Bumdes Bukan Bancakan
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yakni tubuh perjuangan yang dikelola masyarakat bersama pemerintah desa yang manfaatnya dipergunakan untuk menjadi pendapatan desa dan kemudian dijadikan anggaran dalam membangun Desa.
Kehadiran BUMDes menjadi angin segar bagi pencepatan terciptanya kemajuan desa karena BUMDes selain berorientasi keuntungan, juga berorientasi sosial yang menjadi salah satu ciri kehidupan di Desa.
Beberapa upaya yang dilakukan pemerintah untuk mempercepat pendirian BUMDes, salah satunya menetapkan sasaran pendirian BUMDes di seluruh Indonesia pada ahir 2016. Di level provinsi, juga terlihat upaya untuk itu, yaitu dengan menyelenggarakan training yang di ikuti oleh aparatur kabupaten, kecamatan, bahkan desa.
Seolah takut akan sasaran jumlah desa yang mempunyai BUMDes tidak terpenuhi di 2016, pemerintah kabupaten juga menciptakan terobosan dengan memperlihatkan imbauan ekspresi kepada para kepala desa biar tidak lupa mendirikan BUMDes di desanya masing-masing.
Bahkan di salah satu kabupaten di Lampung ini terendus kabar imbauan ini diikuti dengan imbauan keras (kalau tidak mau disebut perintah), suara imbauannya biar tiap desa mengalokasikan anggaran Rp20 juta Rp30 juta untuk pendirian BUMDes. Bila tidak, APBDes yang bersangkutan dianggap tidak layak dan pencairan DD TA 2016 ditunda.
Beda kabupaten, beda pula taktik yang diterapkan biar desa segera memenuhi sasaran pendirian BUMDes di TA 2016, selain dengan imbauan dan teguran keras tadi. Terkuak juga kabar dengan menggalang kolaborasi dengan pihak perguruan tinggi tinggi dan memobilisasi seluruh kepala desanya untuk melaksanakan studi banding ke Pulau Bali.
Menjaga BUMDes
Beberapa upaya yang dilakukan dalam mendorong pendirian BUMDes tersebut harus diapresiasi sepanjang yang dilakukan tersebut tidak keluar dari track pemberdayaan masyarakat desa.
Untuk memelihara biar track pemberdayaan masyarakat dalam pendirian BUMDes tetap terpelihara, beberapa hal sanggup dijadikan perenungan dan perhatian, di antaranya pertama yakni orientasi.
Memberikan sasaran kepada sesama aparatur pemerintah sebagai alat ukur kinerja/kunci keberhasilan dalam pelaksanaan aktivitas dibarengi dengan proses fasilitasi pemberderdayaan masyarakat tentu tidak masalah.
Artinya, tidak menyebabkan kuantitas sebagai sebagai orientasi, tetapi tetap pada koridor bahwa yang di sasar yakni kualitas dalam jumlah banyak bukan kuantitas tanpa kualitas.
Kedua, musyawarah. Pendirian BUMDes tentunya dilakukan dengan musyawarah dengan melibatkan keterwakilan masyarakat, terutama rumah tangga miskin dan wanita di desa.
Musyawarah lebih ditujukan melahirkan forum perjuangan desa yang dari, oleh, dan untuk masyarakat menurut kebutuhan dan potensi desa, serta untuk menghindari timbulnya distorsi ekonomi perdesaan di kemudian hari. BUMDES
Sebab, BUMDes hadir di desa tidak hanya sebagai forum komersial yang bertujuan mencari laba atas penawaran barang dan jasa yang di kelolanya, tetapi juga sebagai forum sosial yang berpihak kepada masyarakat melalui penyediaan pelayanan sosial.
Ketiga planning usaha. Pendirian BUMDes hendaknya dibarengi dengan planning perjuangan jangka panjang (bisnis plan) yang menjadi panduan dalam pelaksanaan kegiatan usahanya. Dalam konteks ini pembekalan studi kelayakan perjuangan bagi pelaksana BUMDes tentu tidak kalah pentingnya, ketimbang bagaimana menyisihkan permodalan dan cara melaporkan dana yang telah digunakan ketika mendirikan BUMDes biar tidak menjadi temuan.
Rencana perjuangan juga akan memberi potret kekuatan, kelemahan, peluang, dan bahaya ketika perjuangan dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu. Bagi desa yang akan mendirikan BUMDes planning perjuangan ini harapannya juga untuk memetakan dan menempatkan para pihak biar lebih profesional dan proforsional dalam mendorong dan memfasilitasi pendirian BUMDes. BUMDES
Keempat dokumentasi. Kegiatan pembentukan BUMDes terlihat rekam jejaknya dan masuk dokumen perencanaan desa, mulai dari dokumen RPJMDes, RKPDes, dan APBDes. Selain sebagai pertanggungjawaban kepala desa sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa yang sewaktu-sewaktu sanggup dilakukan investigasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan, juga untuk menjaga keberlanjutan perjuangan walaupun terjadi pergantian kepemimpinan di desa.
Dan yang paling penting dari pendokumentasian proses pembentukan BUMDes yakni wujud dari pemerintahan yang aspiratif, transparan, dan akuntabilitas.
Kelima, menghidupkan perjuangan masyarakat. BUMDes didirikan tentu bukan sekadar mendompleng perjuangan yang sekarang dilakoni masyarakat. Namun, lebih daripada itu bahwa BUMDes didirikan untuk melindungi masyarakat desa, mengakomodasi kepentingan besar, dan jangka panjang untuk kemaslahatan seluruh masyarakat.
Sehingga, apa-apa yang hendak dijadikan BUMdes tentu berskala besar dan jangka panjang dalam ukuran di desa, semisal pengelolaan pasar, sarana prasarana air bersih, listrik, pariwisata, dan lainnya.
Pendirian BUMDes dengan mendompleng perjuangan masyarakat yang sudah ada dikhawatirkan sanggup meminggirkan dan mematikan perjuangan yang bersangkutan. Mendompleng juga dikhawatirkan bisa mengendurkan daya juang masyarakat yang telah tertempa dari awal alasannya yakni persaingan, memangkas kreativitas, serta pertolongan saham dalam jumlah tertentu tanpa dibarengi administrasi yang baik sama saja menyiapkan kuburan bagi perjuangan yang sedang dijalankan.
Pengalaman masa lampau memberi bukti bahwa pertolongan sejumlah dana kepada masyarakat secara instan lebih banyak berakhir sia-sia saja.
Keenam, pengembangan kawasan. Pendirian BUMDes tentu bukan hanya untuk mendorong kemajuan berskala desa semata, melainkan juga untuk mendorong kemajuan kawasan. Hal ini berarti bahwa BUMDes yang berdiri juga hendaknya tidak egois berdiri sendiri dan besar lengan berkuasa di satu desa, sedangkan BUMDes desa-desa yang ada di sekitarnya lemah bahkan tidak ada.
Dengan berpegang pada prinsip persamaan geografis, persamaan asal-usul, persamaan adab istiadat, persamaan potensi, serta persamaan persoalan yang dihadapi tentu akan mengubah cara pandang pendirian BUMDes yang hanya berorientasi desa menjadi BUMDes yang berorientasi kawasan, dari penciptaan persaingan antardesa menjadi penguatan antardesa, dari produk berskala desa menjadi orientasi produk berskala kawasan.
Selain enam di atas, saya membayangkan bahwa BUMDes tidak berhenti hingga pendirian/pembentukan dan salah satu pengurusnya dilatih di hotel yang jauh dari desa saja. Namun, BUMDes yakni wadah untuk melahirkan pengusaha-pengusaha di level desa dari sebuah pergulatan/proses yang besar lengan berkuasa terhadap terpaan angin ribut persaingan dan bahkan krisis sekalipun.
Krisis 1998 memberi pelajaran berharga kepada kita betapa usaha-usaha yang lahir dan dibesarkan oleh regulasi pemerintah tumbang seiring tumbangnya rezim Orde Baru yang berkuasa pada ketika itu, dan jikalau ini yang akan diulang di desa, BUMDes yang berdiri ketika ini tentu hanya akan bisa bertahan seumur kepala desa yang menjabat, atau paling usang 12 tahun dari semenjak di didirikan. Tentu bukan ini yang hendak dituju dan pendirian BUMDes juga bukan untuk dijadikan bancakan pihak-pihak yang mencari keuntungan..Semoga.
Oleh: Ali Rukman, Ketua Dewan Pengurus Daerah Ikatan Pelaku Pemberdayaan Masyarakat Indonesia (DPD IPPMI) Lampung.[Sumber: lampungpost.co]
Kehadiran BUMDes menjadi angin segar bagi pencepatan terciptanya kemajuan desa karena BUMDes selain berorientasi keuntungan, juga berorientasi sosial yang menjadi salah satu ciri kehidupan di Desa.
BUMDesa/Ilustrasi: Blogger Desa |
Seolah takut akan sasaran jumlah desa yang mempunyai BUMDes tidak terpenuhi di 2016, pemerintah kabupaten juga menciptakan terobosan dengan memperlihatkan imbauan ekspresi kepada para kepala desa biar tidak lupa mendirikan BUMDes di desanya masing-masing.
Bahkan di salah satu kabupaten di Lampung ini terendus kabar imbauan ini diikuti dengan imbauan keras (kalau tidak mau disebut perintah), suara imbauannya biar tiap desa mengalokasikan anggaran Rp20 juta Rp30 juta untuk pendirian BUMDes. Bila tidak, APBDes yang bersangkutan dianggap tidak layak dan pencairan DD TA 2016 ditunda.
Beda kabupaten, beda pula taktik yang diterapkan biar desa segera memenuhi sasaran pendirian BUMDes di TA 2016, selain dengan imbauan dan teguran keras tadi. Terkuak juga kabar dengan menggalang kolaborasi dengan pihak perguruan tinggi tinggi dan memobilisasi seluruh kepala desanya untuk melaksanakan studi banding ke Pulau Bali.
Menjaga BUMDes
Beberapa upaya yang dilakukan dalam mendorong pendirian BUMDes tersebut harus diapresiasi sepanjang yang dilakukan tersebut tidak keluar dari track pemberdayaan masyarakat desa.
Untuk memelihara biar track pemberdayaan masyarakat dalam pendirian BUMDes tetap terpelihara, beberapa hal sanggup dijadikan perenungan dan perhatian, di antaranya pertama yakni orientasi.
Memberikan sasaran kepada sesama aparatur pemerintah sebagai alat ukur kinerja/kunci keberhasilan dalam pelaksanaan aktivitas dibarengi dengan proses fasilitasi pemberderdayaan masyarakat tentu tidak masalah.
Artinya, tidak menyebabkan kuantitas sebagai sebagai orientasi, tetapi tetap pada koridor bahwa yang di sasar yakni kualitas dalam jumlah banyak bukan kuantitas tanpa kualitas.
Kedua, musyawarah. Pendirian BUMDes tentunya dilakukan dengan musyawarah dengan melibatkan keterwakilan masyarakat, terutama rumah tangga miskin dan wanita di desa.
Musyawarah lebih ditujukan melahirkan forum perjuangan desa yang dari, oleh, dan untuk masyarakat menurut kebutuhan dan potensi desa, serta untuk menghindari timbulnya distorsi ekonomi perdesaan di kemudian hari. BUMDES
Sebab, BUMDes hadir di desa tidak hanya sebagai forum komersial yang bertujuan mencari laba atas penawaran barang dan jasa yang di kelolanya, tetapi juga sebagai forum sosial yang berpihak kepada masyarakat melalui penyediaan pelayanan sosial.
Ketiga planning usaha. Pendirian BUMDes hendaknya dibarengi dengan planning perjuangan jangka panjang (bisnis plan) yang menjadi panduan dalam pelaksanaan kegiatan usahanya. Dalam konteks ini pembekalan studi kelayakan perjuangan bagi pelaksana BUMDes tentu tidak kalah pentingnya, ketimbang bagaimana menyisihkan permodalan dan cara melaporkan dana yang telah digunakan ketika mendirikan BUMDes biar tidak menjadi temuan.
Rencana perjuangan juga akan memberi potret kekuatan, kelemahan, peluang, dan bahaya ketika perjuangan dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu. Bagi desa yang akan mendirikan BUMDes planning perjuangan ini harapannya juga untuk memetakan dan menempatkan para pihak biar lebih profesional dan proforsional dalam mendorong dan memfasilitasi pendirian BUMDes. BUMDES
Keempat dokumentasi. Kegiatan pembentukan BUMDes terlihat rekam jejaknya dan masuk dokumen perencanaan desa, mulai dari dokumen RPJMDes, RKPDes, dan APBDes. Selain sebagai pertanggungjawaban kepala desa sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa yang sewaktu-sewaktu sanggup dilakukan investigasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan, juga untuk menjaga keberlanjutan perjuangan walaupun terjadi pergantian kepemimpinan di desa.
Dan yang paling penting dari pendokumentasian proses pembentukan BUMDes yakni wujud dari pemerintahan yang aspiratif, transparan, dan akuntabilitas.
Kelima, menghidupkan perjuangan masyarakat. BUMDes didirikan tentu bukan sekadar mendompleng perjuangan yang sekarang dilakoni masyarakat. Namun, lebih daripada itu bahwa BUMDes didirikan untuk melindungi masyarakat desa, mengakomodasi kepentingan besar, dan jangka panjang untuk kemaslahatan seluruh masyarakat.
Sehingga, apa-apa yang hendak dijadikan BUMdes tentu berskala besar dan jangka panjang dalam ukuran di desa, semisal pengelolaan pasar, sarana prasarana air bersih, listrik, pariwisata, dan lainnya.
Pendirian BUMDes dengan mendompleng perjuangan masyarakat yang sudah ada dikhawatirkan sanggup meminggirkan dan mematikan perjuangan yang bersangkutan. Mendompleng juga dikhawatirkan bisa mengendurkan daya juang masyarakat yang telah tertempa dari awal alasannya yakni persaingan, memangkas kreativitas, serta pertolongan saham dalam jumlah tertentu tanpa dibarengi administrasi yang baik sama saja menyiapkan kuburan bagi perjuangan yang sedang dijalankan.
Pengalaman masa lampau memberi bukti bahwa pertolongan sejumlah dana kepada masyarakat secara instan lebih banyak berakhir sia-sia saja.
Keenam, pengembangan kawasan. Pendirian BUMDes tentu bukan hanya untuk mendorong kemajuan berskala desa semata, melainkan juga untuk mendorong kemajuan kawasan. Hal ini berarti bahwa BUMDes yang berdiri juga hendaknya tidak egois berdiri sendiri dan besar lengan berkuasa di satu desa, sedangkan BUMDes desa-desa yang ada di sekitarnya lemah bahkan tidak ada.
Dengan berpegang pada prinsip persamaan geografis, persamaan asal-usul, persamaan adab istiadat, persamaan potensi, serta persamaan persoalan yang dihadapi tentu akan mengubah cara pandang pendirian BUMDes yang hanya berorientasi desa menjadi BUMDes yang berorientasi kawasan, dari penciptaan persaingan antardesa menjadi penguatan antardesa, dari produk berskala desa menjadi orientasi produk berskala kawasan.
Selain enam di atas, saya membayangkan bahwa BUMDes tidak berhenti hingga pendirian/pembentukan dan salah satu pengurusnya dilatih di hotel yang jauh dari desa saja. Namun, BUMDes yakni wadah untuk melahirkan pengusaha-pengusaha di level desa dari sebuah pergulatan/proses yang besar lengan berkuasa terhadap terpaan angin ribut persaingan dan bahkan krisis sekalipun.
Krisis 1998 memberi pelajaran berharga kepada kita betapa usaha-usaha yang lahir dan dibesarkan oleh regulasi pemerintah tumbang seiring tumbangnya rezim Orde Baru yang berkuasa pada ketika itu, dan jikalau ini yang akan diulang di desa, BUMDes yang berdiri ketika ini tentu hanya akan bisa bertahan seumur kepala desa yang menjabat, atau paling usang 12 tahun dari semenjak di didirikan. Tentu bukan ini yang hendak dituju dan pendirian BUMDes juga bukan untuk dijadikan bancakan pihak-pihak yang mencari keuntungan..Semoga.
Oleh: Ali Rukman, Ketua Dewan Pengurus Daerah Ikatan Pelaku Pemberdayaan Masyarakat Indonesia (DPD IPPMI) Lampung.[Sumber: lampungpost.co]