Desa Akan Dikembalikan Menjadi Basis Nilai
GampongRT, Jakarta - Desa yakni struktur pemerintahan yang paling bawah dan akrab dengan masyarakat. Desa berada eksklusif bersama rakyat. Desa berperan penting dan sentral dalam memajukan masyarakat dan meletakan dasar-dasar kehidupan masyarakat.
Sayang, kehadiran desa selama ini kurang dirasakan masyarakat. Perangkat desa ibarat kepala desa, sekretaris, kepala urusan (kaur), dan dusun sibuk dengan urusan manajemen dan kepemerintahan. Mereka lupa membangun desa sebagai basis nilai dalam masyarakat. Desa dibangun menurut pendekatan hirarki dan legal formal semata, tidak dilihat dari sisi sosial, historis dan kultur masyarakat setempat. Akibatnya, masyarakat ibarat tercerabut dari asal-usulnya. Mereka ibarat terasing di kampung sendiri.
Melihat fakta-fakta itu, ke depan, desa akan dikembalikan menjadi basis nilai dalam masyarakat. Semua nilai-nilai luhur dalam masyarakat diangkat dan dijadikan aliran pembangunan desa. Desa dengan keaslian budaya, ada-istiadat, suku, ras dan latar belakangnya diangkat, diakui, dan dikembangkan.
"Ini cuilan dari penataan desa. Desa harus menjadi basis nilai, bukan struktur pemerintahan semata," kata Direktur Penataan dan Administrasi Penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), Aferi S Fudal, di Jakarta, Kamis (20/8).
Ia menjelaskan, pembangunan desa selama ini lebih berfokus dari sisi pemerintahan. Masalah administrasi, tata kelola dan penguatan kelembagaan menjadi prioritas. Persoalan-persoalan nilai-nilai, budaya, keaslian kurang diperhatikan. Bahkan cendrung diabaikan sebab mengunakan pendekatan legal-formalistik.
Pembangunan desa dari sisi pemerintahan tetap diperlukan. Namun yang harus didorong lagi yakni pembangunan desa menurut keasliannya.
"Ke depan, kehadirannya tidak mengeliminasi jati diri masyarakat setempat. Harus diparalelkan antara pendekatan pemerintahan dengan pembangunan nilai-nilai," tuturnya.
Dia memberi pola soal nilai gotong-royong. Di tiap-tiap kawasan tentu punya nama masing-masing terhadap istilah tersebut. Semangat ibarat itu dihentikan dihilangkan hanya sebab tidak diakomodasi dalam peraturan daerah. Nilai-nilai ibarat harus diangkat dan menjadi fondasi dalam pembangunan desa.
Menurutnya, selama ini ada empat kewenangan atau otoritas yang dimiliki desa. Pertama, kewenangan menurut keaslian asal-usul masyarakat setempat. Kedua, kewenangan berskala lokal. Ketiga, wewenang sebab ditugaskan dari pemerintah pusat, pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten atau kota. Keempat, kewenangan lain menurut UU.
"Yang muncul selama ini hanya yang dua terakhir. Kewenangan menurut keaslian asal-usul dan berskala lokal tidak dimunculkan. Ini tantangan berat ke depan. Padahal itu yang seharusnya dibangun," tuturnya.
Dia menegaskan dua kewenangan lain yang belum dieksplor selama ini akan ditingkatkan. Upaya mengeksplor dua dilema tersebut akan dirumuskan dalam aturan-aturan yang ada yang terkait dengan pembangunan desa.
Sayang, kehadiran desa selama ini kurang dirasakan masyarakat. Perangkat desa ibarat kepala desa, sekretaris, kepala urusan (kaur), dan dusun sibuk dengan urusan manajemen dan kepemerintahan. Mereka lupa membangun desa sebagai basis nilai dalam masyarakat. Desa dibangun menurut pendekatan hirarki dan legal formal semata, tidak dilihat dari sisi sosial, historis dan kultur masyarakat setempat. Akibatnya, masyarakat ibarat tercerabut dari asal-usulnya. Mereka ibarat terasing di kampung sendiri.
Melihat fakta-fakta itu, ke depan, desa akan dikembalikan menjadi basis nilai dalam masyarakat. Semua nilai-nilai luhur dalam masyarakat diangkat dan dijadikan aliran pembangunan desa. Desa dengan keaslian budaya, ada-istiadat, suku, ras dan latar belakangnya diangkat, diakui, dan dikembangkan.
"Ini cuilan dari penataan desa. Desa harus menjadi basis nilai, bukan struktur pemerintahan semata," kata Direktur Penataan dan Administrasi Penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), Aferi S Fudal, di Jakarta, Kamis (20/8).
Ia menjelaskan, pembangunan desa selama ini lebih berfokus dari sisi pemerintahan. Masalah administrasi, tata kelola dan penguatan kelembagaan menjadi prioritas. Persoalan-persoalan nilai-nilai, budaya, keaslian kurang diperhatikan. Bahkan cendrung diabaikan sebab mengunakan pendekatan legal-formalistik.
Pembangunan desa dari sisi pemerintahan tetap diperlukan. Namun yang harus didorong lagi yakni pembangunan desa menurut keasliannya.
"Ke depan, kehadirannya tidak mengeliminasi jati diri masyarakat setempat. Harus diparalelkan antara pendekatan pemerintahan dengan pembangunan nilai-nilai," tuturnya.
Dia memberi pola soal nilai gotong-royong. Di tiap-tiap kawasan tentu punya nama masing-masing terhadap istilah tersebut. Semangat ibarat itu dihentikan dihilangkan hanya sebab tidak diakomodasi dalam peraturan daerah. Nilai-nilai ibarat harus diangkat dan menjadi fondasi dalam pembangunan desa.
Menurutnya, selama ini ada empat kewenangan atau otoritas yang dimiliki desa. Pertama, kewenangan menurut keaslian asal-usul masyarakat setempat. Kedua, kewenangan berskala lokal. Ketiga, wewenang sebab ditugaskan dari pemerintah pusat, pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten atau kota. Keempat, kewenangan lain menurut UU.
"Yang muncul selama ini hanya yang dua terakhir. Kewenangan menurut keaslian asal-usul dan berskala lokal tidak dimunculkan. Ini tantangan berat ke depan. Padahal itu yang seharusnya dibangun," tuturnya.
Dia menegaskan dua kewenangan lain yang belum dieksplor selama ini akan ditingkatkan. Upaya mengeksplor dua dilema tersebut akan dirumuskan dalam aturan-aturan yang ada yang terkait dengan pembangunan desa.
Sumber: beritasatu.com