Inilah Dongeng Yang Tak Pernah Bosan Kita Membacanya

Isyarat wafatnya Rasulullah diawali dengan turunnya Surah AI-Maidah ayat 3. Pada hari Jumat, atas perintah Allah. Turunlah Malaikat Jibril alaihissalam dan pribadi berkata:

“Wahai Muhammad, tolong-menolong pada hari ini telah disempurnakan urusan agamamu, maka terputuslah apa yang diperintahkan oleh Allah s.w.t. dan demikian juga apa yang terlarang olehnya. Karena itu kau kumpulkan para sahabatmu dan beritahu kepada mereka bahwa hari ini yaitu hari terakhir saya bertemu denganmu”. 

Pagi itu, Rasulullah dengan bunyi terbata memperlihatkan petuah terakhir, “Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al Qur’an. Barang siapa mengasihi sunnahku, berati mengasihi saya dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk nirwana bersama aku.”

Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya. Ustman menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. “Rasulullah akan meninggalkan kita semua,” desah hati semua sobat kala itu. 

Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta'ala mewahyukan kepada malaikat lzrail: “Wahai lzrail, pergilah kau kepada kekasihku dengan sebaik-baik rupa, dan apabila kau hendak mencabut rohnya maka hendaklah kau melaksanakan dengan cara yang paling lembut. 

Apabila kau pergi ke rumahnya maka minta izinlah terlebih dahulu, jikalau ia izinkan kau masuk, maka masuklah kau ke rumahnya dan jikalau ia tidak izinkan kau masuk maka hendaklah kau kembali padaku.”

Sesudah Malaikat lzrail menerima perintah dari Allah, maka malaikal lzrail pun turun dengan ibarat orang Arab Badui.

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. “Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, “Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah sambil membalikkan tubuh dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?"

"Tak tahulah ayahku, tampaknya gres kali ini saya melihatnya," tutur Fatimah dengan perkataan yang sangat lembut. Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang. 

Fatimah, anakku. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya.

Malaikat maut tiba menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. 

"Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?", tanya Rasululllah dengan bunyi yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. 

"Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu wahai kekasih Allah, " kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. 

Wahai kekasih Allah, "Engkau tidak senang mendengar khabar ini?", tanya Jibril lagi. "Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"

"Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, saya pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: "Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melaksanakan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. 

"Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini." Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang disampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan mukanya. 

"Jijikkah kau melihatku, sampai kau palingkan wajahmu wahai Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.

Bukan ya Rarasulullah, "Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril.

Sebentar lalu terdengar Rasulullah mengaduh, alasannya yaitu sakit yang tidak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyatnya maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku."

Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu! Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku". "Peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu."

Diluar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sobat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.

"Ummatii, ummatii, ummatii? " "Umatku, umatku, umatku". Dan, berakhirlah hidup insan mulia yang memberi sinaran itu.

Kini, mampukah kita mengasihi sepertinya? Allahumma shalli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi. 
Betapa cintanya Rasulullah kepada kita. Bersyukurlah Anda masih bisa membaca cerita ini. Semoga di hari alam abadi nanti yang membuatkan cerita ini memporeh syafa'at dari kekasih Allah, Muhammad SAW.

Berbagilah cerita ini kepada sahabat-sahabat muslim lainnya biar timbul kesadaran untuk mengingat maut dan mengasihi Allah dan RasulNya, mirip Allah dan Rasulnya mengasihi kita.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel