Memperkuat Partisipasi Wanita Di Desa

Kehadiran UU Nomor 6 Tahun 2014 wacana Desa telah membawa angin segar bagi pembangunan desa yang lebih partisipatif. UU ini membuka ruang yang seluas-luasnya bagi warga untuk berpartisipasi aktif dalam membangun desanya.

Amanat penting dari UU itu sendiri yakni membangun kemandirian desa dan mengakibatkan desa sebagai subjek pem bangunan nasional. Termasuk di dalamnya yaitu yang terkait dengan masalah parti sipasi warga. Pasal 82 UU Desa ini me ng atur wacana partisipasi warga dalam tata kelola desa.

Adapun bentuk partisipasi warga sebagaimana diatur dalam pasal tersebut yakni berpartisipasi dalam musyawarah desa. Dibuka ruang yang besar bagi warga untuk memberikan aspirasi, saran, dan pendapat mulut maupun tertulis. Warga desa juga diberi saluran untuk mendapat isu mengenai planning dan pelaksanaan pembangunan desa.

Bentuk partisipasi yang lain yakni warga diberi kesempatan untuk memantau pelaksanaan pembangunan desa. Selain itu, warga juga sanggup melaporkan hasil pemantauan dan banyak sekali keluhan terhadap pelaksanaan pembangunan desa kepada pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).


UU Desa mengatur dua lembaga untuk ruang partisipasi warga. Pertama, musya warah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes). Di sini bentuk partisipasi warga berupa pengajuan usulan pembangunan desa kepada unit pemerintah di atasnya untuk penyusunan planning pembangunan jangka menengah tempat (RPJMD-kabupaten/ kota) dan RPJMN (nasional).

Forum kedua yakni musyawarah desa. Di lembaga ini warga sanggup terlibat dalam pembahasan dan penyusunan planning pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes), pembahasan dan penyusunan planning kerja pemerintah desa (RKPDes), pembahasan dan penyusunan anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes), pembahasan dan penyusunan peraturan desa (perdes), dan pembahasan masuknya investasi dan hibah ke desa.

Musyawarah desa yang dimaksud dalam UU Desa Tahun 2014 ini merupakan lembaga permusyawaratan yang diikuti oleh BPD, pemerintah desa, dan unsur masyarakat desa untuk membahas hal-hal strategis. Hal strategis itu di antaranya pembuatan perdes, RPJMN, RKP, penataan desa, kolaborasi desa, planning investasi yang masuk desa, pembentukan BUM Desa, aset desa, dan kejadian luar biasa lainnya (Pasa 54).

Musyawarah desa juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014. Pada Pasal 80 disebutkan, unsur masyarakat terdiri dari tokoh adat, tokoh aga ma, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, kelompok tani, kelompok nelayan, kelompok perajin, kelompok perempuan, perwakilan kelompok pemerhati dan santunan anak, dan perwakilan kelompok masyarakat miskin. Selain itu, musyawarah desa sanggup melibatkan unsur masyarakat lain sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat.

Tantangan

Begitulah, UU Desa telah membuka kesempatan yang luas bagi masyarakat desa untuk terlibat dalam forum-forum perencanaan pembangunan yang ada di desa. Namun, terbukanya peluang partisipasi warga desa berhadapan pula dengan sejumlah tantangan, terkait situasi sosial desa dan ketersediaan isu serta pengetahuan warga wacana tata kelola desa.

Tak kurang Menteri Desa, Pembangun an Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Marwan Jafar, mengakui masih banyaknya hambatan dalam mengimplementasikan UU Desa. Hambatan tersebut juga hadir dalam masalah partisipasi warga. Dia menyebutnya sebagai sebuah hambatan dalam hal demokratisasi desa.

Marwan menyebutkan demokratisasi desa masih menghadapi hambatan praktik administratif. Aparatur pemerintah tempat cenderung melaksanakan tindakan kepatuhan dari "Pusat" untuk mengendalikan peme rintah desa, termasuk dalam hal penggunaan dana desa. Padahal UU Desa telah mengakui kewenangan yang dimiliki oleh desa dalam mengatur dan mengurus kepen tingan masyarakat menurut hak asal-usul, susila istiadat, dan nilai sosial budaya secara demokratis dan partisipatif.

"Demokratisasi desa juga terkendala oleh lemahnya tingkat partisipasi yang substantif dan konstruktif dari masyarakat desa. Pada dimensi inilah pemerintah dan pemerintah tempat sanggup berperan aktif untuk membina dan memberdayakan ma syarakat desa dalam rangka meningkatkan kualitas partisipasi mereka," kata Marwan, ibarat dikutip laman resmi Kemendes.

Riset yang dilakukan Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indo nesia wacana partisipasi warga dalam tata kelola desa menyebut ada dua tantangan partisipasi warga desa dalam membangun desanya. Pertama, ketertutupan pemerintah desa dan BPD untuk melibatkan warga. Kedua, apatisme warga alasannya minimnya pengetahuan tata kelola desa dan peluang partisipasi warga.

Terkait ketertutupan pemerintah desa dan BPD, Puskapol melihat BPD tidak menjalankan fungsinya secara optimal sebagai pengawas kinerja pemerintah desa dan perwakilan masyarakat. Relasi BPD de ngan pemerintah desa berjalan tertutup. "Mereka tidak membagi isu hasil musyawarah dan pengawasan kinerja ke pada warga desa," kata Anna Margret, Wakil Direktur Puskapol UI, dalam papar an hasil riset tersebut di Jakarta, 14 Desem ber lalu. Hubungan ke kerabatan di antara pemerintah, elite desa, dan warga juga ikut menumpulkan jalannya fungsi pengawasan di desa.

Tantangan lainnya yakni kurangnya pelibatan warga dalam kegiatan musya warah desa dan musyawarah pembangunan desa. Pemerintah desa hanya mengundang tokoh masyarakat, RT, dan RW. Tidak mengundang warga di luar struktur ke kuasaan desa sehingga partisipasi warga rendah di musdes dan musrenbangdes. "Kecuali itu, warga juga belum menya dari bahwa BPD bisa diminta mengadakan musdes kapan saja bila diharapkan untuk membahas masalah atau hal-hal strategis," terperinci Anna.

Terkait apatisme warga terhadap musrenbangdes, terperinci Anna, alasannya usulan kegiatan pembangunan desa tidak pernah dikomunikasikan hasil dan tindak lanjutnya kepada warga. "Sehingga warga meng ang gap usulannya tidak ditanggapi. Mes kipun memang sangat jarang hasil musrenbangdes diakomodasi dalam RPJMD," ucapnya. Di sisi lain, lanjut Anna, warga belum memahami perbedaan antara musdes dan musrenbangdes. Warga masih menganggap musdes yaitu hal yang sama dengan musrenbangdes.

Sebenarnya warga tidak selalu apatis dan masabodo. Sudah ada inisiatif warga untuk melaksanakan pengawasan kinerja kepala desa. Namun, pengawasan belum berjalan optimal, alasannya warga kurang memahami alur pembuatan kebijakan dan dokumen yang relevan untuk menjadi instrumen pegawasan.

Dalam riset Puskapol juga ditemukan, sudah ada pengalaman warga untuk penerapan tata kelola organisasi yang transparan melalui pendampingan pada periode PNPM. Namun, hal itu bersifat sementara selama pendampingan alasannya warga tidak didorong untuk secara berdikari bisa melaksanakan pengawasan terhadap pemerintahan desa secara berkelanjutan.

Partisipasi perempuan

Persoalan lain dalam hal partisipasi warga di desa yaitu ketidakterlibatan wanita dalam forum-forum partisipasi warga desa. Padahal, UU Desa sudah mem beri ruang partisipasi bagi perempuan, tapi implementasinya masih menemui sejumlah masalah. Begitu pula dengan keluarnya permendes yang mengatur partisipasi kelompok perempuan.

Ketidakterlibatan wanita dalam forum-forum partisipasi warga di desa ditengarai juga terkait dengan masalah kapasitas pegawanegeri desa yang tidak paham tata kelola desa. Aparat desa banyak yang tidak paham bagaimana melibatkan wanita dalam forum-forum di desa.

Terkait itulah Puskapol UI menganggap penting mendorong kepemimpinan wanita dalam partisipasi politik warga di tingkat desa. Ada tiga hal yang mendukung pernyataan tersebut. Pertama, aksara khas desa. Desa merupakan unit pemerintahan terkecil yang sarat dengan proses politik formal sekaligus personal sebagai akhir dari jumlah penduduk desa yang relatif kecil, pola interaksi antarwarga umumnya sangat intensif, dan relasi antara warga dan pimpinan desa sangat berpenga ruh terhadap peluang dan bentuk partispasi politik mulai dari tingkat lokal sampai lapisan di atasnya.

Dengan dikeluarkannya UU Desa yang mengatur pemilihan kepala desa dan alokasi dana hibah pemerintah dalam jumlah cukup besar untuk desa, pemberdayaan warga desa untuk ikut mengawasi dan terlibat dalam dinamika politik desa menjadi semakin penting. Perempuan warga desa merupakan potensi yang selayaknya tidak hanya diandalkan sebagai sandaran potensi reproduksi biologis dalam hal melahirkan dan membesarkan anak. Tapi, juga perlu didorong untuk memenuhi potensi reproduksi sosiologis dan politik dalam hal mengakses tugas dan fungsi kepemimpinan di tingkat lokal atas dasar keadilan dan kesetaraan.

Kedua, hambatan struktural yang menghadang partisipasi politik perempuan. Riset oleh Puskapol UI (2013) mencatat minimnya partisipasi politik wanita sebagai penyelenggara pemilu di banyak sekali tingkatan ternyata dilatarbelakangi oleh hambatan re gulasi (peraturan yang tidak secara tegas memfasilitasi partisipasi perempuan), hambatan geografis yang secara khusus dialami oleh wanita secara berbeda (dibandingkan dengan laki-laki) sebagai akhir dari tantangan kebebasan serta keamanan melaksanakan mobilitas, dan yang terakhir – seringkali justru merupakan yang "terberat" hambatan kultural yang umum nya menempatkan wanita sebagai pemikul tugas dan beban kerja domestik yang mempersulit wanita untuk berkiprah di luar rumah tanpa seizin keluarganya. Temuan hambatan struktural di atas boleh jadi mempunyai pola yang berbeda di tiap-tiap desa dan kerumitan yang bermacam-macam pula pada banyak sekali bentuk partisipasi warga.

Ketiga, kesejahteraan desa secara fundamental bantu-membantu bertumpu pada kesejahteraan wanita dan anak. Pengukuran terhadap tingkat kesejahteraan desa bukan sekadar soal jumlah pendapatan tempat di tingkat lokal tapi lebih fundamental lagi yaitu soal kesejahteraan hidup yang mencakup kesehatan dan pendidikan. Angka janjkematian ibu dan anak (AKI), saluran terhadap pendidikan yang murah dan berkualitas, saluran terhadap pelayanan kesehatan, dan saluran terhadap air higienis merupakan segelintir teladan indikator kesejahteraan yang bantu-membantu sangat erat dengan perempuan.

Oleh karenanya, mendorong kepemimpinan wanita dalam tata kelola desa menjadi bab integral dari upaya meningkatkan kesejahteraan kehidupan warga desa. Ini alasannya masalah keseharian yang menjadi indikator kesejahteraan sangat erat dengan kepentingan perempuan.

Sumber: republika.co.id
Gambar ilustrasi musirawaskab

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel