Undang-Undang Desa Wujudkan Kemandirian Desa


Disahkannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 perihal Desa (UU Desa) menjadi momentum penting bagi desa. Melalui UU Desa, negara menawarkan ratifikasi dan kepastian aturan bagi keberadaan desa. Ada lima perubahan fundamental dalam kepengaturan desa pasca disahkannya UU desa antara lain ratifikasi terhadap keberagaman, kewenangan desa, konsolidasi keuangan dan aset, perencanaan yang terintegrasi, serta demokratisasi di desa.

Pengakuan hak asal-usul tercermin melalui asas rekognisi. Hal tersebut didasari keragaman sejarah dan kondisi sosio-kultur desa-desa di Indonesia. Harus diakui bahwa desa di Indonesia sudah ada sebelum dideklarasikannya Republik Indonesia. Sebelum proklamasi kemerdekaan, desa-desa di Indonesia yang penyebutannya pun beragam, telah memiliki pranata sosial yang mapan.

Selain itu, UU Desa juga menyebut asas subsidiaritas yang mengakui kewenangan desa. Dalam UU Desa disebutkan ada empat bentuk kewenangan desa, antara lain kewenangan asal-usul, kewenangan lokal berskala desa, kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah provinsi, kabupaten/kota.

Kewenangan lokal berskala desa meliputi empat bidang yakni penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan desa, training kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Penetapan kewenangan desa berskala lokal inilah yang ditetapkan bersama antara pemerintah kabupaten dan pemerintah desa. Ketetapan kewenangan desa kemudian disahkan dalam peraturan bupati dan peraturan desa.

Mewujudkan Desa Mandiri

Di bidang pembangunan desa, terjadi pergeseran paradigma dari membangun desa menjadi desa membangun. Sebelum adanya UU Desa, inisiatif pembangunan desa sangat sentralistik. Desa diposisikan sebagai obyek pembangunan yang dipaksa menjalankan program-program pembangunan dari pusat atau daerah.

Selain itu, model pembangunan yang sentralistik kerap menimbulkan persoalan sebagai model pendekatannya. Alih-alih menuntaskan persoalan di desa, pendekatan semacam ini justru memunculkan persoalan gres di desa. Sebut saja jadwal simpan pinjam keuangan di desa, persoalan ibarat telat bayar justru semakin menjerat dan memunculkan konflik sesama warga.

Sementara, melalui UU Desa, desa memiliki kewenangan dalam mengelola aset, potensi, dan kekuatan yang dimilikinya. Tentu saja, kewenangan tersebut bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat desa. Potensi tidak melulu pada sumber daya alam, tetapi juga sumber daya insan berikut norma dan nilai sosial yang ada di desa.

Model pendekatan apresiatif inilah yang justru dilupakan dalam model pembangunan yang bercorak sentralistik. Model pembangunan dari pusat justru melupakan aset, potensi, dan kekuatan yang dimilki desa. Sehingga, dikala bicara perihal desa yang muncul yakni masalah, persoalan dan masalah. Desa dikondisikan sedemikian rupa sehingga lupa terhadap aset, potensi, dan kekuatan yang dimilikinya.

Pembangunan yang Terintegrasi

Perencanaan desa diawali dengan pendataan aset, potensi dan kekuatan desa. Data tersebut menjadi dasar perencanaan pembangunan enam tahun yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDes). Keduanya menjadi dokumen resmi dalam planning pembangunan desa yang didanai oleh anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes).

Dalam pembangunan kawasan, pemerintah desa dan pemerintah kabupaten bekerja sebagai kawan yang produktif. Sebab, dalam UU Desa, kedudukan pemerintah desa tidak lagi dibawah pemerintah kabupaten melainkan, desa berada dalam daerah kabupaten. Itu artinya, antara pemerintah desa dan pemerintah kabupaten berada dalam posisi yang setara.

Untuk itu dalam menciptakan perencanaan pembangunan kawasan, pemerintah kabupaten harus duduk bersama pemerintah desa dalam memilih arah pembangunan. Disinilah pentingya pembahasan dan penentuan kewenangan desa dan kabupaten. Sehingga, planning pembangunan desa dan kabupaten sanggup selaras dan sesuai dengan kewenangannya.

Demokrasi di Desa

Istilah demokrasi bukan barang baru. Secara harfiah, demokrasi dipahami dalam tiga bentuk, oleh, dari dan untuk rakyat. Desa-desa di Indonesia bergotong-royong sudah menjalankan praktik-praktik demokrasi melalui musyawarah dalam pengambilan keputusan. Pada pasal 54 UU Desa, musyawarah desa dilakukan untuk menetapkan hal-hal strategis dalam tata kelola desa.

Dalam UU Desa, asas musyawarah bersanding dengan asas-asas yang lain ibarat rekognisi, subsidiaritas, keberagaman, gotong royong, kekeluargaan, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan, dan keberlanjutan. Sehingga, dalam musyawarah desa, keterlibatan aktif warga mulai dari perencanaan, implementasi dan pengawasan menjadi bentuk kasatmata demokrasi di desa. 


Sumber: sekolahdesa.or.id

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel