Dari Desa Membangun Indonesia
Jakarta - Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya potensi sumber daya alam. Namun hingga 70 tahun merdeka, kekayaan alam itu tak terkelola maksimal, salah satunya alasannya ialah paradigma pembangunan yang menempatkan desa sebagai obyek yang tidak diberdayakan.
Kenyataannya, masyarakat miskin umumnya ada di desa-desa terpencil. Desa juga identik dengan keterbelakangan serta penumpukan angkatan kerja produktif yang menganggur dan menunggu peruntungan untuk mendapat pekerjaan.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data, angka kemiskinan di Indonesia per September 2014 mencapai 27,73 juta jiwa atau sekitar 10,96 persen dari total penduduk nusantara. Angka ini diperkirakan meningkat jikalau tidak ada intervensi lebih besar terhadap masyarakat kelas menengah dan kelas bawah yang rentan terhadap gejolak ekonomi.
Fakta-fakta miris inilah yang mulai dibongkar dengan penerapan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 wacana Desa. “Paradigma pembangunan sudah berubah, dari membangun desa menjadi desa membangun. Desa sudah mendapat ratifikasi dengan lahirnya UU yang memperlihatkan porsi untuk memprioritaskan desa” ujar Menteri Desa, PDT, danTransmigrasi Marwan Jafar.
Lantas, apa perbedaan fundamental antara ‘Desa Membangun’ dengan ‘Membangun Desa’?Menteri Marwan menjelaskan bahwa 'Desa Membangun' menempatkan desa sebagai subjek pembangunan, yaitu pihak yang merencanakan, melaksanakan, dan sebagai peserta manfaat pembangunan. (Baca: Siapa Pendamping Desa Yang Sesungguhnya?)
Dalam posisi ini, pemerintah yang lebih tinggi bertugas memperkuat, memonitor, dan mengawasi. Hal ini merupakan klasifikasi dari prinsip subsidiaritas. Dalam UU Desa dimaknai bahwa desa membangun terutama dilaksanakan untuk kewenangan asal-usul dan kewenangan skala lokal desa.
Sedangkan ‘Membangun Desa’ lanjut Marwan, ialah pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah diluar desa (kabupaten/pusat) dengan melibatkan masyarakat di desa. “Pembangunan desa terutama dilakukan untuk berbagi daerah pedesaan atau pembangunan yang melibatkan beberapa desa (antar desa),” jelasnya.
Lebih jauh ditegaskan bahwa konsep Desa Membangun merupakan tahapan proses yang harus dilakukan oleh desa. Ada tujuh tahap proses 'Desa Membangun' yang dirangkum dalam tiga pasal UU Desa. Meliputi Penyiapan Rencana (Pasal 80) yang mencakup Informasi Dasar dan Penilaian Kebutuhan Masyarakat.
Kemudian Musyawarah Desa (Pasal 80) yang mencangkup keterlibatan Pemerintah Desa, BPD, dan Kelompok Masyarakat, serta memutuskan prioritas, program, dan kegiatan. Sedangkan tiga tahap selanjutnya dirangkum dalam Penetapan Rencana (Pasal 79) yang mencakup RPJMDes dan RKPDes ditetapkan oleh Perdes, 1 Desa, 1 Rencana, dan Rencana ialah anutan APBDesa.
Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi sendiri merupakan kementerian yang dibuat untuk mengawal pelaksanaan UU Desa. Ada 74.091 desa di Indonesia, dimana 39.091 desa atau 52,79 persen masuk dalam kategori desa tertinggal yang tersebar di 122 kabupaten atau kota.
“Kerja membangun desa membutuhkan ketulusan dan ikhtiar yang konsisten. Setelah ada pengakuan, pemberian kewenangan, serta proteksi lokasi dana yang besar, desa harus sanggup menjaga dan merawat kekayaan budaya yang dimilikinya. Budaya gotong royong, toleransi, dan bekerja keras jangan hingga tergerus oleh modernisasi yang mengarah pada perilaku individualistik,” ujar Marwan. (Sumber: kompas.com)
Kenyataannya, masyarakat miskin umumnya ada di desa-desa terpencil. Desa juga identik dengan keterbelakangan serta penumpukan angkatan kerja produktif yang menganggur dan menunggu peruntungan untuk mendapat pekerjaan.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data, angka kemiskinan di Indonesia per September 2014 mencapai 27,73 juta jiwa atau sekitar 10,96 persen dari total penduduk nusantara. Angka ini diperkirakan meningkat jikalau tidak ada intervensi lebih besar terhadap masyarakat kelas menengah dan kelas bawah yang rentan terhadap gejolak ekonomi.
Fakta-fakta miris inilah yang mulai dibongkar dengan penerapan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 wacana Desa. “Paradigma pembangunan sudah berubah, dari membangun desa menjadi desa membangun. Desa sudah mendapat ratifikasi dengan lahirnya UU yang memperlihatkan porsi untuk memprioritaskan desa” ujar Menteri Desa, PDT, danTransmigrasi Marwan Jafar.
Lantas, apa perbedaan fundamental antara ‘Desa Membangun’ dengan ‘Membangun Desa’?Menteri Marwan menjelaskan bahwa 'Desa Membangun' menempatkan desa sebagai subjek pembangunan, yaitu pihak yang merencanakan, melaksanakan, dan sebagai peserta manfaat pembangunan. (Baca: Siapa Pendamping Desa Yang Sesungguhnya?)
Dalam posisi ini, pemerintah yang lebih tinggi bertugas memperkuat, memonitor, dan mengawasi. Hal ini merupakan klasifikasi dari prinsip subsidiaritas. Dalam UU Desa dimaknai bahwa desa membangun terutama dilaksanakan untuk kewenangan asal-usul dan kewenangan skala lokal desa.
Sedangkan ‘Membangun Desa’ lanjut Marwan, ialah pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah diluar desa (kabupaten/pusat) dengan melibatkan masyarakat di desa. “Pembangunan desa terutama dilakukan untuk berbagi daerah pedesaan atau pembangunan yang melibatkan beberapa desa (antar desa),” jelasnya.
Lebih jauh ditegaskan bahwa konsep Desa Membangun merupakan tahapan proses yang harus dilakukan oleh desa. Ada tujuh tahap proses 'Desa Membangun' yang dirangkum dalam tiga pasal UU Desa. Meliputi Penyiapan Rencana (Pasal 80) yang mencakup Informasi Dasar dan Penilaian Kebutuhan Masyarakat.
Kemudian Musyawarah Desa (Pasal 80) yang mencangkup keterlibatan Pemerintah Desa, BPD, dan Kelompok Masyarakat, serta memutuskan prioritas, program, dan kegiatan. Sedangkan tiga tahap selanjutnya dirangkum dalam Penetapan Rencana (Pasal 79) yang mencakup RPJMDes dan RKPDes ditetapkan oleh Perdes, 1 Desa, 1 Rencana, dan Rencana ialah anutan APBDesa.
Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi sendiri merupakan kementerian yang dibuat untuk mengawal pelaksanaan UU Desa. Ada 74.091 desa di Indonesia, dimana 39.091 desa atau 52,79 persen masuk dalam kategori desa tertinggal yang tersebar di 122 kabupaten atau kota.
“Kerja membangun desa membutuhkan ketulusan dan ikhtiar yang konsisten. Setelah ada pengakuan, pemberian kewenangan, serta proteksi lokasi dana yang besar, desa harus sanggup menjaga dan merawat kekayaan budaya yang dimilikinya. Budaya gotong royong, toleransi, dan bekerja keras jangan hingga tergerus oleh modernisasi yang mengarah pada perilaku individualistik,” ujar Marwan. (Sumber: kompas.com)