Provinsi Aceh Tujuan Transmigrasi, Bagaimana Pendapat Anda?

Dalam akun twitter Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Transmigrasi @KemenDesa menuliskan, pemerintah provinsi daerah tujuan transmigrasi yaitu provinsi Aceh, provinsi Nusa Tenggara Barat, provinsi Sulawesi Selatan.

Sedangkan pemerintah provinsi daerah asal transmigrasi, Jawa Timur, Daerah spesial Jogyakarta, dan provinsi Jawa Tenggah. Lalu, bagaimana pendapat Anda, apakah cocok provinsi Aceh dijadikan daerah tujuan transmigrasi oleh pemerintah..?

Sebelum Anda menjawab mari kita simak pernyataan Ketua Umum DPP Gema Aneuk Nanggroe Aceh, Teuku Irsyadi YS yang kami kutip dari page facebook GAMNA dengan judul "Tolak Transmigrasi Luar di Bumi Aceh".

Program transmigrasi (Indonesia: Transmigrasi) yaitu sebuah aktivitas yang pada awalnya di inisiasi oleh pemerintah kolonial Belanda, pada awal kurun ke 19 guna mengurangi kepadatan wilayah koloni Hindia Belanda di Pulau Jawa dan Madura. Kemiskinan dan kemelaratan hidup pribumi terjajah sekian usang di koloni serta ekspansi wilayah jajahan kolonial Hindia Belanda ketika itu menciptakan Belanda merasa perlu memprakarsai aktivitas tersebut. Pada pelaksanaannya pemerintah kolonial Hindia Belanda aktivitas ini tidak jauh berbeda dengan sebuah sistem kerja paksa dan perbudakan manusia. Tercatat pada tahun 1929 saja tidak kurang dari 260.000 jiwa yang sebagian besar dari pulau Jawa diangkut dalam sebuah sistem yang dinamakan Kuli Kontrak. Pada menjelang perang dunia ke II dimana posisi Belanda yang sedang terganggu dengan pecahnya perang di benua Eropa, aktivitas ini pun berhenti.

Program ini dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia pada awal masa kemerdekaan yang ditandai dengan pengiriman migran ke luar pulau Jawa pada awal tahun 50 an oleh pemerintahan Soekarno. Puncaknya ketika orde gres bercokol dengan diktatorial dimana aktivitas transmigrasi yaitu aktivitas unggulan yang tidak pernah luput dari aktivitas Pembangunan Lima Tahunan ala orde baru. Program ini pada masa orde gres bergotong-royong tak lebih dari upaya pengurangan penduduk di suatu daerah padat penduduk di pulau Jawa guna pemerintah menyebarkan industrialisasi dan segenap infrastruktur pendukungnya.

Ketika puncak kejayaan orde gres pada penghujung dasawarsa 70an sampai paruh tengah 80 an tidak kurang dari tiga juta penduduk pulau Jawa bergerak menduduki tempat gres diluar pulau. Program transmigrasi pada masa orde gres yaitu primadona dari segala aktivitas pembangunan kependudukan yang dicanangkan pemerintah. Kesuksesan transmigrasi di era orde gres tidak lepas dari perilaku diktatorial pemerintah dalam menanggapi penolakan daerah terhadap transmigrasi. Hal ini telah mengipasi terjadinya konflik sosial antar etnis dan antar agama di luar Jawa, terbukti dikemudian hari sehabis lengsernya Soeharto pemimpin utama orde gres maka pecahlah banyak konflik bernuansa SARA yang melibatkan beberapa etnis daerah dan etnis para migran.

Program Transmigrasi di Indonesia, salah satu aktivitas pemukiman terbesar di dunia. Berdasarkan survey demografi kependudukan negara Indonesia diperkirakan dari semenjak Hindia Belanda sampai kini sudah empat puluhan juta warga negara Indonesia pada dikala ini yaitu mereka yang terkait langsung dengan transmigrasi dan sejarahnya. Program ini selama dijalankan telah banyak menuai kritik. Bagi yang mendukung aktivitas ini selalu menunjuk pada sketsa instan pemerintah dalam menahan laju pertumbuhan penduduk di Jawa saja. Keberhasilan aktivitas ini telah memindahkan kepadatan di kota-kota besar di Jawa, terbukanya pemukiman gres para migran di pedalaman pulau luar dan bantuan signifikan aktivitas transmigrasi bagi penduduk setempat yaitu secuil pertumbuhan ekonomi daerah.

Alasan yang tidak sanggup serta merta dimaklumi mengingat proyek ini menelan biaya pemerintah Indonesia US$ 7.000 per keluarga, dan ini merupakan tragedi ekonomi bagi Indonesia, yang pada dikala ini masih terjebak dalam tingginya utang nasional Indonesia. Sementara pada hasil tidak banyak memberi imbas pada pengurangan penduduk Jawa. Kemiskinan di daerah tujuan transmigran pun parah alasannya yaitu kondisi petani gres tersebut yaitu kaum miskin, terlebih mereka yang tiba dari sistem hidup non agraris, tanah yang berkualitas rendah di lokasi baru, tidak ada susukan infrastruktur memadai ke pasar mengakibatkan aktivitas ini ujung-ujungnya aneka macam sumberdaya ekonomi pemerintah yang terbuang dan aktivitas transmigrasi hanya memindahkan peta kemiskinan dari Jawa ke luar Jawa.

Dampak negatif transmigrasi secara sosial budaya yang ditandai dengan tren penguatan resistensi dari masyarakat lokal daerah akseptor transmigran. Para migran itu seringkali tidak memahami dan berasimilasi secara utuh kedalam etika istiadat dan budaya lokal. Seringkali mereka merasa pribadi ditengah masyarakat etika suatu daerah. Kesenjangan pemerataan masakan ringan manis pembangunan yaitu kecemburuan terbesar bagi masyarakat daerah. Para migran itu mendapatkan sokongan ekonomi dari pemerintah sentra dan daerah dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi lahan pertanian terlantar. Pembangunan infrastruktur di daerah unit transmigrasi lebih utama dibandingkan dengan infastruktur yang sama di areal perkebunan yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat lokal. Seakan para transmigran ini merupakan anak emas pembangunan yang dibuai oleh pemerintah pusat, sementara para masayarakat pertanian lokal yaitu hak dan tanggung jawab pemerintah daerah.

Ada saja alasan yang fundamental bagi terpinggirnya masyarakat orisinil daerah dalam term sosial di Indonesia ini. Diantaranya dengan menabalkan secara sistematis stigma negatif bagi penduduk lokal, hal ini sering kita jumpai pada diskusi di dunia maya antara masyarakat di Jawa dan di daerah, bagi mereka yang di Jawa dengan praktis menyampaikan bahwa para penduduk lokal luar pulau Jawa yaitu para pemalas yang tega menelantarkan luasnya lahan pertanian.

Tetapi adakah mereka tahu dan pernah melihat usaha terkini para petani daerah yang secara swadaya kini menyebarkan lahan pertanian dan perkebunan baru. Sekali lagi, secara swadaya! Tanpa pangadaan lahan dan land clearing yang didanai pemerintah, tanpa proteksi modal (bibit, pupuk dan racun), tanpa jadup dua tahunan sebagaimana lazimnya diberikan kepada para migran, dan tanpa pembangunan dan peningkatan infrastruktur susukan ke lahan-lahan perkebunan rakyat di Aceh. Swadaya total dari masyarakat sementara hasilnya kelak juga ikut dikeruk oleh pemerintah sentra lewat pajak yang dibebankan dari produk perkebunan. Ironisnya para migran pula yang pada akibatnya digadang-gadangkan pemerintah sebagai pendekar pertanian Indonesia, padahal kencing dan berak para migran didanai oleh pemerintah pusat. Sementara para petani swadaya lokal diabaikan olh pemerintah sentra akan kontribusinya.

Daerah secara sosial budaya juga tidak siap untuk mendapatkan limpahan para migran Jawa menyerupai di Aceh. Semestinya hal ini menjadi pertimbangan utama bagi pemerintah sentra dalam melakukan aktivitas pembangunan transmigrasi. Disaat masih banyak PR pemerintah sentra dalam memberdayakan masyarakat Aceh yang gres saja pulih dari konflik berdarah sekian puluh tahun, problem menyangkut faktor separatisme yang belum tercerabut dari akarnya di Aceh. Dimana dalam bulat konflik di Aceh pada masa kemudian keberadaaan transmigran ditempatkan sebagai salah satu pangkal kasus diantara sekian banyak kasus yang memicu konflik sosial di Aceh. 

Ini bukan masalah perihal SARA atau semacamnya. Masyarakat orisinil di Aceh tidak membenci sama sekali siapa saja yang tiba dari luar Aceh. Namun dalam aktivitas transmigrasi yang dicanangkan akhir-akhir ini ke Aceh dipandang sebagai langkah politik pemerintah dalam menjalankan misi menghapuskan pribumi di Aceh. 

Sebagaimana pada misi historis transmigrasi yang diprakarsai oleh penjajah Belanda di masa lalu. Secara politik keberadaan para transmigran hanya membawa laba dan dampak strategis bagi pemerintah sentra dalam menguasai sumberdaya alam dan lingkungan di Aceh. Lebih elok jikalau pemerintah menseriusi hal menekan angka kemiskinan di Aceh yaitu dengan memberdayakan masyarakat orisinil di Aceh, yang secara etika lebih berhak atas tanah dan kemudahan yang sama dengan diberikan pada para migran dari Jawa!

Dampak ekologis pembukaan lahan-lahan gres permukiman dan perkebunan bagi para migran yaitu mengancam kelestarian lahan hutan hujan di provinsi Aceh. Deforestasi daerah hutan hujan Aceh akan membawa dampak berkepanjangan bagi generasi Aceh selanjutnya. Hilangnya keanekaragaman hayati alam Aceh jawaban dari pembukaan lahan perkebunan sebagaimana yang selama ini kita saksikan di lahan-lahan perkebunan Kalimantan. 

Selamatkan 10 persen hutan hujan yang tersisa di dunia ini dari pada mengerahkan para transmigran untuk membabat semua hutan hujan sisa terakhir ini dari bumi. Banyak pula sketsa transmigrasi oleh pemerintah tidak diisi oleh sumber daya insan migran yang mempunyai pengetahuan memadai dalam kasus lingkungan hidup. Adakalanya sebagai jawaban dari kegagalan prosedur sketsa aktivitas transmigrasi pemerintah maka para migran ini pada saat-saat tertentu akan keluar dari unit pemukimannya dan merangsek semakin jauh kedalam daerah hutan hujan konservasi baik itu dalam rangka ekspansi areal pribadi maupun guna memburu satwa liar yang dilindungi. Wassalam.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel