Masa Depan Indonesia Ada Di Laut
Nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarung luas samudra. Menerjang ombak tiada takut, menempuh tornado sudah biasa. Angin bertiup layar terkembang, ombak berdebur di tepi pantai. Pemuda berani berdiri sekarang, ke maritim kita beramai-ramai.
Lirik lagu di atas ialah lirik lagu anak-anak. Namun, kalau dikaji lebih mendalam, justru lagu tersebut mengingatkan bangsa ini bahwa masa depan Indonesia ada di laut. Laut telah memperlihatkan segala keuntungannya untuk manusia.
Gulungan ombak yang indah, pesisir pantai yang panjang dan landai, serta pesona alam bawah maritim yang menawan ialah potensi besar untuk pariwisata. Makhluk laut, menyerupai ikan, udang, cumi-cumi, menjadi sumber protein utama yang bisa dikonsumsi dengan nikmat. Tak jarang pula kita menda-patkan aksesori dan sumber daya mineral di dalamnya.
Laut menjadi paru-paru dunia dan sebagian besar oksigen dihasilkan darinya, yang berfungsi mengontrol iklim di bumi sebab bisa menyerap sebagian besar karbon dari atmosfer. Laut juga menjadi tempat berlayar kapal-kapal yang membawa hasil bumi menjadi penghubung antarpulau dan sarana transportasi yang cukup efektif dan murah. Semua itu diperoleh dengan cuma-cuma tanpa harus menanam, menebar bibit, bersusah payah untuk membangunnya, dan tanpa merekayasa alam.
Tetapi, kita luput memperlihatkan perhatian serius untuk menjaga dan melestarikan sumber kekayaan yang luar biasa tersebut. Ketika pemerintah Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla mulai melirik pembangunan ke arah laut, betapa terkejut mengetahui kondisi sesungguhnya.
Ternyata kita belum sepenuhnya berdaulat atas maritim ketika hampir setiap ketika ditemukan kapal-kapal absurd pencuri ikan keluyuran, hilir pulang kampung di lautan Indonesia. Ketika didengungkan maritim sebagai halaman terdepan, bangsa ini kembali terperangah sebab selama ini maritim hanya dijadikan tempat pembuangan selesai yang biasa ada di belakang rumah.
Lihat saja bagaimana rusaknya lingkungan laut. Hampir sepanjang permukiman nelayan yang berhadapan pribadi dengan maritim sampah berserakan, paluh-paluh tertutup, mangrove tercerabut. Bagaimana mungkin maritim bisa menjadi perhatian serius ketika di bidang keilmuan pun ternyata masih jauh tertinggal.
Hampir tidak ada aktivitas studi yang berbicara khusus ihwal kelautan di sejumlah universitas ternama di Medan. Kini slogan pemerintah dalam mengakibatkan maritim sebagai poros maritim dunia masih perlu diuji. Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah memperlihatkan banyak terobosan. Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (AL) pun sudah bersemangat menangkap dan memusnahkan kapal-kapal absurd perusak kedaulatan negara yang selama ini mencuri kekayaan maritim Indonesia.
Lalu bagaimana dengan kebijakan pemerintah daerah? Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sumut Zonny Waldi optimistis ketika ditanya aktivitas apa saja yang sedang disiapkan untuk menjaga dan melindungi sumber daya maritim serta memberdayakan insan yang menggantungkan hidupnya dari laut.
Perbaikan terumbu karang, pembuatan rumah-rumah ikan telah dilakukan di dua titik, yaitu perairan Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Batubara. Tentu itu saja tidak cukup, mengingat kerusakan maritim yang sudah cukup besar mengikis habis rumah-rumah ikan. Minimal setiap kabu-paten/ kota yang mempunyai wilayah pesisir pantai harus dibuatkan rumah-rumah ikan gres yang permanen dengan blok-blok yang kuat.
Agar tidak bisa lagi dihantam dan dirusak kapal motor yang memakai alat tangkap tidak ramah lingkungan. “Sekarang kalau kita mancing di lokasi yang sudah dibangun rumah-rumah ikan itu, niscaya banyak dapat. Karena itu, kita butuh rumah-rumah ikan ada di setiap kabupaten/kota yang punya pantai,” kata Zonny.
Namun, aktivitas tersebut tentu membutuhkan banyak biaya. Sementara kondisi dan kenyataannya tak bisa dipungkiri kalau Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut sedang mengalami problem keuangan pada 2015 sehingga harus ada rasionalisasi anggaran di bebe-rapa item program. “Untuk rumah ikan yang sederhana saja butuh anggaran sekitar Rp300 juta. Tapi maunya kita bikin yang besar pribadi di jermal-jermal yang tidak lagi dipakai. Karena itu butuh anggaranyangcukupbesar,” ujarnya.
Dalam paparan di Komisi B DPRD Sumut sebelumnya, total anggaran Dinas Perikanan dan Kelautan Sumut tahun ini hanya sebesar Rp60,11 miliar, terdiri dari belanja tidak pribadi senilai Rp14,85 miliar dan belanja pribadi sebesar Rp45,25 miliar. Tentu jauh dari cukup kalau ingin menjaga sumber daya maritim di pesisir pantai Sumut yang mempunyai panjang 1.300 km.
Selain menjaga sumber daya laut, perlu juga pemberdayaan nelayan yang ketika ini umumnya masih belum sejahtera. Program pengembangan perjuangan bina desa yang sudah berjalan perlu diterapkan di banyak desa perkampungan nelayan. Sejauh ini aktivitas tersebut sudah berhasil di Desa Kuala Putri, Serdangbedagai. Ada 40 nelayan yang diberdayakan untuk memutus mata rantai kemiskinan.
Mereka diajak gotong royong memilih sendiri pengembangan usaha, mulai pengadaan kapal sampai pengelolaan hasilnya. “Kini mereka sudah berdikari dan lebih sejahtera. Apalagi, sudah diangkat satu orang dari mereka untuk menjadi toke,” ungkap Zonny. Program dukungan nelayan juga menjadi salah satu referensi keberhasilan yang telah digagas Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho.
Sebab, Sumut menjadi penggagas dalam mengasuransi nelayan dan dijadikan referensi aktivitas nasional. Hingga 2014, sudah ada 3.432 nelayan yang telah diasuransikan. Namun, dari sisi lingkungan, harus diakui bahwa keru-sakan maritim telah terjadi. Selain alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, hutan mangrove di Sumut juga sudah sangat memprihatinkan. Sebagian besar sudah mengalami alih fungsi lahanmenjadiperkebunansawit dan tambak ikan.
“Kami belum bisa berbuat banyak sebab mangrove ini wilayah-nya dinas kehutanan,” se-bu-t-nya. Aktivis lingkungan Dony Saputra mengatakan, ketika maritim tidak bisa dijaga dengan baik, akan sangat mengancam keberlangsungan hidup manusia. Selain terancam kekurangan pangan yang mengandung protein tinggi, dunia juga terancam perubahan iklim yang drastis.
Gerakan bersama melindungi maritim harus dilakukan semenjak sekarang. Saat pemerintah sudah mulai menatap maritim menjadi penggalan teras depan negara, siapa saja bisa turun tangan dalam melindungi laut, baik dilakukan secara berkelompok maupun perorangan. Salah satu hal sederhana yang bisa dilakukan masyarakat ialah menghentikan sampah masuk ke sungaisungai yang bermuara ke laut. Karena sampah ialah salah satu problem terbesar lautan.
“Jika maritim kita jadikan halaman belakang rumah, tentu akan menjadi tempat pembuangan akhir. Sampah-sampah dan kotoran kita alirkan ke parit, dari situ menuju sungai dan dari sungai menuju lautan sebagai tempat pembuangan akhir. Ini yang harus diubah,” kata Direktur Yayasan Leuser Lestari itu. Membiasakan hidup dengan mengonsumsi makanan organik salah satu cara mengurangi timbunan sampah mengalir ke laut.
Setidaknya sampah hasil rumah tangga sudah terurai sebelum masuk ke lautan. Menjaga ekosistem maritim tidak bisa lepas dengan pemberdayaan masyarakat pesisir. Permukiman nelayan yang tidak baik tanggapan kondisi kesejahteraan yang jauh tertinggal akan memperlihatkan tekanan terhadap ekosistem laut.
“Ketika masyarakat pesisir yang seharusnya punya kiprah paling depan untuk menjaga keles-tarian maritim belum juga ter-se-ja-hterakan, tanpa sadar mereka akan cenderung merusak alam untuk sekedar bertahan hidup,” kata staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Sumatera Utara (USU), itu.
Senin (8/6), dunia akan merayakan Hari Laut Inter-na-sional. Masih banyak kiprah dan pekerjaan yang harus dilakukan untuk menjaga maritim semoga tetap memperlihatkan manfaat bagi manusia. Indonesia masih butuh banyak armada maritim untuk menjaga kedaulatan negara da-ri bahaya illegal fishing . Du-nia pendidikan, khususnya akademi tinggi, sudah seharusnya memperlihatkan perhatian dan pengabdiannya untuk menjaga kelestarian lautan.
M rinaldi khair/koran-sindo.com/risehtunong.blogspot.com
Lirik lagu di atas ialah lirik lagu anak-anak. Namun, kalau dikaji lebih mendalam, justru lagu tersebut mengingatkan bangsa ini bahwa masa depan Indonesia ada di laut. Laut telah memperlihatkan segala keuntungannya untuk manusia.
Gulungan ombak yang indah, pesisir pantai yang panjang dan landai, serta pesona alam bawah maritim yang menawan ialah potensi besar untuk pariwisata. Makhluk laut, menyerupai ikan, udang, cumi-cumi, menjadi sumber protein utama yang bisa dikonsumsi dengan nikmat. Tak jarang pula kita menda-patkan aksesori dan sumber daya mineral di dalamnya.
Laut menjadi paru-paru dunia dan sebagian besar oksigen dihasilkan darinya, yang berfungsi mengontrol iklim di bumi sebab bisa menyerap sebagian besar karbon dari atmosfer. Laut juga menjadi tempat berlayar kapal-kapal yang membawa hasil bumi menjadi penghubung antarpulau dan sarana transportasi yang cukup efektif dan murah. Semua itu diperoleh dengan cuma-cuma tanpa harus menanam, menebar bibit, bersusah payah untuk membangunnya, dan tanpa merekayasa alam.
Tetapi, kita luput memperlihatkan perhatian serius untuk menjaga dan melestarikan sumber kekayaan yang luar biasa tersebut. Ketika pemerintah Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla mulai melirik pembangunan ke arah laut, betapa terkejut mengetahui kondisi sesungguhnya.
Ternyata kita belum sepenuhnya berdaulat atas maritim ketika hampir setiap ketika ditemukan kapal-kapal absurd pencuri ikan keluyuran, hilir pulang kampung di lautan Indonesia. Ketika didengungkan maritim sebagai halaman terdepan, bangsa ini kembali terperangah sebab selama ini maritim hanya dijadikan tempat pembuangan selesai yang biasa ada di belakang rumah.
Lihat saja bagaimana rusaknya lingkungan laut. Hampir sepanjang permukiman nelayan yang berhadapan pribadi dengan maritim sampah berserakan, paluh-paluh tertutup, mangrove tercerabut. Bagaimana mungkin maritim bisa menjadi perhatian serius ketika di bidang keilmuan pun ternyata masih jauh tertinggal.
Hampir tidak ada aktivitas studi yang berbicara khusus ihwal kelautan di sejumlah universitas ternama di Medan. Kini slogan pemerintah dalam mengakibatkan maritim sebagai poros maritim dunia masih perlu diuji. Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah memperlihatkan banyak terobosan. Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (AL) pun sudah bersemangat menangkap dan memusnahkan kapal-kapal absurd perusak kedaulatan negara yang selama ini mencuri kekayaan maritim Indonesia.
Lalu bagaimana dengan kebijakan pemerintah daerah? Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sumut Zonny Waldi optimistis ketika ditanya aktivitas apa saja yang sedang disiapkan untuk menjaga dan melindungi sumber daya maritim serta memberdayakan insan yang menggantungkan hidupnya dari laut.
Perbaikan terumbu karang, pembuatan rumah-rumah ikan telah dilakukan di dua titik, yaitu perairan Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Batubara. Tentu itu saja tidak cukup, mengingat kerusakan maritim yang sudah cukup besar mengikis habis rumah-rumah ikan. Minimal setiap kabu-paten/ kota yang mempunyai wilayah pesisir pantai harus dibuatkan rumah-rumah ikan gres yang permanen dengan blok-blok yang kuat.
Agar tidak bisa lagi dihantam dan dirusak kapal motor yang memakai alat tangkap tidak ramah lingkungan. “Sekarang kalau kita mancing di lokasi yang sudah dibangun rumah-rumah ikan itu, niscaya banyak dapat. Karena itu, kita butuh rumah-rumah ikan ada di setiap kabupaten/kota yang punya pantai,” kata Zonny.
Namun, aktivitas tersebut tentu membutuhkan banyak biaya. Sementara kondisi dan kenyataannya tak bisa dipungkiri kalau Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut sedang mengalami problem keuangan pada 2015 sehingga harus ada rasionalisasi anggaran di bebe-rapa item program. “Untuk rumah ikan yang sederhana saja butuh anggaran sekitar Rp300 juta. Tapi maunya kita bikin yang besar pribadi di jermal-jermal yang tidak lagi dipakai. Karena itu butuh anggaranyangcukupbesar,” ujarnya.
Dalam paparan di Komisi B DPRD Sumut sebelumnya, total anggaran Dinas Perikanan dan Kelautan Sumut tahun ini hanya sebesar Rp60,11 miliar, terdiri dari belanja tidak pribadi senilai Rp14,85 miliar dan belanja pribadi sebesar Rp45,25 miliar. Tentu jauh dari cukup kalau ingin menjaga sumber daya maritim di pesisir pantai Sumut yang mempunyai panjang 1.300 km.
Selain menjaga sumber daya laut, perlu juga pemberdayaan nelayan yang ketika ini umumnya masih belum sejahtera. Program pengembangan perjuangan bina desa yang sudah berjalan perlu diterapkan di banyak desa perkampungan nelayan. Sejauh ini aktivitas tersebut sudah berhasil di Desa Kuala Putri, Serdangbedagai. Ada 40 nelayan yang diberdayakan untuk memutus mata rantai kemiskinan.
Mereka diajak gotong royong memilih sendiri pengembangan usaha, mulai pengadaan kapal sampai pengelolaan hasilnya. “Kini mereka sudah berdikari dan lebih sejahtera. Apalagi, sudah diangkat satu orang dari mereka untuk menjadi toke,” ungkap Zonny. Program dukungan nelayan juga menjadi salah satu referensi keberhasilan yang telah digagas Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho.
Sebab, Sumut menjadi penggagas dalam mengasuransi nelayan dan dijadikan referensi aktivitas nasional. Hingga 2014, sudah ada 3.432 nelayan yang telah diasuransikan. Namun, dari sisi lingkungan, harus diakui bahwa keru-sakan maritim telah terjadi. Selain alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, hutan mangrove di Sumut juga sudah sangat memprihatinkan. Sebagian besar sudah mengalami alih fungsi lahanmenjadiperkebunansawit dan tambak ikan.
“Kami belum bisa berbuat banyak sebab mangrove ini wilayah-nya dinas kehutanan,” se-bu-t-nya. Aktivis lingkungan Dony Saputra mengatakan, ketika maritim tidak bisa dijaga dengan baik, akan sangat mengancam keberlangsungan hidup manusia. Selain terancam kekurangan pangan yang mengandung protein tinggi, dunia juga terancam perubahan iklim yang drastis.
Gerakan bersama melindungi maritim harus dilakukan semenjak sekarang. Saat pemerintah sudah mulai menatap maritim menjadi penggalan teras depan negara, siapa saja bisa turun tangan dalam melindungi laut, baik dilakukan secara berkelompok maupun perorangan. Salah satu hal sederhana yang bisa dilakukan masyarakat ialah menghentikan sampah masuk ke sungaisungai yang bermuara ke laut. Karena sampah ialah salah satu problem terbesar lautan.
“Jika maritim kita jadikan halaman belakang rumah, tentu akan menjadi tempat pembuangan akhir. Sampah-sampah dan kotoran kita alirkan ke parit, dari situ menuju sungai dan dari sungai menuju lautan sebagai tempat pembuangan akhir. Ini yang harus diubah,” kata Direktur Yayasan Leuser Lestari itu. Membiasakan hidup dengan mengonsumsi makanan organik salah satu cara mengurangi timbunan sampah mengalir ke laut.
Setidaknya sampah hasil rumah tangga sudah terurai sebelum masuk ke lautan. Menjaga ekosistem maritim tidak bisa lepas dengan pemberdayaan masyarakat pesisir. Permukiman nelayan yang tidak baik tanggapan kondisi kesejahteraan yang jauh tertinggal akan memperlihatkan tekanan terhadap ekosistem laut.
“Ketika masyarakat pesisir yang seharusnya punya kiprah paling depan untuk menjaga keles-tarian maritim belum juga ter-se-ja-hterakan, tanpa sadar mereka akan cenderung merusak alam untuk sekedar bertahan hidup,” kata staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Sumatera Utara (USU), itu.
Senin (8/6), dunia akan merayakan Hari Laut Inter-na-sional. Masih banyak kiprah dan pekerjaan yang harus dilakukan untuk menjaga maritim semoga tetap memperlihatkan manfaat bagi manusia. Indonesia masih butuh banyak armada maritim untuk menjaga kedaulatan negara da-ri bahaya illegal fishing . Du-nia pendidikan, khususnya akademi tinggi, sudah seharusnya memperlihatkan perhatian dan pengabdiannya untuk menjaga kelestarian lautan.
M rinaldi khair/koran-sindo.com/risehtunong.blogspot.com