Cegah Oligarki, Kembangkan Desa Dengan Model City State

GampongRT - Paradigma pembangunan nasional telah mengalami perubahan radikal semenjak lahirnya Undang-Undang Nomor 6/2014 wacana Desa, kemudian diikuti kesepakatan penuh Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk mengakibatkan Desa sebagai serpihan utama dalam sembilan jadwal prioritas pemerintah (Nawacita).

Peneliti Senior Forum Masyarakat Pemantau Parlemen (Formappi) Tommy Legowo menyebut lahirnya UU Desa sebagai sebuah revolusi tanpa darah yang terjadi di Indonesia. Dari sisi progresivitas, UU Desa sangat dahsyat alasannya yaitu terdapat perspektif gres pemerintahan dengan adanya otonomi berjenjang, yaitu otonomi kabupaten kota dan otonomi desa, ibarat dilansir situs kemendesa, (23/09/2015).

“Jika terimplementasi, UU Desa akan membuat 74.093 Singapura di seluruh Indonesia, alasannya yaitu UU Desa memungkinkan desa membentuk city state yang sebenarnya,” ungkap Tommy.

Tommy menilai perlu dilakukan pengaturan kapasitas desa biar sanggup tumbuh dan menjelma city state. Artinya, Desa harus didorong untuk bisa membangun ibarat halnya sebuah negara/pemerintahan, baik dalam aspek politik, sosial, maupun ekonomi.

“Pertanyaannya sekarang, bagaimana untuk memenuhi kapasitas yang diharapkan untuk aspekpolitik, sosial dan ekonomi? Dalam kondisi inilah kiprah pemerintah, khususnya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi sangat menentukan,” terangnya.

Menurut Tommy, untuk membangun desa dengan konsep city state, maka desa-desa tidak hanya butuh penguatan dari aspek ekonomi, namun juga dari aspek sosial dan politik. Apalagi desa ketika ini tengah dibayang-bayangi sistem oligarki yang bisa saja menjadi penghambat proses pembangunan yang dicita-citakan.

“Seorang kepala desa sangat potensial membangun pemerintahan oligarki. Karena itu, Kementerian Desa sangat penting kiprahnya dalam mengawal UU Desa. Apalagi jikalau UU Desa ini kita baca dengan teliti akan ditemukan perintah biar masyarakat desa secara perorangan dan kelompok harus bisa terlibat dalam pembangunan,” jelasnya.

Tommy menilai tanggungjawab masyarakat desa dalam mengontrol dan mengawasi pemerintahan desa juga harus diwadahi. Karena itu, pelaksana jadwal penguatan kapasitas desa, ibarat aktivitas pendampingan harus berorientasi jangka pendek, jangka menengah, dan jangkapanjang.
“Penataan politik nasional harus dimulai dari desa, hal ini bersejajaran/simetris dengan jadwal prioritas strategis Nawacita yang digagas Presiden Joko Widodo,” tandas Tommy.

Sementara itu, Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi Marwan Jafar menegaskan bahwa membangun Indonesia dari pingiran, kawasan terpencil, dan desa-desa sudah menjadi kesepakatan kerja pemerintah Jokowi-JK yang tertuang dalam nawacita ketiga. Kementerian Desa pun menjalankan kiprah ini dalam kerja keras, apalagi gres kali ini desa dijadikan fokus utama untuk pembangunan nasional.

“Negara kita gres mulai mengakibatkan desa sebagai basis utama pembangunan, alasannya yaitu sebelumnya pembangunan itu dimulai dari sentra gres menetes ke desa. Karena itu, butuh kerja keras dan kejelian biar impian desa membangun Indonesia bisa terwujud sesegera mungkin,” tandas Marwan.

Menteri dari Pati, jawa tengah ini membeberkan, potret wacana desa ketika ini menawarkan bahwa dari 74.093 jumlah desa di seluruh Indonesia, terdapat 27,23% berkategori desa tertinggal, 68,85% desa berkembang, dan hanya 3,91% desa maju. Problemnya lagi, pembangunan antara Indonesai Timur dan Indonesia Barat, khususnya Jawa terjadi ketimpangan.

Marwan juga mengingatkan bahwa membangun Indonesia dari desa sangat sempurna alasannya yaitu jumlah penduduk Indonesia lebih banyak bertempat tinggal di Desa. Kemudian potensi-potensi sumber daya alam di Desa masih belum dimanfaatkan dengan maksimal.

Jika mengaku pada data, lanjut Marwan, akan diketahui bahwa terjadi ketimpangan persebaran penduduk produktif antara kota dan desa secara signifikan. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 yaitu sebanyak 237.641.326 jiwa, yang meliputi mereka yang bertempat tinggal di kawasan perkotaan sebanyak 118 320 256 jiwa (49,79 persen) dan di kawasan perdesaan sebanyak 119 321 070 jiwa (50,21 persen). Artinya potensi secara kuantitas, potensi Sumber Daya Manusia di Desa lebih besar dibandingkan di Kota.

Data juga memberi petunjuk wacana jumlah angkatan kerja di Desa lebih banyak dibanding di kota, yakni sebesar 57,0 Juta. Angkatan kerja dalam hal ini yaitu penduduk 15 tahun ke atas yang aktif secara ekonomi, yaitu mereka yang bekerja, mencari pekerjaan, atau mempersiapkan usaha.

Namun akhir rasio persebaran penduduk yang tidak merata, maka rasio ketergantungan masyarakat desa dan kota juga sangat timpang. Di Desa, setiap 100 orang produktif (usia 15-64 tahun) menanggung 54-55 orang yang tidak produktif (usia 0-14 dan 65+). Sedangkan di kota setiap 100 orang produktif (usia 15-64 tahun) menanggung 45 orang yang tidak produktif (usia 0-14 dan 65+). “Artinya, beban Ekonomi di Desa lebih Besar daripada di Kota. Inilah pekerjaan yang harus segera kita atasi,” terang Marwan.

Marwan sangat yakin dipacunya pembangunan desa akan mencegah urbanisasi, menjamin terlaksananya pemerataan perekonomian, sekaligus bisa peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas. Hal ini sanggup dicapai melalui pemenuhan standar pelayanan minimal (SPM) di desa, meningkatkan kapasitas masyarakat desa, meningkatkan lapangan kerja di desa, pemberdayaan masyarakat desa, serta peningkatan terusan teknologi dan info di desa.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel