Marwan, Nawacita, Dan Nawakerja

Sejak dilantik pada 27 Oktober 2014 lalu, para menteri Kabinet Kerja pribadi tancap gas. Beberapa menteri bergegas melaksanakan blusukan untuk mengetahui detail lapangan. Sebagaimana Presiden Joko Widodo, virus blusukan menjadi salah satu faktor kunci sejauh mana program-program pribadi menyentuh hajat hidup masyarakat, tingkat akseptabilitas masyarakat, kapabilitas pengambil kebijakan, ataupun daya dukung di masyarakat itu sendiri. Di sinilah berdasarkan penulis, kiprah penting gaya blusukan yang ditularkan Presiden Jokowi kepada para menteri-menterinya.


Salah satu kementerian gres yang menjadi sorotan ialah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDT dan Trans). Kementerian gres pemerintahan Presiden Jokowi ini merupakan adonan secara parsial antara Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), dengan dua Direktorat Jenderal Transmigrasi dan satu Direktorat Pemberdayaan Masyarakat dan Desa – yang semula masing-masing menjadi serpihan dari Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Dalam Negeri.

Kenapa kementerian ini relatif menjadi sorotan? Ada tiga hal yang mengakibatkan kementerian ini mempunyai kiprah yang cukup besar lengan berkuasa dan vital. Pertama, payung aturan dalam bentuk Undang-undang Desa. UU yang disahkan pada 15 Januari 2014 –jelang final masa pemerintahan Presiden SBY, ialah UU Nomor 6 tahun 2014 perihal Desa yang kemudian diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 sebagai peraturan pelaksanaannya.

Amanat dalam UU tersebut sangat jelas. Salah satunya yang pernah menjadi diskusi hangat publik ialah dana desa. Amanat UU malah tetapkan sebesar 10 persen dari dana perimbangan, di luar dana transfer daerah, sesudah dikurangi Dana Alokasi Khusus akan diterima oleh Desa. Diperkirakan jumlah tersebut bisa mencapai sekitar Rp103,6 triliun. Jumlah tersebut akan dibagi ke 74 ribu desa se Indonesia, sehingga masing-masing desa diperkirakan akan memperoleh dana sekitar Rp1,4 miliar per tahun. Tentu saja, dana yang cukup besar tersebut menuntut desa untuk melaksanakan perubahan, penguatan secara internal secara organisasi pemerintahan desa yang lebih efektif, professional, transparan dan akuntabel. Pengaturan desa menyerupai tersebut dalam UU merupakan upaya untuk memajukan perekonomian dan pembangunan sektor-sektor penting di pedesaan.

Kedua, ialah daya dukung desa. Sesuai amanat UU Desa, dengan derma dana yang cukup besar, maka desa dituntut lebih bisa mengorganisir diri. Tumpuan pembangunan yang bergulir ke pinggiran, yaitu desa-desa, maka daya dukung desa perlu ditingkatkan. Penguatan aparatur desa dalam hal perencanaan pembangunan, akuntabilitas, untuk menghasilkan kinerja yang efektif, transparan, higienis dan bisa dipercaya. Tanpa adanya pendampingan dan training yang digulirkan –baik dari LSM maupun pemerintah, bisa jadi daya dukung desa kurang optimal.

Berkaitan dengan daya dukung desa, perlu diketahui, bahwa antara desa yang satu dengan desa yang lain mempunyai perbedaan yang signifikan. Pun dengan keunikan cita rasa moral lokal. Maka, dengan tanpa mengurangi keunikan cita rasa lokal, pemerintah dituntut lebih jeli menimba potensi lokal, berikut pengembangannya. Hal yang sama dialami desa-desa di perbatasan. Diperlukan pendekatan berbeda. Sebagai jendela sebuah Negara, desa-desa di daerah perbatasan masih banyak yang mempunyai problem utama. Infrastruktur, misalnya.

Ketiga ialah hadirnya Negara. Negara yang hadir tak hanya memperlihatkan payung aturan berupa UU, atau telah bergerak sesuai amanat UU saja. Pada titik yang lain, Negara sebagai fasilitator dan melaksanakan pendampingan untuk mengangkat derajat desa. Negara tak hanya mendekati pembangunan desa sebagai objek, tapi sebagai subjek. Memberikan akomodasi pada segenap masyarakat desa untuk bisa mengelola, mengorganisir dan menciptakan perencanaan pembangunan desa sesuai amanat lokal. Harapannya ialah desa bisa mengangkat dirinya sendiri dengan pemerintah sebagai fasilitator dan mentornya.

Pemerintah, bisa mengelola suatu kebijakan untuk mendorong janji pemegang kunci pembangunan di desa. Pemerintah, dengan segala kekuatan perangkat yang dimilikinya, harus hadir untuk menggenapi imbas psikologis UU Desa yang sangat memperlihatkan peluang berkembangnya desa-desa mandiri. Sehingga jangan hingga desa menjadi salah kelola hanya alasannya ketidaktahuan aparaturnya alasannya duduk perkara administrasi, atau akunting, misalnya.

Gambaran tersebut memperlihatkan kiprah Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi tidak ringan. Sebab, selain duduk perkara di atas, Kementerian yang ketika ini dipercayakan kepada politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Marwan Jafar itu juga masih perlu menyatukan persepsi dari tiga kementerian secara parsial.

Namun, kehadiran Marwan Jafar tentu menjadi keinginan baru. Melalui pengalamannya selama 10 tahun sebagai anggota di Komisi bidang infrastruktur DPR, ia diharapkan memahami duduk perkara di daerah tertinggal, perbatasan maupun terpencil. Belum lagi pengalaman Marwan Jafar menjabat Ketua Fraksi PKB dewan perwakilan rakyat RI periode 2009-2014, yang juga menjadi inisiator RUU Desa.

Berbekal pengalaman tersebut, Kementerian Desa bertekad untuk mendorong terwujudnya desa yang lebih kuat, maju, mandiri, demokratis dan sejahtera.

Gagasan-gagasan Menteri Desa sepertinya bisa ditemukan di media dalam beberapa kali lawatannya (blusukan) ke desa-desa. Setidaknya Menteri Desa, dalam menguraikan tantangannya tersebut, mempunyai jadwal kerja prioritas yang disebutnya sebagai Nawakerja 2015. Di antaranya ialah Gerakan 5.000 Desa Mandiri, pendampingan dan penguatan kapasitas kelembagaan dan aparatur di desa, mendorong pembentukan dan pengembangan 5.000 BUM Desa, pembangunan infrastruktur untuk mendukung penguatan produk unggulan di 5.000 desa mandiri, revitalisasi Pasar Desa di 5.000 desa/kawasan perdesaan, penyiapan implementasi penyaluran Dana Desa Rp1,4 miliar per desa secara bertahap, penyaluran modal bagi koperasi/UKM di 5.000 Desa, pilot project sistem pelayanan publik jaringan koneksi online di 5.000 desa, dan jadwal “Save villages” di daerah perbatasan dan pulau-pulau terdepan,terluar dan terpencil.

Nawakerja yang digagas Marwan Jafar sebetulnya sejurus dengan sembilan jadwal strategis prioritas (Nawacita) Presiden Jokowi, terutama pada poin 3, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan. Dan Nawacita itu diperkuat dengan taktik pembangunan nasional, yang di antaranya sangat berkaitan dengan desa yang menjadi kewenangan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Misalnya, penguatan tata kelola desa yang baik, mempercepat pemenuhan standar pelayanan minimum untuk pelayanan dasar, serta peningkatan koneksitas melalui penyediaan infrastruktur transportasi dan perhubungan di perdesaan, daerah tertinggal dan daerah transmigrasi

Gagasan yang dilontarkan Menteri Desa, baik secara impulsif maupun tersirat, mengacu kepada desa sebagai basis kehidupan dan penghidupan. Pengalaman di beberapa Negara menunjukkan, bahwa kementerian desa bahkan menjadi salah satu pilar utama yang menampakkan keberpihakan secara riil negara kepada rakyatnya, sekaligus sebagai sentra koordinasi pembangunan desa yang mempunyai interkonektivitas dengan desa-desa yang lain. Tujuannya ialah peningkatan kemampuan daya saing.

Korea Selatan, misalnya. Salah satu Negara besar lengan berkuasa di Asia ini dikenal sebagai negeri industri baru. Meski begitu, Korea Selatan tetap mempertahankan Kementerian Pertanian, Pangan, dan Urusan Desa (Ministry of Agriculture, Food, and Rural Affairs). Kemudian ada Malaysia, negeri tetangga akrab Indonesia, juga mempunyai Kementerian Pembangunan Desa dan Regional (Ministry of Rural and Regional Development). Sedangkan Tiongkok, raksasa ekonomi Asia, juga yang mempunyai Ministry of Housing and Urban-Rural Development atau India yang mempunyai Kementerian Pembangunan Desa (Ministry of Rural Deelopment), yang mengkoordinasikan aneka macam acara menyerupai rural livelihood, rural connectivity, dan national social assitance.

Negara-negara tersebut tentu saja memahami bahwa dengan memperkuat desa, maka otomatis memperkuat manusianya, yang kemudian bisa memperkokoh pilar ketahanan ekonomi nasional. Membangun desa ialah kiprah utama pemerintahan yang mempunyai banyak makna strategis, alasannya bila rakyat di pedesaan mempunyai suatu daya ekonomi, maka ekonomi seluruh bangsa akan mencicipi manfaatnya, sehingga perlu dikelola oleh satu kementerian khusus berjulukan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Di sinilah diharapkan kehadiran Negara. Pada sisi yang lain, desa juga perlu untuk mendorong dirinya sendiri sebagai entitas yang mempunyai kehidupan dan penghidupan.

Tampaknya, gerak cepat sosialisasi program-program Menteri Desa yang disampaikan melalui blusukan, bisa diterima oleh masyarakat. Tinggal agresi dari jadwal Nawakerja yang memang sangat mendukung gagasan Desa Mandiri. Desa yang bisa menggerakkan pembangunan desa secara berkelanjutan, sehingga menopang pembangunan nasional.[]


Oleh: Herry Firdaus
Penulis: Sekretaris Petani Center dan Wakil Ketua Gerbang Tani
Catatan: Pernah Dimuat di Harian Sindo
Sumber: Kemendesa

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel