Implementasi Uu Desa Butuh Kerja Sinergis


GampongRT - Membangun kemandirian desa dan menjadikan desa sebagai subjek pembangunan nasional merupakan amanat penting dari UU No.6/2014 perihal Desa. Banyak hambatan dan rintangan dihadapi, sehingga butuh kerja sinergis antar semua elemen bangsa supaya amanat UU Desa sanggup terlaksana secara utuh dan hakiki.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar mengatakan, pihaknya telah mengerahkan banyak sekali daya upaya supaya UU Desa sanggup terimplementasikan dengan maksimal. Bahakn lima hukum teknis berupa peraturan menteri desa (Permen Desa) telah diterbitkan sebagai panduan dalam mengawal implementasi UU Desa.

Masing-masing Permen Desa No.1/2015 perihal Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa; Permen Desa No.2/2015 perihal Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa; Permen Desa No.3/2015 perihal Pendampingan Desa; Permen Desa No. 4/2015 perihal Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa; dan Permen Desa No.5/2015 perihal Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015.

Berbagai upaya ini, kata Menteri Marwan, hanyalah penggalan dari proses panjang untuk memajukan desa secara hakiki. Butuh kerja bersama dan sinergis antar elemen Pemerintah, perguruan tinggi tinggi, jajaran Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, dan organisasi masyarakat sipil. Gerakan nasional Desa Membangun sanggup terjebak pada jalan buntu kalau aktivitas untuk desa dijalankan dengan pendekatan yang parsial, apalagi kalau semua pihak bekerja sendiri-sendiri dengan mengedepankan ego sektoral masing-masing.

“Kita harus menyadari bahwa implementasi UU Desa merupakan aktivitas besar yang kompleks dan penuh tantangan. Kita membutuhkan kolaborasi yang sinergis antar banyak sekali elemen Pemerintah, perguruan tinggi tinggi, jajaran Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, dan organisasi masyarakat sipil,” tegas Menteri Marwan.

Kementerian desa, lanjut Menteri Marwan, telah memetakan banyak sekali problem yang harus diatasi dalam implementasi UU Desa. 
Sedikitnya ada enam tantangan besar dalam implementasi UU Desa.

Pertama, adanya fragmentasi penafsiran UU Desa di tingkat elit yang berimplikasi pada proses implementasi dan pencapaian mandat yang tidak utuh, bahkan mengarah pada pembelokan terhadap mandat UU Desa.

“UU Desa tidak hanya mengamanatkan pengaturan perihal keuangan Desa yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk Dana Desa. Tetapi juga mencakup legalisasi terhadap kewenangan Desa, kolaborasi antar Desa, penguatan forum kemasyarakatan Desa, penetapan dan pemberdayaan Desa adat, partisipasi masyarakat Desa, dan lain-lain. Semua ini mesti diimplementasikan secara utuh, sehingga amanat UU Desa sanggup terlaksana secara komprehensif,” tegasnya.

Kedua, di tingkat pemerintahan Desa terjadi pragmatisme yang mengarah pada hilangnya kreativitas dalam menggali sumber daya lokal di desa. Di satu sisi Dana Desa menjadi berkah bagi Desa yang seharusnya dimanfaatkan untuk meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat Desa. Namun di sisi lain Dana Desa belum dipakai secara optimal untuk menggali sumber pendapatan gres melalui investasi produktif yang dijalankan oleh masyarakat.

“Akibat itu semua, Dana Desa terkesan menjadikan ketergantungan baru, alasannya ialah belum dipakai untuk kegiatan yang sanggup menopang perekonomian masyarakat setempat serta meningkatkan pendapatan orisinil Desa. Dan yang lebih parah lagi ialah penggunaan Dana Desa masih melaksanakan replikasi atas “village project” sebelumnya yang bias pembangunan infrastruktur.

Ketiga, demokratisasi Desa masih menghadapi hambatan praktek serba administratif. Aparatus Pemerintah Daerah cenderung melaksanakan tindakan kepatuhan dari “Pusat” untuk mengendalikan Pemerintah Desa, termasuk dalam hal penggunaan Dana Desa. Padahal UU Desa telah mengakui kewenangan yang dimiliki oleh Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut hak asal-usul, moral istiadat, dan nilai sosial budaya secara demokratis dan partisipatif.

“Di sisi lain, demokratisasi Desa juga masih terkendala oleh lemahnya tingkat partisipasi yang substantif dan konstruksif dari masyarakat Desa. Pada dimensi inilah pemerintah dan pemerintah daerah seharusnya berperan aktif untuk membina dan memberdayakan masyarakat Desa dalam rangka meningkatkan kualitas partisipasi mereka.”

Keempat, proses pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa berhadapan dengan realitas masyarakat perdesaan yang didominasi oleh masyarakat miskin yang salah satu penyebabnya alasannya ialah struktur penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria yang timpang. Masalah penguasaan rakyat atas tanah dan sumber daya alam belum terintegrasi dan menjadi basis dari proses pembangunan dan pemberdayaan desa. Masalah-masalah struktural menyerupai konflik agraria, kepastian hak Desa atas daerahnya dan kedaulatan dalam mengatur ruang Desa belum tercermin dalam kebijakan pembangunan dan pemberdayaan Desa.

Kelima, partisipasi wanita dalam musyawarah Desa belum tersebar luas di Desa. Praktek pelaksanaan Musyawarah Desa cenderung patriarki, tugas wanita mengalami marjinalisasi dikala mereka memberikan tawaran yang berkaitan dengan kepentingan tubuh, nalar, dan keberlangsungan hidupnya.

Keenam, tata ruang daerah perdesaan yang harus tunduk dengan tata ruang ala “Pemda/Dinas PU” cenderung tidak sebangun dengan aspirasi Desa-desa. Agregat dari pembangunan Desa skala lokal terkendala dengan contoh kebijakan Tata Ruang Perdesaan yang berpola “top-down”. Hal ini tidak jarang mengakibatkan Desa kehilangan susukan sumber daya akhir kebijakan tata ruang yang belum mengakomodir aspirasi Desa.

“Kompleksitas duduk kasus dan tantangan itu mengharuskan kita semua segera berbenah diri dan mengambil tindakan konkrit untuk menyelesaikannya. Dibutuhkan koordinasi dan konsolidasi nasional guna menyatukan banyak sekali aspirasi pihak yang ikut mengimplementasikan UU Desa,” tuntas Menteri Marwan. (Kemendesa)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel