Cara Presiden Joko Widodo Menentukan Menteri Desa
Cara Presiden menentukan Menteri Kabinet memperlihatkan citra wacana apa yang bisa dibutuhkan dari pemerintahannya. Ada alasan berpengaruh mengapa Presiden Joko Widodo menentukan Eko Putro Sandjojo sebagai Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Sebab negara hanya akan sebaik pemimpinnya dan pemimpin hanya akan sebaik orang-orang yang dipilih, dimotivasi, dan diberdayakannya.
Ketika Presiden Soeharto memanggil Ali Wardhana untuk menjadi Menteri Keuangan dalam kabinet pertamanya, Ali menolak lantaran ia belum berpengalaman sebagai pejabat.
Setelah mendengarkan keberatan Ali Wardhana, Pak Harto menjawab, “Kamu pikir saya mau jadi Presiden? Saya juga belum pernah menjadi Presiden. Kamu belum pernah menjadi Menteri Keuangan. Makara jangan khawatir, kita berguru bersama.”
Ketika Eko Putro Sandjojo dipanggil Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Eko memperlihatkan tanggapan yang serupa dengan balasan Ali Wardhana.
“Waktu itu Presiden menyuruh saya membereskan kementerian ini lantaran banyak disorot. Saya disuruh untuk membuat terobosan,” kenang Eko ketika diremui wartawan Indonesian Leaders.
“Saya katakan ke Presiden, ‘Pak, saya ini nggak pernah jadi pejabat. Saya bukan orang desa, kok saya dijadikan Menteri Desa, Pak?’ Saya katakan itu ke Presiden.”
Jokowi menjawab, “Saya juga belum pernah jadi Presiden; saya dulu seorang pengusaha, berjiwa pengusaha.”
Presiden lalu berkata, “Pak Menteri kan punya pengalaman 20 tahun di [perdagangan] komoditi. Desa-desa itu pada prinsipnya yaitu basis semua komoditi. Kalau orang desa saya jadikan Menteri Desa, lantaran setiap hari sudah melihat masalah, nanti ia jadi tidak melihat duduk kasus lagi. Nah, coba dengan [pengalaman] berbasis komoditi itu Pak Menteri keliling ke desa-desa; nanti akan punya terobosan.”
Strategi Presiden dalam menentukan Menteri ini tepat, alasannya yaitu berdasarkan teori kepemimpinan yang dicetuskan Tanri Abeng, “Negara hanya sebaik pemimpinnya dan pemimpin hanya sebaik orang-orang yang dipilih, dimotivasi, dan diberdayakannya.”
Latar belakang Presiden Jokowi sebagai pengusaha itu bermanfaat juga dijadikan pijakan dalam menentukan anakbuahnya. Sebab pengusaha berorientasi pada hasil yang akan dicapai, bukan tingkat popularitas calon pemimpin yang akan diseleksi. Jokowi bisa melihat potensi yang ada dalam diri Eko Putro Sandjojo serta pengalamannya dalam sektor perdagangan komoditi serta bidang lainnya ketika ia menjadi profesional bisnis.
Bagi Eko sendiri, terobosan yang dibutuhkan Presiden untuk dilakukannya membuat ia harus berkeliling ke banyak sekali daerah.
“Ternyata benar. Begitu saya keliling pertama kali, saya lihat problemnya yaitu desa-desa tidak punya fokus. Makara sedikit menanam cabe, sedikit menanam bawang dan sebagainya. Makara tak ada skala ekonomi. Karena tak ada skala ekonomi maka tak ada [kegiatan ekonomi] pasca-panen. Karena tak ada itu di pasca-panen maka tak ada jaminan harga.”
Akibatnya para petani berganti-ganti komoditas. Hari ini menanam cabe, besok rugi, ia ganti komoditi dengan menanam bawang. Harga jatuh, ia pindah lagi menanam padi. Besok harga jatuh, ia ganti lagi. Makara customer-nya juga bingung. Tadinya mau membeli cabai di desa itu, tapi petani di sana semua sudah menanam bawang dan bukan cabai lagi.
Bandingkan kondisi ini dengan ruko-ruko kecil di tempat perkotaan menyerupai di Tanah Abang, Jakarta. Satu ruko saja omzetnya bisa miliaran rupiah.
Menteri Eko katakan, keberpihakan Presiden pada masyarakat kelas bawah sungguh lapang dada and all-out.
“Dia benar-benar komit sesuai Nawacita. Negara dalam keadaan susah aja pada tahun 2015 ia menetapkan Rp20,8 triliun untuk desa; tahun berikutnya dinaikkan menjadi Rp46,96 triliun, dan tahun 2017 dinaikkan lagi menjadi Rp60 triliun. Tahun 2018 dana desa akan ditingkatkan lagi hingga menjadi Rp 120 triliun.
“Pertama kali dalam sejarah Indonesia bahwa anggaran pemerintah yang ditransfer ke tempat menjadi Rp760 triliun sementara pemerintah sentra hanya memakai Rp740 triliun.”
Eko menilai bahwa Presiden bekerja sepenuh hati “karena ia tak mempunyai aktivitas lain. Mana ada saudaranya Presiden yang terlibat bisnis atau yang memanfaatkan akomodasi negara?”
Ternyata hal ini menjadi salah satu faktor yang menyemangati para Menteri Kabinet. Melihat Presiden bekerja keras dan lapang dada buat keppentingan rakyat, ujar Eko, “kita jadi semangat dan kita ingin melaksanakan sesuatu menyerupai yang dilakukan Presiden.”
Mungkin ini pula sebabnya mengapa Menteri Eko komit memberdayakan 75.000 desa di Tanah Air, meskipun ia tak mau mengambil honor dari kerja kerasnya itu. Sejak menjabat, gajinya ia kembalikan untuk dipakai sebagai dana operasional kementerian.
Setelah mendengarkan keberatan Ali Wardhana, Pak Harto menjawab, “Kamu pikir saya mau jadi Presiden? Saya juga belum pernah menjadi Presiden. Kamu belum pernah menjadi Menteri Keuangan. Makara jangan khawatir, kita berguru bersama.”
Ketika Eko Putro Sandjojo dipanggil Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Eko memperlihatkan tanggapan yang serupa dengan balasan Ali Wardhana.
“Waktu itu Presiden menyuruh saya membereskan kementerian ini lantaran banyak disorot. Saya disuruh untuk membuat terobosan,” kenang Eko ketika diremui wartawan Indonesian Leaders.
“Saya katakan ke Presiden, ‘Pak, saya ini nggak pernah jadi pejabat. Saya bukan orang desa, kok saya dijadikan Menteri Desa, Pak?’ Saya katakan itu ke Presiden.”
Jokowi menjawab, “Saya juga belum pernah jadi Presiden; saya dulu seorang pengusaha, berjiwa pengusaha.”
Presiden lalu berkata, “Pak Menteri kan punya pengalaman 20 tahun di [perdagangan] komoditi. Desa-desa itu pada prinsipnya yaitu basis semua komoditi. Kalau orang desa saya jadikan Menteri Desa, lantaran setiap hari sudah melihat masalah, nanti ia jadi tidak melihat duduk kasus lagi. Nah, coba dengan [pengalaman] berbasis komoditi itu Pak Menteri keliling ke desa-desa; nanti akan punya terobosan.”
Strategi Presiden dalam menentukan Menteri ini tepat, alasannya yaitu berdasarkan teori kepemimpinan yang dicetuskan Tanri Abeng, “Negara hanya sebaik pemimpinnya dan pemimpin hanya sebaik orang-orang yang dipilih, dimotivasi, dan diberdayakannya.”
Latar belakang Presiden Jokowi sebagai pengusaha itu bermanfaat juga dijadikan pijakan dalam menentukan anakbuahnya. Sebab pengusaha berorientasi pada hasil yang akan dicapai, bukan tingkat popularitas calon pemimpin yang akan diseleksi. Jokowi bisa melihat potensi yang ada dalam diri Eko Putro Sandjojo serta pengalamannya dalam sektor perdagangan komoditi serta bidang lainnya ketika ia menjadi profesional bisnis.
Bagi Eko sendiri, terobosan yang dibutuhkan Presiden untuk dilakukannya membuat ia harus berkeliling ke banyak sekali daerah.
“Ternyata benar. Begitu saya keliling pertama kali, saya lihat problemnya yaitu desa-desa tidak punya fokus. Makara sedikit menanam cabe, sedikit menanam bawang dan sebagainya. Makara tak ada skala ekonomi. Karena tak ada skala ekonomi maka tak ada [kegiatan ekonomi] pasca-panen. Karena tak ada itu di pasca-panen maka tak ada jaminan harga.”
Akibatnya para petani berganti-ganti komoditas. Hari ini menanam cabe, besok rugi, ia ganti komoditi dengan menanam bawang. Harga jatuh, ia pindah lagi menanam padi. Besok harga jatuh, ia ganti lagi. Makara customer-nya juga bingung. Tadinya mau membeli cabai di desa itu, tapi petani di sana semua sudah menanam bawang dan bukan cabai lagi.
Bandingkan kondisi ini dengan ruko-ruko kecil di tempat perkotaan menyerupai di Tanah Abang, Jakarta. Satu ruko saja omzetnya bisa miliaran rupiah.
Menteri Eko katakan, keberpihakan Presiden pada masyarakat kelas bawah sungguh lapang dada and all-out.
“Dia benar-benar komit sesuai Nawacita. Negara dalam keadaan susah aja pada tahun 2015 ia menetapkan Rp20,8 triliun untuk desa; tahun berikutnya dinaikkan menjadi Rp46,96 triliun, dan tahun 2017 dinaikkan lagi menjadi Rp60 triliun. Tahun 2018 dana desa akan ditingkatkan lagi hingga menjadi Rp 120 triliun.
“Pertama kali dalam sejarah Indonesia bahwa anggaran pemerintah yang ditransfer ke tempat menjadi Rp760 triliun sementara pemerintah sentra hanya memakai Rp740 triliun.”
Eko menilai bahwa Presiden bekerja sepenuh hati “karena ia tak mempunyai aktivitas lain. Mana ada saudaranya Presiden yang terlibat bisnis atau yang memanfaatkan akomodasi negara?”
Ternyata hal ini menjadi salah satu faktor yang menyemangati para Menteri Kabinet. Melihat Presiden bekerja keras dan lapang dada buat keppentingan rakyat, ujar Eko, “kita jadi semangat dan kita ingin melaksanakan sesuatu menyerupai yang dilakukan Presiden.”
Mungkin ini pula sebabnya mengapa Menteri Eko komit memberdayakan 75.000 desa di Tanah Air, meskipun ia tak mau mengambil honor dari kerja kerasnya itu. Sejak menjabat, gajinya ia kembalikan untuk dipakai sebagai dana operasional kementerian.
Lessons Learned
Saking semangatnya Pak Menteri yang satu ini hingga perayaan 17 Agustus pun ia menentukan tidak menghadirinya di Istana, tetapi merayakannya dengan penduduk di desa-desa.
Suatu ketika Eko menghadap Jokowi. “Pak Presiden, saya minta izin, boleh atau tidak? Saya tidak ikut jadwal kenegaraan 17 Agustus.” “Kenapa,” tanya Jokowi.
“Saya mau merayakan 17 Agustus di desa-desa, di tempat perbatasan.”
Sejenak Presiden terdiam. Menteri Desa ini bingung. Mungkin Presiden sedang marah, pikirnya.
Sesaat lalu Presiden Jokowi berkata, “Bagus begitu. Tahun depan seluruh Menteri saya suruh merayakan 17 Agustus di tempat perbatasan.”
Kegiatan safari Menteri Desa ke banyak sekali tempat membuat dirinya semakin memahami akar permasalahan yang menjadikan kemiskinan dan keterbelakangan, termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Sejak detik itu saya nggak ada interest lagi di kemewahan. Biasa beli kendaraan beroda empat dan suka ngebut, kini nggak kepikir lagi itu. “Sudah 71 tahun kita merdeka tapi sebagian masyarakat masih miskin, bawah umur kekurangan gizi, 60% angkatan kerja kita cuma tamatan SD dan SMP.”
Ini sebabnya Eko begitu respek terhadap Jokowi bukan semata-mata lantaran ia pembantu Presiden, tetapi lantaran akad Presiden untuk mempercepat dan memeratakan pembangunan ke seluruh daerah, khususnya tempat perdesaan, supaya negara yang semakin maju ini bisa maju secara merata dan berkeadilan.
Eko lalu fokus membuat business model yang sempurna untuk diberlakukan dengan adaptasi di banyak sekali tempat perdesaan. Strateginya yaitu menjalankan empat jadwal unggulan yaitu One Village One Product, Embung Desa, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan Sarana Olahraga.
Dalam dua tahun terakhir, jumlah BUMDes meningkat tajam. Pada simpulan tahun 2014, jumlah BUMDes hanya sebanyak 1.022 unit, namun tahun 2016 meningkat drastis hingga 14.686 unit.
Dari total jumlah BUMDes itu sebanyak 6.728 unit (52%) berada di Provinsi Nangroe Aceh Darusalam, diikuti Jawa Timur sebanyak 918 unit (7,14%) dan Jawa Tengah sebanyak 800 unit (6,22%).
Sejumlah BumDes sudah mempunyai omzet antara Rp300 juta-Rp8,7 miliar, berdasarkan data kementerian ini. BUMDes yang mempunyai omzet tertinggi per tahun yaitu BUMDes Tirtonirmolo di Bantul dengan omzet sebesar Rp6,7 miliar dengan jenis perjuangan jasa simpan pinjam.
BumDes paling sukses di urutan ke-dua yaitu BumDes Ponggok Klaten di bidang pariwisata, dan BumDes Gili Amerta di Kabupaten Buleleng masing-masing sebanyak Rp5,1 miliar.
Program Sarana Olahraga termasuk pembangunan lapangan bola serta akomodasi lainnya di desa-desa. Karena Eko Putro Sandjojo bukanlah Menteri Pemuda dan Olahraga, maka tujuan utama pembangunan sarana olahraga ini bergotong-royong bukan untuk mencari bibit-bibit atlet dari daerah, tetapi untuk mengumpulkan crowd. Ketika banyak orang berkumpul di satu desa maka akan tercipta kegiatan ekonomi berantai dan sanggup pula menjadi tujuan wisata.
Pelajaran kepemimpinan yang bisa dipetik dari cara Presiden menentukan Menteri Desa yaitu bahwa apabila kita mengharapkan hasil kerja yang maksimal serta terobosan-terobosan kebijakan dari seorang pemimpin, maka cara terbaik yaitu menentukan orang yang tepat, yaitu mereka yang keahlian dan pengalamannya bisa memperlihatkan nilai tambah bagi forum yang dipimpinnya bukan sekadar menentukan tokoh-tokoh yang terkenal namun miskin kemampuan untuk membuat nilai tambah.
Sebab, menyerupai kata Tanri Abeng, Negara hanya sebaik pemimpinnya dan pemimpin hanya sebaik orang-orang yang dipilih, dimotivasi, dan diberdayakannya. (Sumber: Majalahleaders.com)
Suatu ketika Eko menghadap Jokowi. “Pak Presiden, saya minta izin, boleh atau tidak? Saya tidak ikut jadwal kenegaraan 17 Agustus.” “Kenapa,” tanya Jokowi.
“Saya mau merayakan 17 Agustus di desa-desa, di tempat perbatasan.”
Sejenak Presiden terdiam. Menteri Desa ini bingung. Mungkin Presiden sedang marah, pikirnya.
Sesaat lalu Presiden Jokowi berkata, “Bagus begitu. Tahun depan seluruh Menteri saya suruh merayakan 17 Agustus di tempat perbatasan.”
Kegiatan safari Menteri Desa ke banyak sekali tempat membuat dirinya semakin memahami akar permasalahan yang menjadikan kemiskinan dan keterbelakangan, termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Sejak detik itu saya nggak ada interest lagi di kemewahan. Biasa beli kendaraan beroda empat dan suka ngebut, kini nggak kepikir lagi itu. “Sudah 71 tahun kita merdeka tapi sebagian masyarakat masih miskin, bawah umur kekurangan gizi, 60% angkatan kerja kita cuma tamatan SD dan SMP.”
Ini sebabnya Eko begitu respek terhadap Jokowi bukan semata-mata lantaran ia pembantu Presiden, tetapi lantaran akad Presiden untuk mempercepat dan memeratakan pembangunan ke seluruh daerah, khususnya tempat perdesaan, supaya negara yang semakin maju ini bisa maju secara merata dan berkeadilan.
Eko lalu fokus membuat business model yang sempurna untuk diberlakukan dengan adaptasi di banyak sekali tempat perdesaan. Strateginya yaitu menjalankan empat jadwal unggulan yaitu One Village One Product, Embung Desa, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan Sarana Olahraga.
Dalam dua tahun terakhir, jumlah BUMDes meningkat tajam. Pada simpulan tahun 2014, jumlah BUMDes hanya sebanyak 1.022 unit, namun tahun 2016 meningkat drastis hingga 14.686 unit.
Dari total jumlah BUMDes itu sebanyak 6.728 unit (52%) berada di Provinsi Nangroe Aceh Darusalam, diikuti Jawa Timur sebanyak 918 unit (7,14%) dan Jawa Tengah sebanyak 800 unit (6,22%).
Sejumlah BumDes sudah mempunyai omzet antara Rp300 juta-Rp8,7 miliar, berdasarkan data kementerian ini. BUMDes yang mempunyai omzet tertinggi per tahun yaitu BUMDes Tirtonirmolo di Bantul dengan omzet sebesar Rp6,7 miliar dengan jenis perjuangan jasa simpan pinjam.
BumDes paling sukses di urutan ke-dua yaitu BumDes Ponggok Klaten di bidang pariwisata, dan BumDes Gili Amerta di Kabupaten Buleleng masing-masing sebanyak Rp5,1 miliar.
Program Sarana Olahraga termasuk pembangunan lapangan bola serta akomodasi lainnya di desa-desa. Karena Eko Putro Sandjojo bukanlah Menteri Pemuda dan Olahraga, maka tujuan utama pembangunan sarana olahraga ini bergotong-royong bukan untuk mencari bibit-bibit atlet dari daerah, tetapi untuk mengumpulkan crowd. Ketika banyak orang berkumpul di satu desa maka akan tercipta kegiatan ekonomi berantai dan sanggup pula menjadi tujuan wisata.
Pelajaran kepemimpinan yang bisa dipetik dari cara Presiden menentukan Menteri Desa yaitu bahwa apabila kita mengharapkan hasil kerja yang maksimal serta terobosan-terobosan kebijakan dari seorang pemimpin, maka cara terbaik yaitu menentukan orang yang tepat, yaitu mereka yang keahlian dan pengalamannya bisa memperlihatkan nilai tambah bagi forum yang dipimpinnya bukan sekadar menentukan tokoh-tokoh yang terkenal namun miskin kemampuan untuk membuat nilai tambah.
Sebab, menyerupai kata Tanri Abeng, Negara hanya sebaik pemimpinnya dan pemimpin hanya sebaik orang-orang yang dipilih, dimotivasi, dan diberdayakannya. (Sumber: Majalahleaders.com)