentingan masyarakat setempat sambil tetap merujuk pada aturan nasional dan jadwal pembangunan nasional.

Pengaturan dan pengurusan sendiri tersebut harus berdasar (1)hak asal-usul yang masih hidup & berlaku, (2)adat istiadat yang masih hidup & berlaku, (3)kondisi unik sosial dan budaya setempat yang hidup & masih berlaku (4)tersesuai perkembangan masyarakat dan (5)prinsip NKRI yang diramu secara unik menjadi peraturan perundang-undangan desa itu sendiri diumumkan sebagai Berita Daerah (sejalan dengan informasi negara, lembaran negara NKRI).

Sebagai sebuah yuridiksi aturan seperti miniatur berdikari kepemerintahan NKRI, sebuah desa membentuk Badan Permusyawaratan Desa, membangun Peraturan Desa sebagai peraturan-per-undang-undangan desa tersebut yang ditetapkan oleh Kepala Desa sesudah dimusyawarahkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD), didalamnya termaktub peraturan desa perihal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) dan diturunkan menjadi planning pembangunan tahunan desa yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) terintegrasi keatas dengan program-program pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang masuk ke desa tersebut (Pasal 66), terintegrasi kebawah dengan dusun-dusun (Pasal 67). Desa terbentuk melalui sebuah ketetapan aturan pembentukan desa dengan status desa. Sebuah desa terdiri atas beberapa dusun. 

Pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain yaitu kepala desa dan perangkat desa. Perangkat desa yaitu Badan Permusyawaratan Desa atau sebutan lain, Lembaga Kemasyarakatan Desa atau sebutan lain, dan Lembaga Adat Desa dilengkapi dengan sebuah Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa).

Jumlah seluruh kelurahan sekitar 8.000 kelurahan, sedang jumlah desa disekitar 73.000 desa hingga 79.075 desa. 

Kelurahan dan desa mempunyai persamaan dan perbedaan sebagai berikut.

Pertama, pada umumnya, sebuah kota terbagi menjadi beberapa kecamatan dan kelurahan, sebuah kabupaten terbagi menjadi beberapa kecamatan dan desa. Sebuah kecamatan sanggup terdiri atas beberapa kelurahan dan desa.

Kedua, desa dan kelurahan berada di bawah pengawasan dan training pemerintah kabupaten/kota, yang sanggup dilimpahkan kepada Camat (Pasal 84(2), keduanya–desa dan kelurahan-mendapat alokasi atau pecahan APBN dan APBD.

Ketiga, sebuah desa lebih mempunyai karateristik kegiatan pertanian dan ekstraktif, sedang sebuah kelurahan lebih mempunyai karakteristik industri yaitu bahwa 70% penduduk mempunyai mata percaharian nonpertanian. Sebuah desa gres layak dibuat apabila telah berusia lima tahun atau lebih, apabila desa tersebut berpenduduk dan berkeluarga dalam jumlah minimum tertentu sesuai nama pulau. Desa sanggup berubah status menjadi kelurahan apabila terjadi kenaikan jumlah penduduk & keluarga dan/atau perubahan fundamental struktur perekonomian berbasis pertanian dan ekstraktif menjadi perekonomian berbasis industri.

Keempat, selain kebupaten/kota berdikari sebagai pemerintah daerah otonom, pemerintah desa juga mempunyai ciri otonomi tertentu. Desa mempunyai status lebih berdikari dibanding kelurahan, pengelolaan desa berbasis masyarakat, lantaran itu desa berwewenang mengatur & mengurus kepentingan masyarakat desa (Paragraf 15) ditambah wewenang limpahan kabupaten/kota dan UU(Pasal 16), desa berhak menentukan struktur organisasi dan tata-kerja, menentukan kepala desa, BPD, perangkat desa ibarat sekretaris desa, pelaksana teknis dan perangkat kewilayahan (Pasal 23), mempunyai RPJP, RPJM, mempunyai semacam DPRD Kabupaten, kepala desa berwewenang sebagai hakim-perdamaian dengan keputusan final dan mengikat (Paragraf 24(6), desa mempunyai aset desa dan sumber pendapatan dan berwewenang menentukan belanja pemerintah desa sendiri. Karena mandiri, Desa bersama BPD sanggup berprakarsa melebur desa menjadi kelurahan, berarti secara sukarela melepas status desa berdikari demi kepentingan masyarakat umumnya, demi peningkatan kualitas hidup, pelayanan dan pemberdayaan masyarakat khususnya, menjaga kesatuan & persatuan NKRI (Pasal 21) umumnya, meningkatkan pelayanan dasar & kehidupan demokrasi khususnya.

Kelima, kepala desa dipilih warga desa, ditetapkan oleh Bupati/walikota dan disumpah (Pasal 25 dan 45(3)). Para administrator desa ditetapkan atau diangkat dan diberhentikan oleh bupati/walikota, sekretaris daerah dan camat. Ciri pembatas otonomi desa dalam tataran NKRI yang lain yaitu bahwa bupati/walikota membentuk panitia pemilihan kepala desa dengan pembiayaan APB Desa bersumber dari APBD kabupaten/kota, kepala desa sanggup diberhentikan sementara oleh Bupati/walikota apabila menjadi terdakwa pidana dan diganti sementara oleh pejabat kepala desa yang dipilih dari PNS kabupaten/kota (Pasal 32), disidik (Pasal 33) berdasar persetujuan tertulis bupati/walikota, diberhentikan oleh bupati/walikota apabila terdakwa terbukti bersalah dan menerima keputusan tetap dari pengadilan sebagai terpidana, dipulihkan kepada jabatan semula yang belum habis dijalani, apabila tidak terbukti bersalah dan dinyatakan bebas oleh pengadilan (Pasal 29). Sekretaris desa diangkat/diberhentikan sekretaris kabupaten/kota atas-nama bupati/walikota(Pasal 35), sedang SDM perangkat desa selebihnya diangkat dan diberhentikan oleh Camat (Pasal 36) mungkin berdasar usulan kepala desa (Pasal 24(3)a). Pakaian dinas serta penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa ditetapkan dalam APB bersumber dari APBD kabupaten/kota. Tatacara pemilihan dan pemberhentian kepala desa akan diatur dalam sebuah peraturan pemerintah.

Keenam, kepala desa yaitu pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa (Pasal 61) secara implisit bertanggungjawab atas realisasi anggaran desa, perbendaharaan desa, akuntansi dan pelaporan LK desa.

Desa sanggup bermetamorfosis kelurahan atau sebaliknya, kelurahan sanggup berubah status menjadi desa atau desa dan kelurahan (Pasal 13). Apabila desa berubah status menjadi kelurahan, maka seluruh barang milik desa dan sumber pendapatan pemerintah desa dialihkan menjadi kekayaan pemerintah kabupaten/kota (Pasal 11(1)) untuk kepentingan masyarakat dan pendanaan menjadi pecahan anggaran pendapatan & belanja daerah kabupaten/kota berdikari (Pasal 11(3)).

Sebuah kabupaten atau kota berdikari terbagi menjadi beberapa kecamatan, terbagi lagi menjadi beberapa kelurahan. Camat yaitu perangkat daerah kabupaten /kota, lurah yaitu perangkat kerja kecamatan. Disamping kecamatan dan kelurahan, sebuah kabupaten/kota dibagi-bagi menjadi beberapa desa dengan pengelolaan berbasis masyarakat (Pasal 2). Perencanaan strategis kabupaten/kota disusun berdasar perencanaan pembangunan desa, sedang perencanaan desa berbasis perencanaan dusun (Pasal 67) yaitu hampiran bottom-up-planning, ditambah banyak sekali jadwal pemerintah pusat cq banyak sekali kementerian yang dianggarkan khusus untuk desa, jadwal pemerintah provinsi untuk pembangunan daerah perdesaan lintas kabupaten (Pasal 71) berciri top-down planning, demikian pula jadwal pemerintah daerah kabupaten untuk pembangunan daerah perdesaan dalam sebuah kabupaten tersebut sendiri (Pasal 70) melalui peraturan bupati/walikota yang terintegrasi dengan jadwal pembangunan daerah perdesaan lintas kabupaten pada tingkat provinsi berciri top-down dan bottom-up planning. Integrasi pembangunan lintas kabupaten dan daerah perdesaan lintas kabupaten oleh pemerintah provinsi yaitu top-down planning, dimaksud untuk membuatkan sinergi antar desa pada umumnya, pada khususnya untuk membangun daya saing NKRI dan skala ekonomi industri-industri secara nasional. Desa diupayakan tidak menjadi ajang kudeta partai politik, NKRI membutuhkan kepala desa bukan politisi (Pasal 25 d dan h), bervisi modern dan berani yang dipilih penduduk desa melalui pemungutan bunyi (Pasal 43). Integrasi dan kerjasama prakarsa sendiri sanggup dilakukan antar-desa tanpa jadwal provinsi dan kabupaten yaitu hampiran lateral-planning, prakarsa desa menciptakan kerjasama dengan pihak bukan pemerintahan, jadwal memikat investor dan semacamnya dalam upaya meningkatkan pendapatan orisinil desa (Pasal 24(4)) dan produk domestik bruto desa (GDP desa) yaitu hampiran business-planning dan international planning (Pasal 75).

UU 6 tahun 2014 tersebut menyatakan bahwa mengingat kedudukan, kewenangan, dan Keuangan Desa yang semakin kuat, penyelenggaraan Pemerintahan Desa diperlukan lebih akuntabel yang didukung dengan sistem pengawasan dan keseimbangan antara Pemerintah Desa dan forum Desa. Lembaga Desa, khususnya Badan Permusyawaratan Desa yang dalam kedudukannya mempunyai fungsi penting dalam menyiapkan kebijakan Pemerintahan Desa bersama Kepala Desa, harus mempunyai visi dan misi yang sama dengan Kepala Desa sehingga Badan Permusyawaratan Desa tidak sanggup menjatuhkan Kepala Desa yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat Desa.

MANAJEMEN KEUANGAN DESA

Kemampuan manajemen keuangan setiap desa berbeda-beda, dalam sebuah kontinuum amat lebar. Setiap desa mempunyai PAD sendiri, termasuk lain-lain pendapatan Desa yang sah yaitu antara lain pendapatan sebagai hasil kolaborasi dengan pihak ketiga dan dukungan perusahaan yang berlokasi di Desa. Pendapatan orisinil Desa yaitu pendapatan yang berasal dari kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan skala lokal Desa, hasil perjuangan desa mencakupi pula hasil BUM Desa dan tanah bengkok. Pendapatan desa bersumber dari Pendapatan orisinil desa yang berasal dari hasil perjuangan desa, hasil kekayaan desa, swadaya, partisipasi dan gotong-royong, serta pendapatan orisinil desa sah yang lain.
 
Bagian hasil pungutan pajak daerah dan retribusi kabupaten/kota.

Bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten/kota.

Bantuan pemerintah pusat kepada desa, dukungan keuangan pemerintah povinsi dan kabupaten/kota kepada desa.

Hibah tidak mengikat diterima desa, sumbangan tidak mengikat diterima desa.

Penerimaan sumbangan, hibah atau semacamnya bentuk barang dan tunai diakui sebagai inventaris dan kas desa (Pasal 59).

Desa membangun perencanaan strategis dan anggaran pendapatan dan belanja desa itu sendiri. Desa juga mendapatkan alokasi anggaran Pemerintah Pusat dan Kabupaten/Kota. 

Anggaran bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tersebut yaitu anggaran yang diperuntukkan bagi Desa dan Desa Adat yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota yang dipakai untuk membiayai penyelenggaran pemerintahan, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya eksklusif ke Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap.Anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dihitung berdasarkan jumlah Desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan Desa.

Keuangan Desa yaitu semua hak dan kewajiban desa yang ternilai dengan satuan mata uang. Termasuk dalam hak desa yaitu hak milik atas uang dan barang. APB Desa yaitu planning keuangan tahunan desa yang bersumber dari pendapatan desa. kepala desa yaitu pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa (Pasal 61) secara implisit bertanggungjawab atas realisasi anggaran desa, perbendaharaan desa, akuntansi dan pelaporan LK desa. 

Pengelolaan keuangan desa akan ditentukan dalam sebuah peraturan pemerintah. Aset, kewajiban dan sumber pendapatan pemerintah desa bukan pecahan dari aset, kewajiban dan pendapatan pemerintah daerah kabupaten (Pasal 11(1)). Kekayaan desa berupa tanah kas desa, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa, lokasi pelelangan ikan dan pelelangan hasil pertanian yang dikelola desa, hutan milik desa, mata air milik desa dan pemandian umum (Pasal 58), ditambah banyak sekali harta desa yang lain ibarat lokasi pemakaman milik desa, heritage assets (candi, situs dll), tujuan wisata alam & budaya, prasarana transportasi (bandara, bandar bahari & sungai, stasiun kendaraan jalan raya & kereta api).

ADMINISTRASI DESA

Kemampuan tiap desa untuk beradminsitrasi keuangan amat berbeda-beda, dalam subuah kontinuum yang lebar. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2006 perihal Pedoman Administrasi Desa menyatakan bentuk manajemen keuangan desa yang mencakupi Buku Anggaran Penerimaan, Buku Anggaran Pengeluaran Rutin, Buku Anggaran Pengeluaran Pembangunan, Buku Kas Umum, Buku Kas Pembantu Penerimaan, Buku Kas Pembantu Pengeluaran Rutin, Buku Kas pembantu Pengeluaran Pembangunan.

DESA SEBAGAI ENTITAS PELAPORAN LK

Kemampuan berakuntansi tiap desa diramalkan amat berbeda-beda lantaran perbedaan sumberdaya untuk berakuntansi, sehingga PP perihal akuntansi dan pelaporan LK Desa harus dirangkai secara amat hati-hati. Diduga seluruh desa amat terbelakang teknologi akuntansi, sebagian diramalkan cepat beradaptasi, sebagian lagi amat sulit mengikuti keadaan dengan teknologi akuntansi. Diramalkan banyak sekali desa menerapkan akuntansi pemerintahan lantaran dinilai bermanfaat bagi desa yang bersangkutan. Jumlahnya diramalkan amat terbatas.

UU 6 tahun 2014 berhasil menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government, sehingga desa memenuhi syarat entitas pelaporan, lantaran mempunyai bentuk umum desa berdasarkan peraturan per-undang-undangan berciri pemisahan kekuasaan desa dari kabupaten/kota, pembentukan desa dari proses politik, mempunyai karakteristik otonomi secara memadai, mempunyai kekayaan desa yang tidak termasuk dalam kekayaan kabupaten, mendapatkan alokasi APBN dan APBD kabupaten, mempunyai sistem kepemerintahan dengan perangkat kepala desa dan kelembagaan setara DPRD, memakai sistem anggaran berdikari terlepas dari APBD Kabupaten sesuai Paragraf 7 Lampiran I.01 Kerangka Konseptual PP 71 tahun 2010 namun tak disebut sebut sebagai sebuah bentuk pemerintahan otonomi diluar pemerintah kabupaten/kota pada paragraf 10 7 Lampiran I.01 Kerangka Konseptual-PP 71 tahun 2010. Perlu dicatat entitas pelaporan BLU vide PSAP BLU juga tidak disebut-sebut oleh paragraf perihal entitas pelaporan tersebut.

Di bawah ini disajikan banyak sekali argumen akademis yang mendukung desa sebagai entitas pelaporan laporan keuangan, diperlukan mendorong (encourage) akuntansi desa.

Desa memenuhi syarat kepemilikan aset dan pengendalian berdikari dari dan untuk masyarakat desa. Pengendalian berarti kapasitas suatu entitas mendominasi pengambilan keputusan secara eksklusif atau tak eksklusif dalam kaitan dengan kebijakan keuangan dan operasional entitas lain sehingga memungkinkan entitas lain tersebut beroperasi dengan kebijakan itu dalam mencapai target entitas pengendali.

Desa memenuhi syarat sebagai entitas ekonomi. Entitas ekonomi berarti sekelompok entitas yang terdiri atas entitas pengendali dan satu atau lebih entitas kendalian yaitu beberapa dusun yang beroperasi gotong royong untuk mencapai target yang konsisten dengan target entitas pengendali.

Desa memenuhi syarat sebagai entitas hukum, lantaran didirikan secara aturan dengan sebutan Desa dan berjulukan unik. Entitas desa berarti struktur organisasi atau bentuk lain yang dibuat secara legal, adminsitratif yang mempunyai kemampuan memakai suatu sumberdaya desa untuk mencapai target desa.

Desa menerbitkan LKBU yang dibutuhkan untuk konsumsi pemangku kepentingan nan luas, manfaat LK sebagai sarana social marketing melalui LK lebih besar dari pada sekadar pertanggungjawaban desa berdikari bukan hanya kepada Bupati. LKBU (Laporan Keuangan Bertujuan Umum) berarti suatu LK yang bertujuan memenuhi kebutuhan akan informasi yang lazim bagi para pengguna LK yang tak bisa memerintahkan pembuatan LK yang dirancang khusus bagi kepentingannya pembaca LK tersebut.

Setiap entitas yang menjadi entitas pelaporan wajib menyiapkan LK Bertujuan Umum (LKBU) . Entitas pelaporan LK desa wajib memperkirakan adanya pemakai LK yang bergantung pada LKBU untuk memperoleh informasi yang berkhasiat untuk pengambilan keputusan ekonomi, termasuk seruan dan penetapan pertanggungjawaban warga desa, pemerintah pusat cq kementerian tertentu, investor & kawan kerjasama pemerintahan desa terhadap pengelolaan entitas desa. Banyak pengguna LK meminta informasi keuangan perihal suatu kelompok kegiatan bisnis tertentu –misalnya kerjasama antar desa- untuk membantu mereka dalam melaksanakan atau meng-evaluasi alokasi sumberdaya langka.Sebagai tambahan, suatu kelompok kegiatan bisnis tertentu bertanggungjawab kepada banyak sekali macam pengguna LK untuk sumberdaya yang dikendalikan dan hasil dari pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya tersebut, contohnya Kementerian Kelautan & Perikanan, bank pembangunan daerah dan investor swasta produksi kalengan hasil bahari tertarik pada desa yang mempunyai aset atau fasilitas pengambilan hasil bahari ibarat dermaga, pasar ikan dan lain-lain. Banyaknya seruan akan informasi keuangan teraudit itu mengakibatkan dan memicu lahirnya entitas pelaporan LK.

Pengguna potensial LK Desa yaitu (a) pihak yang menyediakan sumberdaya yang kemudian dikendalikan oleh entitas, misalnya, BUN, BUD, deposan,afiliasi, anggota serikat dagang dan kreditor, (b)pihak yang mendapatkan barang, jasa, manfaat dari entitas desa, contohnya produsen dan konsumen, (c) pihak yang wajib melaksanakan jasa pengawasan atau jasa review mewakili anggota masyarakat bahkan NKRI, contohnya BPK, BPKP, SPI Kabupaten, regulator, grup komunitas dan media masa.

Banyak dari para pengguna LK tak bisa memberi perintah penyiapan informasi keuangan yang mereka butuhkan, sehingga mereka bergantung pada LKBU yang disiapkan entitas untuk memenuhi kebutuhan akan informasi. Mereka bersedia memberi hibah, sumbangan, donasi, investasi ke desa tersebut hanya apabila entitas desa bisa mempertanggungjawabkannya secara baik.

LKBU dari entitas wajib mengungkapkan informasi yang relevan dengan kebutuhan informasi para pengguna LK untuk keperluan pengambilan keputusan ekonomik. LKBU juga wajib menyajikan informasi untuk membantu pembebasan kewajiban akuntabilitas para pengelola entitas tersebut.

Adalah mustahil LKBU menyajikan semua informasi yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan ekonomi atau semua informasi untuk pembebasan dari kewajiban pertanggungjawaban. LKBU dengan demikian bertujuan memberi pertanggungjawaban kepada masyarakat desa, pemerintah daerah kabupaten/kota, pemerintah provinsi, pemerintah pusat cq KL tertentu, pertanggungjawaban kolaborasi antar desa, BUM Desa bersama antar desa. Kepala Desa yang tak bisa memperoleh opini WTP LK Desa menjadi tak layak diangkat kedua kalinya.

Standar Akuntansi pemerintahan (SAP) meminta biar entitas yang berstatus entitas pelapor LK menyiapkan LKBU, yang berbeda dari LK untuk keperluan khusus atau kewajiban LK khusus.

Konsep entitas pelaporan terkait dekat pada batasan entitas pelaporan. Sebagai misal, bila konsep entitas desa memakai basis legal UU Desa dan Surat Keputusan Pendirian Desa, maka batasan entitas lebih dahulu harus merujuk pada batasan legal, aturan legal dan definisi legal perihal entitas pelaporan. Didalamnya termaktub entitas legal yang berada dibawah kendali entitas legal lain atau membawahi entitas legal yang lain, yang mempunyai konsekuensi laporan keuangan konsolidasian atau gabungan.

LKBU untuk sebuah entitas harus mencakupi/meliputi (covers) semua entitas yang dikendalikan olehnya contohnya BUM Desa, Paasar Desa, Balai Lelang Desa. Entitas sanggup melaksanakan acara melalui banyak sekali rupa struktur administratif desa dan struktur organisasi desa. Sebagai contoh, sub entitas BUM Desa yang bertugas mengelola acara komersial terpisah dari acara non-komersial, acara pemulihan paska-bencana dan lain-lain, lantaran itu sebuah BUM Desa boleh jadi mengoperasikan satu atau lebih bidang perjuangan dan melaksanakan banyak sekali aktivitas. LK Desa harus memungkinkan para pengguna LK memperoleh pandangan-menyeluruh (whole seeing) perihal kinerja entitas desa, posisi keuangan desa, acara pembiayaan dan investasi desa termasuk kepatuhan terhadap RPJM, planning kerja tahunan dananggaran desa, sesuai peraturan desa dan kebijakan strategis desa.

Makin besar dan luas keanggotaan dan atau kepemilikan terhadap suatu entitas, dan semakin besar pemisahan penggunaan kuasa pengelolaan antara manajemen, para anggota dan atau pemilik entitas, serta semakin besar pula minat ekonomik pihak lain diluar manajemen/anggota/pemilik entitas, kemudian semakin besar pula ketergantungan para pengguna LK akan LKBU untuk basis pengambilan keputusan alokasi dana.

Sebagai contoh: Apabila LKBU dibutuhkan sebagai salah satu dasar penentuaani penghargaan kepada Kepala Desa & perangkat desa di luar honor tetap, maka LK menjadi pusat perhatian pemangku kepentingan, dan desa tak sanggup berderajat entitas akuntansi dari Kecataman.

Sebagian desa sanggup mempunyai status amat penting bagi NKRI. Makin besar kontribusi ekonomi dan politik suatu entitas kepada kesejahteraan umum pihak luar entitas, makin besar pula ketergantungan entitas akan LKBU sebagai basis keputusan alokasi sumberdaya ekonomi. Entitas desa yang menerima wewenang menguasai, meng-eksploitasi dan memungut hasil sumberdaya (alam atau buatan) akan berpenghasilan besar, menerima anugerah kekayaan alam (endowment) berkelimpahan, menerima kekuasaan berdikari untuk melaksanakan sesuatu kegiatan bernilai ekonomi tinggi bagi bangsa, mempunyai suratan takdir menjadi entitas pelaporan LKBU.

Proposisi sebaliknya juga sanggup berlaku. Contoh, beberapa daerah otonom menawarkan izin tambang atau HPH kepada sebuah perusahaan pertambangan atau Kehutanan yang sama, maka masyarakat desa ber SDA tereksploitasi lebih memerlukan laporan kinerja desa dan daerah desa, katimbang laporan keuangan keseluruhan PT Pertambangan, PT Perkebunan dan PT Kehutanan yang bergiat di desa nya, untuk mengukur konribusi kepada anggaran desa.

Desa harus mengelola utang desa secara baik. Pertimbangan karakteristik keuangan meliputi besar entitas yang direfleksikan oleh besar nilai aset, jumlah karyawan,hubungan dagang dan hutang-piutang dengan entitas lain. Semakin besar faktor-faktor tersebut, semakin tinggi ketergantungan masyarakat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi sebagai pengguna LK Desa. Identifikasi ketergantungan pengguna LK yang mempunyai hak ekonomi atas suatu entitas atau kinerja entitas, merupakan faktor faktor penting bagi pihak pemegang otoritas di atas desa untuk menentukan desa sebagai entitas pelaporan LK.

Kepala desa yaitu manajemen entitas desa akan dipilih oleh masyarakat desa yang mempunyai hak ekonomi antara lain sumberdaya alam, sehingga manajemen desa cq kepala desa perlu menciptakan pertanggungjawaban kepada pihak yang menyerahkan sumberdaya desa untuk dikelola oleh manajemen. Implikasi konsep entitas pelaporan yang menerima alokasi sumberdaya alam nasional,misalnya izin tambang, HPH dll. 

Berdasar PP wajib menciptakan LKBU bagi pemerintah.Entitas desa yang bertransaksi secara luas dengan publik dan bertanggungjawab secara aturan atas transaksinya contohnya penjualan hasil hutan dan hasil tambang dikelola desa mengakibatkan desa mempunyai potensi menjadi entitas pelaporan LK.

Sebuah entitas desa sanggup mempunyai banyak sekali sumber pendapatan dan banyak sekali segmen kegiatan dan segmen geografis yang dipertanggungjawabkan dalam LK Desa. Suatu entitas pelaporan desa pada suatu periode pelaporan sanggup menjadi bukan entitas pelaporan pada periode yang lain, lantaran keberadaan desa dihapus, dilebur ke desa lain atau menjadi kelurahan. Demikian sebaliknya.

Namun demikian, entitas pelaporan LK Desa sanggup memakai perkiraan kesinambungan-usaha (going concern) sesuai SAP tanpa perlu khawatir atas kemungkinan peeleburan atau pemekaran desa di masa yang akan datang.

Tanpa peduli posisi entitas desa sebagai entitas pengendali atau entitas kendalian, masing-masing entitas wajib menciptakan LKBU, terlepas dari gagasan apakah akan dikonsolidasi atau tidak.

Kewajiban ber LKBU tak berlaku untuk suatu entitas desa yang mungkin dibebaskanoleh PP Keuangan Desa untuk menciptakan LKBU Desa lantaran alasan ukuran aset desa, jumlah sumberdaya dan penduduk desa, manfaat LK desa dinilai imaterial, sehingga LKBU tak akan memberi sumbangan perubahan kemajuan NKRI secara signifikan, bahwa disimpulkan bahwa tak ada pihak yang mempunyai ketergantungan pada LKBU desa tertentu dalam pengambilan keputusan ekonomi tertentu, sehingga PP tersebut mungkin merumuskan bentuk lain dari akuntabilitas yang lebih sederhana daripada LKBU.

KESIMPULAN DAN PENUTUP

Desa yaitu perwujudan sejati NKRI, peningkatan kesejahteraan desa (bukan sekadar kota besar) yaitu perwujudan demokrasi ekonomi bagi rakyat banyak, GDP desa dan income percapita desa yaitu perwujudan tingkat hidup sejati bangsa Indonesia (bukan sekadar UMR), lantaran itu modernisasi produktif (bukan konsumtif), sistem demokrasi serta rerata pendidikan angkatan kerja di desa yaitu segalanya.

Desa yaitu perwujudan kebijakan otonomi daerah paling sejati melanjutkan otonomi tataran kabupaten/kota mandiri, dan UU Desa memfasilitasi banyak sekali persyaratan sebagai entitas pelaporan Laporan Keuangan.

Reformasi keuangan sejati NKRI yaitu laporan keuangan desa berbasis Standar Akuntansi Pemerintahan, utopia Indonesia Baru yaitu LK Desa Beropini WTP yang kemudian dikonsolidasi dan menjadi lampiran LK Kabupaten/Kota, lantaran Indonesia sejati yaitu kumpulan desa-desa.

Bila Standar Akuntansi Pemerintahan dan BPK masuk desa, maka GCG desa yaitu sebuah keniscayaan. RUU desa secara sengaja membentuk karakterstik desa berdikari dan menghormati aturan adat, sehingga tak seberapa mengakomodasi penerapan trias politika secara murni. Dengan batas kepemerintahan sepanjang dua kali 6 tahun atau dua-belas tahun, kepala desa berisiko menjadi semacam raja berkekuasaan absolut, lantaran mempunyai kekuasaan legislatif tertentu (menerbitkan peraturan desa), mempunyai kekuasan yudikatif tertentu (hakim pengadilan desa), juru hening perselisihan berkeputusan final dan mengikat, mempunyai kekuasaan administrator (pimpinan birokrasi desa) tertentu, pemegang kekuasaan bidang keuangan desa (CFO desa, Pasal 61), kepala desa mewakili desa di dalam dan di luar pengadilan (CEO desa), lantaran itu perlu diimbangi dengan pembangunan good governance desa yang membutuhkan sarana LK desa berbasis SAP dan di audit BPK, lantaran itu sebaiknya diatur dalam planning Peraturan Pemerintah perihal Pengelolaan Keuangan Desa (Pasal 62). 

Pemerintahan desa cq kepala desa dan perangkatnya sanggup disidik, lantaran itu risiko menjadi tersangka tersebut sebaiknya dimitigasi dengan kebiasaan ber LK dan di audit BPK.Pada ekonomis saya UU Desa masih harus dilengkapi banyak sekali peraturan pelaksanaan dan kebijakan lanjutan untuk memecahkan kendala isolasi desa lantaran aturan adat, membangun kekerabatan positif dengan struktur pemerintahan supradesa (kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan pemerintah pusat), mendorong produktivitas melalui modernisasi industrialisasi desa berbasis aturan budbahasa tanpa perlu berubah status menjadi kelurahan, modernisasi sistem keuangan masyarakat desa dan mendorong politik buka-pintu-desa dan kemudahan kanal penamam modal dari luar desa, memberi proteksi demokrasi sehat dalam desa dan menghapus segala bentuk premanisme dalam desa, melindungi desa dari eksploitasi pihak pihak tertentu dalam dan luar desa, melepas birokrasi desa dari politik kontraproduktif banyak sekali partai politik, melepad ketergantungan desa pada APBN/APBD, pembangunan khusus desa miskin budaya dan sumber daya alam, dan mendorong kerjasama produktif antar desa, menahan transmigrasi, imigrasi dan urbanisasi yang berisiko mematikan sebuah masyarakat adat.

Berbagai sistem kerajaan, rezim militer, monarki, dan kekaisaran tidak seberapa menganut sistem demokrasi. Pada kumpulan satwa tertentu ibarat gorila atau singa, tertengarai bahwa pimpinan kelompok tersingkir melalui tantangan berkelahi gorila muda atau singa muda, dan kalah. Sebagian desa hidup ribuan tahun bukan berbasis budbahasa istiadat demokrasi desa dan sistem demokrasi desa, dengan demikian tak sanggup melanjutkan budbahasa orisinil non-demokratis tersebut, lantaran harus mengikuti UU Desa 6/2014, merupakan problem pelik penerapan UU Desa 2014.

Mari kita sambut dengan bangga UU 6 tahun 2014 perihal Desa.

Jakarta 1 April 2014
Oleh Dr. Jan Hoesada, CPA 
Sumber: http://www.ksap.org/sap/desa/

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel