Desa, Pilar Ekonomi Abad Depan
Sebutkan kata “desa” maka pikiran orang melayang ke daerah-daerah terkebelakang di atas gunung, atau kampung nelayan di pesisir pantai. Tapi tahukah Anda bahwa dalam tempo 10-20 tahun dari sekarang, desa bisa menjadi pilar unggulan perekonomian nasional? Diam-diam pemerintah sedang memberdayakan 75.000 desa yang kapasitas produksinya akan melipatgandakan GDP Indonesia, bahkan nilai kapitalisasinya akan menandingi perusahaan-perusahaan raksasa dunia.
Buang jauh-jauh kepentingan partai, kelompok dan golongan. Mari kita bicara wacana nasib bangsa ini menjelang peringatan 100 tahun Indonesia Merdeka. Sebelum peringatan tersebut, bila kegiatan pembangunan desa yang dijalankan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam Nawacita itu berhasil secara merata dan berkesinambungan [dilanjutkan oleh pemerintahan-pemerintahan berikutnya], maka desa-desa di Indonesia akan membuat consumption power senilai Rp12.000 triliun atau mendekati US$ 1 triliun —sama menyerupai GDP Indonesia dikala ini, termasuk yang dihasilkan oleh tempat perkotaan dan tempat industri.
Eko Putro Sandjojo, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi sudah menghitungnya secara cermat bahwa potensi desa yang sangat besar itu harus ditumbuh-kembangkan, lantaran inilah salah satu pilar unggulan ekonomi Indonesia di masa depan.
Saat ini [2017] penduduk Indonesia berjumlah 259 juta yang meliputi angkatan kerja sebanyak 47% atau 125 juta orang. Setengah dari jumlah ini tinggal di desa-desa. Tapi dalam kurun waktu 10 tahun dari sekarang, Indonesia akan memperoleh bonus demografi ketika jumlah penduduk naik menjadi lebih dari 270 juta orang dan angkatan kerja bertambah menjadi 67% dari jumlah penduduk.
Tahun 2030 jumlah penduduk negeri ini diperkirakan akan mencapai 300 juta orang, sekitar setengahnya berada di tempat perdesaan. Jika dihitung bahwa nanti terdapat 200 juta angkatan kerja saja —sekitar 10-15 tahun dari kini —maka ada 100 juta pekerja yang tinggal di daerah pedesaan.
Dalam kalkulasi Eko Putro Sandjojo, kalau setiap desa fokus memproduksi satu produk unggulan tertentu melalui Program Unggulan Desa (Prudes) atau di Jawa dikenal dengan nama Program Kawasan Perdesaan (Prokades) maka akan menghasilkan skala hemat yang berdampak.
Setiap angkatan kerja di desa bisa memperoleh penghasilan Rp2 juta per bulan, lantaran sektor pertanian yang terintegrasi secara vertikal bisa memperlihatkan pekerjaan turunan. Misalnya ada kuli panggul, ada buruh, ada pegawai di perusahaan pasca-panen, sopir truk, warung-warung, retail dan seterusnya. Kaprikornus multiplier effect-nya besar. Maka desa akan menyumbang paling sedikit Rp200 triliun per bulan kepada perekonomian nasional.
Apabila jumlah Rp200 triliun itu menghasilkan consumption effect lima kali lipat —sebagai kalkulasi moderat— maka kapasitas konsumsi berbasis desa akan mencapai Rp1.000 triliun per bulan atau Rp12.000 triliun per tahun atau enam kali APBN 2017. Sehingga akan memperlihatkan bantuan sekitar US$1 triliun kepada GDP Indonesia.
Ini kalau kita hitung bahwa dalam tempo 10-15 tahun dari kini kegiatan pembangunan desa yang dijalankan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi itu membuat penghasilan angkatan kerja di desa tumbuh menjadi Rp2 juta per orang per bulan.
Di banyak desa jumlah ini akan jauh lebih besar. Pendapatan rata-rata masyarakat desa di Jawa dikala ini pun sudah lebih dari Rp2 juta. Tapi dengan hanya Rp2 juta saja, desa sudah bisa membuat nilai sebesar GDP Indonesia dikala ini, apalagi kalau bisa lebih, ujar Eko Putro Sandjojo ketika ditemui Pitan Daslani dan Andrea Salman dari Indonesian Leaders.
“Itu yang akan menjadi kekuatan Indonesia. Berarti keinginan Pak Joko Widodo dalam membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam rangka NKRI itu bukanlah isapan jempol. Secara matematika bisa dibuktikan. Nah, teknisnya, bagaimana supaya kita membuat Produk Unggulan Desa (Prudes) ini jalan.”
Produk Unggulan Desa
Kementerian yang dipimpin Eko kini sibuk mendorong desa-desa di Tanah Air untuk fokus berbagi produk-produk unggulan tertentu sesuai potensi wilayahnya masing-masing dengan semboyan One Village One Product. Selama ini lantaran tidak terorganisir dengan baik maka desa-desa tidak mempunyai fokus produksi. Namun hal inilah yang sedang dibenahi supaya setiap desa mempunyai produk unggulan tertentu sehingga bisa mempunyai skala produksi yang besar.
One Village One Product ialah satu dari empat kegiatan yang menjadi taktik kementerian ini. Produk-produk unggulan ini akan dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), yang merupakan kegiatan unggulan kedua. Program unggulan lainnya ialah Embung Desa dan Sarana Olahraga.
BUMDes berbentuk perseroan terbatas (PT) yang dikelola oleh desa dan berada di bawah holding dimana empat bank BUMN yaitu Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, dan Bank Negara Indonesia (BNI) menjadi pemilik dominan (51%) sementara desa mengontrol 49% saham perusahaan tersebut.
Guna meningkatan kinerja serta menerapkan transparansi dalam pengelolaan BUMDes maka pemerintah juga telah mendorong kehadiran mitra-mitra BUMDes untuk bekerjasama.
“Kalau satu desa punya satu kawan BUMDes, dan satu kawan BUMDes bisa untung Rp 1 miliar per tahun, maka kalau dikonsolidasikan akan menghasilkan Rp 75 triliun net profit. Sampai kini belum ada perusahaan di Indonesia bisa menghasilkan net profit sebesar itu,” ujar Menteri Eko.
Bandingkan net profit dari satu holding ini (Rp75 triliun) dengan keuntungan 138 BUMN yang berjumlah Rp140 triliun. “Nah perusahaan yang punya net profit Rp75 triliun tentu mustahil kita diamkan saja. Saya tentu akan float ke pasar saham.
Kalau price to earning (P/E) ratio-nya 20 contohnya maka kapitalisasi pasarnya sudah Rp1.500 triliun atau US$ 120 miliar, atau sama dengan 30% dari nilai kapitalisasi Apple Computer. BumDes ini bisa menjadi world-class company.”
Menteri Eko yang berlatarbelakang profesional bisnis itu beropini bahwa salah satu kunci keberhasilan pengembangan tempat perdesaan ialah administrasi korporasi BumDes secara profesional.
“Malaysia dan Singapura itu negara kecil yang sumber daya alamnya tak sebanyak Indonesia, tetapi lantaran ia kompak sehingga bisa mengkapitalisasi bukan hanya resources negaranya tetapi juga recources negara tetangga.”
Holding BUMDes
Sistematikanya ialah membangun produk unggulan setiap desa, kemudian disusul pembangunan embung air sehingga penduduk desa mempunyai penghasilan yang meningkat, barulah dibuat BUMDes di tiap desa kemudian di-holding-kan di bawah empat bank BUMN itu.
BUMDes sering tidak dipahami banyak orang yang menyangkanya sebagai koperasi. Padahal BUMDes dan koperasi ialah dua hal yang berbeda lantaran BUMDes ialah perseroan terbatas (PT) yang dikelola oleh desa dan manfaatnya dipakai 100% untuk kepentingan desa, contohnya membangun atau memperbaiki infrastruktur perdesaan. Sedangkan koperasi dimiliki anggotanya yang memakai 100% manfaatnya untuk kepentingan anggota masyarakat.
Banyak BUMDes yang sudah sukses, bahkan bisa mencetak keuntungan Rp10-15 miliar, namun banyak pula yang masih belum sukses lantaran terkendala oleh minimnya SDM pengelola yang mumpuni.
“Yang sukses itu di daerah-daerah yang mempunyai human resources yang ada kapasitas untuk mengelola semacam BUMDes. Tapi problemnya, tidak semua desa, apalagi desa-desa yang jauh, itu punya SDM demikian.”
Karena itu maka kini Menteri Eko dibantu oleh BNI untuk melatih 1.500 BUMDes setiap tahun melalui BNI University yang melatih di bidang kewirausahaan dan manajemen. Tapi bila hanya melatih 1.500 BUMDes per tahun sementara ada 75.000 desa, maka diharapkan 50 tahun untuk melatih SDM BUMDes di semua desa. Inilah sebabnya Menteri Eko kemudian membentuk holding BUMDes.
Pemilik holding ini ialah keempat bank BUMN tersebut yang memegang saham 51%. Holding ini akan mempunyai anak perusahaan di tingkat provinsi, kabupaten, dan desa. Holding dimaksud sudah terbentuk dan sedang menangani proyek percontohan di dua provinsi yaitu Jawa Barat dan Banten.
Repotnya, holding ini berhadapan dengan BUMDes-BUMDes yang kapasitasnya beragam. Ada yang sudah punya keuntungan higienis Rp15 miliar, ada yang labanya hanya Rp1 miliar, sementara ada juga yang pas-pasan. Ini membuat holding kesulitan untuk melaksanakan valuasi, Untuk mengatasi kondisi ini maka Menteri Eko munculkan solusi terobosan yaitu membentuk mitra-mitra BUMDes yang sahamnya 51% dimiliki oleh negara melalui holding sedangkan 49% dimiliki oleh desa.
Negara tetap akan mengontrol 51% supaya pengelolaan BUMDes bisa transparan dan tidak menjadi monopoli kelompok kepentingan. Sebab pengalaman selama ini ada juga BUMDes yang sukses ternyata pengurusnya ialah anggota keluarga dan kerabat kepala desa. Dengan adanya holding maka praktik semacam itu bisa dicegah dan mereka bisa magang di bawah holding untuk mempelajari administrasi BUMDes secara profesional sebagai korporasi.
Manfaat lainnya ialah pemerintah sanggup mennyalurkan semua subsidi melalui mitra-mitra BUMDes dan bank-bank yang mengelola holding akan lebih nyaman memperlihatkan kredit.
Bulan Maret 2017 ketika holding BUMDes mulai beroperasi untuk pilot project di Banten dan Jawa Barat, karenanya mulai tampak. Total jumlah BUMDes dikabarkan mencapai lebih dari 14.000 namun yang terdata di kementerian ini sudah lebih dari 22.000. Fokus kementerian ialah bukan kuantitas, melainkan kualitasnya supaya bisa mandiri.
Selain itu dari sisi keamanan dan pengembangan aset, akan lebih terjamin, contohnya solar cell, traktor, harvester, dan peralatan lainnya. BUMDes yang mempunyai 10 traktor contohnya sanggup dijaminkan ke bank untuk membeli 20 traktor lagi.
“Jadi dengan anggran negara yang terbatas BUMDes bisa seperti menerima kapital dalam bentuk barang yang bisa dijaminkan untuk membeli barang gres lagi kemudian disewakan kepada masyarakat. Begitu pula apabila diberi satu sarana air bersih, bisa di-leverage menjadi bebrapa sarana air bersih.”
Dengan demikian maka mitra-mitra BUMDes akan dengan gampang mencetak keuntungan Rp100 juta per tahun lantaran banyak sekali produk dagangannya menyerupai beras dan minyak goreng sanggup dijual di situ. Nanti distribusinya melalui koperasi-koperasi desa yang terfokus ke komoditas spesifik khas desa, contohnya koperasi transportasi, koperasi jagung, padi, dan lainnya. Pemerintah mensubsidi dengan memperlihatkan pupuk secara gratis.
Sinergi Kementerian dan Lembaga
Ini gres bicara wacana potensi desa, belum lagi wacana dampaknya bagi perekonomian di daerah perkotaan. Akan akan multiplier effects terhadap kota-kota, lantaran jaringan distribusi produk dari desa serta kebutuhan masyarakat perdesaan akan membuat lapangan kerja gres serta efek ekonominya secara berantai terus hingga ke kota-kota.
Maka Menteri Eko sangat yakin bahwa desa akan bisa menghasilkan perhiasan US$1,5 triliun kepada Produk Domestik Bruto nasional. Inilah sebabnya Presiden Jokowi yakin kegiatan Prudes dan Prukades bisa sukses.
Banyak kepala daerah mulai menerapkan kegiatan ini, contohnya di Halmahera Barat yang bupatinya melapor kepada Menteri Eko bahwa ia sudah membuka tempat 20.000 hektar untuk jagung, dan bibitnya didapat dari Menteri Pertanian.
Ke depan kegiatan yang didukung oleh 19 kementerian dan forum ini akan menjadi gerakan nasional dimana masing-masing daerah akan fokus ke produk-produk tertentu sesuai potensi terbesar di daerahnya.
Kementerian dan lembaga-lembaga dimaksud pun Tupoksi-nya berada di desa sehingga memudahkan implementasi kegiatan Prudes dan Prukades, ujar Menteri Eko, meyakinkan.
Dengan adanya sinergi dari 19 kementerian dan forum ini maka dana desa sebesar Rp60 triliun dari total transfer Rp560 triliun ke daerah itu bisa menjadi pelopor peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan.
Tapi, mungkinkah semua ini akan berjalan dengan baik dari sisi administrasi kebijakan pemerintah pusat?
Menteri Eko menjawabnya enteng: “Enaknya, Pak Jokowi itu kita gres ngomong sedikit, ia sudah menangkap maksudnya; apalagi lantaran ia juga berlatarbelakang pengusaha. Kaprikornus kita tak perlu bingung-bingung bicara. Dia cepat paham maksud kita; ia eksklusif panggil menteri-menteri lainnya untuk membantu Menteri Desa. Enaknya Pak Jokowi itu begitu.”
Mengingat bahwa strategi, struktur, sistem, serta skill untuk menjalankan kegiatan raksasa ini sudah dibangun, maka perlu adanya kesinambungan kebijakan pemerintah sentra sebagai jaminan konsistensi arah pengembangan tempat perdesaan terus ke depan.
Penyakit paling menyakitkan di negeri ini ialah ketika terjadi pergantian kepemimpinan nasional maka semua taktik dan kegiatan pembangunan yang baik kemudian ditinggalkan dan diganti lagi dengan taktik gres yang dimulai dari awal.
Pemerhati-pemerhati dilema ekonomi memperkirakan bahwa Presiden Jokowi perlu 10 tahun untuk menyelesaikan rencana besar yang sudah berjalan ini supaya manfaatnya bisa dirasakan oleh puluhan ribu desa yang dihuni begitu banyak penduduk Indonesia. [*]
Sumber: majalahleaders.com
Foto: Komunitas Ayo Bangun Desa
Buang jauh-jauh kepentingan partai, kelompok dan golongan. Mari kita bicara wacana nasib bangsa ini menjelang peringatan 100 tahun Indonesia Merdeka. Sebelum peringatan tersebut, bila kegiatan pembangunan desa yang dijalankan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam Nawacita itu berhasil secara merata dan berkesinambungan [dilanjutkan oleh pemerintahan-pemerintahan berikutnya], maka desa-desa di Indonesia akan membuat consumption power senilai Rp12.000 triliun atau mendekati US$ 1 triliun —sama menyerupai GDP Indonesia dikala ini, termasuk yang dihasilkan oleh tempat perkotaan dan tempat industri.
Eko Putro Sandjojo, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi sudah menghitungnya secara cermat bahwa potensi desa yang sangat besar itu harus ditumbuh-kembangkan, lantaran inilah salah satu pilar unggulan ekonomi Indonesia di masa depan.
Saat ini [2017] penduduk Indonesia berjumlah 259 juta yang meliputi angkatan kerja sebanyak 47% atau 125 juta orang. Setengah dari jumlah ini tinggal di desa-desa. Tapi dalam kurun waktu 10 tahun dari sekarang, Indonesia akan memperoleh bonus demografi ketika jumlah penduduk naik menjadi lebih dari 270 juta orang dan angkatan kerja bertambah menjadi 67% dari jumlah penduduk.
Tahun 2030 jumlah penduduk negeri ini diperkirakan akan mencapai 300 juta orang, sekitar setengahnya berada di tempat perdesaan. Jika dihitung bahwa nanti terdapat 200 juta angkatan kerja saja —sekitar 10-15 tahun dari kini —maka ada 100 juta pekerja yang tinggal di daerah pedesaan.
Dalam kalkulasi Eko Putro Sandjojo, kalau setiap desa fokus memproduksi satu produk unggulan tertentu melalui Program Unggulan Desa (Prudes) atau di Jawa dikenal dengan nama Program Kawasan Perdesaan (Prokades) maka akan menghasilkan skala hemat yang berdampak.
Setiap angkatan kerja di desa bisa memperoleh penghasilan Rp2 juta per bulan, lantaran sektor pertanian yang terintegrasi secara vertikal bisa memperlihatkan pekerjaan turunan. Misalnya ada kuli panggul, ada buruh, ada pegawai di perusahaan pasca-panen, sopir truk, warung-warung, retail dan seterusnya. Kaprikornus multiplier effect-nya besar. Maka desa akan menyumbang paling sedikit Rp200 triliun per bulan kepada perekonomian nasional.
Apabila jumlah Rp200 triliun itu menghasilkan consumption effect lima kali lipat —sebagai kalkulasi moderat— maka kapasitas konsumsi berbasis desa akan mencapai Rp1.000 triliun per bulan atau Rp12.000 triliun per tahun atau enam kali APBN 2017. Sehingga akan memperlihatkan bantuan sekitar US$1 triliun kepada GDP Indonesia.
Ini kalau kita hitung bahwa dalam tempo 10-15 tahun dari kini kegiatan pembangunan desa yang dijalankan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi itu membuat penghasilan angkatan kerja di desa tumbuh menjadi Rp2 juta per orang per bulan.
Di banyak desa jumlah ini akan jauh lebih besar. Pendapatan rata-rata masyarakat desa di Jawa dikala ini pun sudah lebih dari Rp2 juta. Tapi dengan hanya Rp2 juta saja, desa sudah bisa membuat nilai sebesar GDP Indonesia dikala ini, apalagi kalau bisa lebih, ujar Eko Putro Sandjojo ketika ditemui Pitan Daslani dan Andrea Salman dari Indonesian Leaders.
“Itu yang akan menjadi kekuatan Indonesia. Berarti keinginan Pak Joko Widodo dalam membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam rangka NKRI itu bukanlah isapan jempol. Secara matematika bisa dibuktikan. Nah, teknisnya, bagaimana supaya kita membuat Produk Unggulan Desa (Prudes) ini jalan.”
Produk Unggulan Desa
Kementerian yang dipimpin Eko kini sibuk mendorong desa-desa di Tanah Air untuk fokus berbagi produk-produk unggulan tertentu sesuai potensi wilayahnya masing-masing dengan semboyan One Village One Product. Selama ini lantaran tidak terorganisir dengan baik maka desa-desa tidak mempunyai fokus produksi. Namun hal inilah yang sedang dibenahi supaya setiap desa mempunyai produk unggulan tertentu sehingga bisa mempunyai skala produksi yang besar.
One Village One Product ialah satu dari empat kegiatan yang menjadi taktik kementerian ini. Produk-produk unggulan ini akan dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), yang merupakan kegiatan unggulan kedua. Program unggulan lainnya ialah Embung Desa dan Sarana Olahraga.
BUMDes berbentuk perseroan terbatas (PT) yang dikelola oleh desa dan berada di bawah holding dimana empat bank BUMN yaitu Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, dan Bank Negara Indonesia (BNI) menjadi pemilik dominan (51%) sementara desa mengontrol 49% saham perusahaan tersebut.
Guna meningkatan kinerja serta menerapkan transparansi dalam pengelolaan BUMDes maka pemerintah juga telah mendorong kehadiran mitra-mitra BUMDes untuk bekerjasama.
“Kalau satu desa punya satu kawan BUMDes, dan satu kawan BUMDes bisa untung Rp 1 miliar per tahun, maka kalau dikonsolidasikan akan menghasilkan Rp 75 triliun net profit. Sampai kini belum ada perusahaan di Indonesia bisa menghasilkan net profit sebesar itu,” ujar Menteri Eko.
Bandingkan net profit dari satu holding ini (Rp75 triliun) dengan keuntungan 138 BUMN yang berjumlah Rp140 triliun. “Nah perusahaan yang punya net profit Rp75 triliun tentu mustahil kita diamkan saja. Saya tentu akan float ke pasar saham.
Kalau price to earning (P/E) ratio-nya 20 contohnya maka kapitalisasi pasarnya sudah Rp1.500 triliun atau US$ 120 miliar, atau sama dengan 30% dari nilai kapitalisasi Apple Computer. BumDes ini bisa menjadi world-class company.”
Menteri Eko yang berlatarbelakang profesional bisnis itu beropini bahwa salah satu kunci keberhasilan pengembangan tempat perdesaan ialah administrasi korporasi BumDes secara profesional.
“Malaysia dan Singapura itu negara kecil yang sumber daya alamnya tak sebanyak Indonesia, tetapi lantaran ia kompak sehingga bisa mengkapitalisasi bukan hanya resources negaranya tetapi juga recources negara tetangga.”
Embung Air Desa
Karena 82% masyarakat di perdesaan hidup di sektor pertanian, maka titik beratnya ialah membuat tiap desa fokus ke komoditas pertanian dan pendukungnya.
Untuk menunjang penciptaan produk-produk unggulan desa, maka Menteri Eko sibuk mendorong pembangunan embung air sesuai visi yang ditetapkan Presiden.
“Di Indonesia ini hanya 45% desa yang mempunyai jalan masuk irigasi. Sisanya belum punya jalan masuk irigasi. Kaprikornus yang punya jalan masuk irigasi itu bisa tiga kali panen, tapi yang tidak punya jalan masuk irigasi cuma pas demam isu hujan saja bisa menanam dan hanya satu kali panen. Kaprikornus rata-rata nasional cuma 1,4 kali panen per tahun, padahal seharusnya bisa tiga kali panen, kalau ada air.
“Karena itulah maka perhiasan anggaran desa sebesar Rp20 triliun itu Bapak Presiden minta untuk dipakai membangun embung air di setiap desa. Kaprikornus desa mengalokasikan Rp200-500 juta untuk membangun embung air.
“Embung air itu tak perlu harus dibikin di tanah baru; jalan masuk irigasi dilebarkan dan diperdalam itu juga bisa jadi long storage sebagai embung air juga. Sehingga pada dikala demam isu kemarau pun bisa ditarik pakai pompa, airnya bisa buat menanam supaya bisa tiga kali panen. Kaprikornus secara nasional bisa naik dua kali lipat dengan lahan yang sama.
“Embung itu juga bisa dimanfaatkan untuk perikanan; jadi supaya tidak idle, dipakai untuk perikanan supaya ada additional income buat desa. Perikanan bisa dimanfaatkan juga buat pariwisata. Kaprikornus tahun kemudian ada yang curi start, ada 600 desa yang sudah bikin embung. Di Kutai Kartanegara kebetulan kaya dana bagi karenanya ada Rp 7 triliun, jadi setiap desa dikasih Rp 3 miliar.”
Untuk menunjang penciptaan produk-produk unggulan desa, maka Menteri Eko sibuk mendorong pembangunan embung air sesuai visi yang ditetapkan Presiden.
“Di Indonesia ini hanya 45% desa yang mempunyai jalan masuk irigasi. Sisanya belum punya jalan masuk irigasi. Kaprikornus yang punya jalan masuk irigasi itu bisa tiga kali panen, tapi yang tidak punya jalan masuk irigasi cuma pas demam isu hujan saja bisa menanam dan hanya satu kali panen. Kaprikornus rata-rata nasional cuma 1,4 kali panen per tahun, padahal seharusnya bisa tiga kali panen, kalau ada air.
“Karena itulah maka perhiasan anggaran desa sebesar Rp20 triliun itu Bapak Presiden minta untuk dipakai membangun embung air di setiap desa. Kaprikornus desa mengalokasikan Rp200-500 juta untuk membangun embung air.
“Embung air itu tak perlu harus dibikin di tanah baru; jalan masuk irigasi dilebarkan dan diperdalam itu juga bisa jadi long storage sebagai embung air juga. Sehingga pada dikala demam isu kemarau pun bisa ditarik pakai pompa, airnya bisa buat menanam supaya bisa tiga kali panen. Kaprikornus secara nasional bisa naik dua kali lipat dengan lahan yang sama.
“Embung itu juga bisa dimanfaatkan untuk perikanan; jadi supaya tidak idle, dipakai untuk perikanan supaya ada additional income buat desa. Perikanan bisa dimanfaatkan juga buat pariwisata. Kaprikornus tahun kemudian ada yang curi start, ada 600 desa yang sudah bikin embung. Di Kutai Kartanegara kebetulan kaya dana bagi karenanya ada Rp 7 triliun, jadi setiap desa dikasih Rp 3 miliar.”
Holding BUMDes
Sistematikanya ialah membangun produk unggulan setiap desa, kemudian disusul pembangunan embung air sehingga penduduk desa mempunyai penghasilan yang meningkat, barulah dibuat BUMDes di tiap desa kemudian di-holding-kan di bawah empat bank BUMN itu.
BUMDes sering tidak dipahami banyak orang yang menyangkanya sebagai koperasi. Padahal BUMDes dan koperasi ialah dua hal yang berbeda lantaran BUMDes ialah perseroan terbatas (PT) yang dikelola oleh desa dan manfaatnya dipakai 100% untuk kepentingan desa, contohnya membangun atau memperbaiki infrastruktur perdesaan. Sedangkan koperasi dimiliki anggotanya yang memakai 100% manfaatnya untuk kepentingan anggota masyarakat.
Banyak BUMDes yang sudah sukses, bahkan bisa mencetak keuntungan Rp10-15 miliar, namun banyak pula yang masih belum sukses lantaran terkendala oleh minimnya SDM pengelola yang mumpuni.
“Yang sukses itu di daerah-daerah yang mempunyai human resources yang ada kapasitas untuk mengelola semacam BUMDes. Tapi problemnya, tidak semua desa, apalagi desa-desa yang jauh, itu punya SDM demikian.”
Karena itu maka kini Menteri Eko dibantu oleh BNI untuk melatih 1.500 BUMDes setiap tahun melalui BNI University yang melatih di bidang kewirausahaan dan manajemen. Tapi bila hanya melatih 1.500 BUMDes per tahun sementara ada 75.000 desa, maka diharapkan 50 tahun untuk melatih SDM BUMDes di semua desa. Inilah sebabnya Menteri Eko kemudian membentuk holding BUMDes.
Pemilik holding ini ialah keempat bank BUMN tersebut yang memegang saham 51%. Holding ini akan mempunyai anak perusahaan di tingkat provinsi, kabupaten, dan desa. Holding dimaksud sudah terbentuk dan sedang menangani proyek percontohan di dua provinsi yaitu Jawa Barat dan Banten.
Repotnya, holding ini berhadapan dengan BUMDes-BUMDes yang kapasitasnya beragam. Ada yang sudah punya keuntungan higienis Rp15 miliar, ada yang labanya hanya Rp1 miliar, sementara ada juga yang pas-pasan. Ini membuat holding kesulitan untuk melaksanakan valuasi, Untuk mengatasi kondisi ini maka Menteri Eko munculkan solusi terobosan yaitu membentuk mitra-mitra BUMDes yang sahamnya 51% dimiliki oleh negara melalui holding sedangkan 49% dimiliki oleh desa.
Negara tetap akan mengontrol 51% supaya pengelolaan BUMDes bisa transparan dan tidak menjadi monopoli kelompok kepentingan. Sebab pengalaman selama ini ada juga BUMDes yang sukses ternyata pengurusnya ialah anggota keluarga dan kerabat kepala desa. Dengan adanya holding maka praktik semacam itu bisa dicegah dan mereka bisa magang di bawah holding untuk mempelajari administrasi BUMDes secara profesional sebagai korporasi.
Manfaat lainnya ialah pemerintah sanggup mennyalurkan semua subsidi melalui mitra-mitra BUMDes dan bank-bank yang mengelola holding akan lebih nyaman memperlihatkan kredit.
Bulan Maret 2017 ketika holding BUMDes mulai beroperasi untuk pilot project di Banten dan Jawa Barat, karenanya mulai tampak. Total jumlah BUMDes dikabarkan mencapai lebih dari 14.000 namun yang terdata di kementerian ini sudah lebih dari 22.000. Fokus kementerian ialah bukan kuantitas, melainkan kualitasnya supaya bisa mandiri.
Selain itu dari sisi keamanan dan pengembangan aset, akan lebih terjamin, contohnya solar cell, traktor, harvester, dan peralatan lainnya. BUMDes yang mempunyai 10 traktor contohnya sanggup dijaminkan ke bank untuk membeli 20 traktor lagi.
“Jadi dengan anggran negara yang terbatas BUMDes bisa seperti menerima kapital dalam bentuk barang yang bisa dijaminkan untuk membeli barang gres lagi kemudian disewakan kepada masyarakat. Begitu pula apabila diberi satu sarana air bersih, bisa di-leverage menjadi bebrapa sarana air bersih.”
Dengan demikian maka mitra-mitra BUMDes akan dengan gampang mencetak keuntungan Rp100 juta per tahun lantaran banyak sekali produk dagangannya menyerupai beras dan minyak goreng sanggup dijual di situ. Nanti distribusinya melalui koperasi-koperasi desa yang terfokus ke komoditas spesifik khas desa, contohnya koperasi transportasi, koperasi jagung, padi, dan lainnya. Pemerintah mensubsidi dengan memperlihatkan pupuk secara gratis.
Sinergi Kementerian dan Lembaga
Ini gres bicara wacana potensi desa, belum lagi wacana dampaknya bagi perekonomian di daerah perkotaan. Akan akan multiplier effects terhadap kota-kota, lantaran jaringan distribusi produk dari desa serta kebutuhan masyarakat perdesaan akan membuat lapangan kerja gres serta efek ekonominya secara berantai terus hingga ke kota-kota.
Maka Menteri Eko sangat yakin bahwa desa akan bisa menghasilkan perhiasan US$1,5 triliun kepada Produk Domestik Bruto nasional. Inilah sebabnya Presiden Jokowi yakin kegiatan Prudes dan Prukades bisa sukses.
Banyak kepala daerah mulai menerapkan kegiatan ini, contohnya di Halmahera Barat yang bupatinya melapor kepada Menteri Eko bahwa ia sudah membuka tempat 20.000 hektar untuk jagung, dan bibitnya didapat dari Menteri Pertanian.
Ke depan kegiatan yang didukung oleh 19 kementerian dan forum ini akan menjadi gerakan nasional dimana masing-masing daerah akan fokus ke produk-produk tertentu sesuai potensi terbesar di daerahnya.
Kementerian dan lembaga-lembaga dimaksud pun Tupoksi-nya berada di desa sehingga memudahkan implementasi kegiatan Prudes dan Prukades, ujar Menteri Eko, meyakinkan.
Dengan adanya sinergi dari 19 kementerian dan forum ini maka dana desa sebesar Rp60 triliun dari total transfer Rp560 triliun ke daerah itu bisa menjadi pelopor peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan.
Tapi, mungkinkah semua ini akan berjalan dengan baik dari sisi administrasi kebijakan pemerintah pusat?
Menteri Eko menjawabnya enteng: “Enaknya, Pak Jokowi itu kita gres ngomong sedikit, ia sudah menangkap maksudnya; apalagi lantaran ia juga berlatarbelakang pengusaha. Kaprikornus kita tak perlu bingung-bingung bicara. Dia cepat paham maksud kita; ia eksklusif panggil menteri-menteri lainnya untuk membantu Menteri Desa. Enaknya Pak Jokowi itu begitu.”
Mengingat bahwa strategi, struktur, sistem, serta skill untuk menjalankan kegiatan raksasa ini sudah dibangun, maka perlu adanya kesinambungan kebijakan pemerintah sentra sebagai jaminan konsistensi arah pengembangan tempat perdesaan terus ke depan.
Penyakit paling menyakitkan di negeri ini ialah ketika terjadi pergantian kepemimpinan nasional maka semua taktik dan kegiatan pembangunan yang baik kemudian ditinggalkan dan diganti lagi dengan taktik gres yang dimulai dari awal.
Pemerhati-pemerhati dilema ekonomi memperkirakan bahwa Presiden Jokowi perlu 10 tahun untuk menyelesaikan rencana besar yang sudah berjalan ini supaya manfaatnya bisa dirasakan oleh puluhan ribu desa yang dihuni begitu banyak penduduk Indonesia. [*]
Sumber: majalahleaders.com
Foto: Komunitas Ayo Bangun Desa