Membangun Desa Secara Inklusif
Permasalahan perdesaan lambat laun kian kompleks dan berlapis-lapis. Kemiskinan, ketergantungan, ketertinggalan, sempitnya lahan pertanian, rendahnya produktivitas, rendahnya kualitas sumber daya manusia, dan pengangguran tak kentara kiranya sudah menjadi duduk kasus khas perdesaan.
Membangun Desa Inklusif/Ilustrasi |
Permasalahan itu kemudian berkembang lagi dengan ketunakismaan (landlessness), menajamnya ketimpangan, melemahnya kohesi sosial, dan eskalasi bahaya peristiwa lingkungan. Bakal bertambah runyam jika, misalnya, korupsi ikut merambah tempat perdesaan bersamaan dengan mengalirnya sejumlah besar dana ke desa-desa.
Kemiskinan perdesaan itu sendiri tidaklah sesederhana ungkapannya alasannya yakni di dalamnya bisa tercakup gizi buruk; rumah tak layak huni; kurangnya jalan masuk terhadap layanan pendidikan, kesehatan, air bersih, dan sanitasi lingkungan.
Kompleksitas permasalahan perdesaan menyebabkan tidak ada satu pun pendekatan tunggal yang sanggup diklaim sebagai solusi paling mujarab. Kehadiran Dana Desa tak serta-merta bisa mengatasi aneka macam permasalahan perdesaan yang cenderung akumulatif, berkarat, dan telah berpuluh-puluh tahun lamanya.
Pendekatan inklusif
Boleh jadi diharapkan waktu cukup panjang dan aneka macam pendekatan untuk diintegrasikan dan disinergikan guna mengatasi duduk kasus perdesaan dan mereformasi desa-desa kita. Salah satunya yakni pendekatan inklusif. Pendekatan ini sanggup dilaksanakan secara simultan dengan pendekatan-pendekatan lainnya, termasuk di antaranya pendekatan teknologi dan pendekatan kewirausahaan sosial.
Melalui pendekatan inklusif, seluruh anggota komunitas desa, baik petani, nelayan, buruh tani, perajin, kaya, miskin, bahkan kelompok difabel, terlebih kaum perempuan, diberikan peluang yang sama untuk terlibat dan berpartisipasi dalam membangun desa, termasuk dalam pembangunan sosial dan pemberdayaan kelompok rentan, melalui suatu proses yang transparan, partisipatif, dan demokratis.
Proses itu dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 perihal Desa dikenal sebagai musyawarah desa. Para warga desa secara kolaboratif dan kolektif memilih nilai-nilai dan kebutuhan mereka sendiri serta mengartikulasikan tujuan dari program-program yang dikehendaki beserta cara-cara mencapainya.
Kemiskinan perdesaan itu sendiri tidaklah sesederhana ungkapannya alasannya yakni di dalamnya bisa tercakup gizi buruk; rumah tak layak huni; kurangnya jalan masuk terhadap layanan pendidikan, kesehatan, air bersih, dan sanitasi lingkungan.
Kompleksitas permasalahan perdesaan menyebabkan tidak ada satu pun pendekatan tunggal yang sanggup diklaim sebagai solusi paling mujarab. Kehadiran Dana Desa tak serta-merta bisa mengatasi aneka macam permasalahan perdesaan yang cenderung akumulatif, berkarat, dan telah berpuluh-puluh tahun lamanya.
Pendekatan inklusif
Boleh jadi diharapkan waktu cukup panjang dan aneka macam pendekatan untuk diintegrasikan dan disinergikan guna mengatasi duduk kasus perdesaan dan mereformasi desa-desa kita. Salah satunya yakni pendekatan inklusif. Pendekatan ini sanggup dilaksanakan secara simultan dengan pendekatan-pendekatan lainnya, termasuk di antaranya pendekatan teknologi dan pendekatan kewirausahaan sosial.
Melalui pendekatan inklusif, seluruh anggota komunitas desa, baik petani, nelayan, buruh tani, perajin, kaya, miskin, bahkan kelompok difabel, terlebih kaum perempuan, diberikan peluang yang sama untuk terlibat dan berpartisipasi dalam membangun desa, termasuk dalam pembangunan sosial dan pemberdayaan kelompok rentan, melalui suatu proses yang transparan, partisipatif, dan demokratis.
Proses itu dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 perihal Desa dikenal sebagai musyawarah desa. Para warga desa secara kolaboratif dan kolektif memilih nilai-nilai dan kebutuhan mereka sendiri serta mengartikulasikan tujuan dari program-program yang dikehendaki beserta cara-cara mencapainya.
Dengan pendekatan dan proses menyerupai itu, para warga dari kelompok rentan, yang selain miskin mungkin juga kurang berpendidikan serta kaum wanita desa, akan merasa lebih "dimanusiakan" dan dihargai sebagai sesama warga desa yang ikut memilih nasib desanya sendiri.
Partisipasi seluruh warga desa dengan didampingi dan difasilitasi oleh para hebat dan pemerintah desa, serta pemerintahan pada level di atasnya, akan mengawalisuatu proses pembangunan desa secara inklusif.
Pendekatan tersebut hendaknya juga diutamakan dalam pengelolaan Dana Desa untuk pembangunan desa yang sesuai dengan kebutuhan warga, pemberdayaan masyarakat, penerapan teknologi sempurna guna, upaya konservasi lingkungan, mitigasi peristiwa lingkungan, dan pengembangan pranata sosial-ekonomi desa, khususnya tubuh perjuangan milik desa (BUMDesa) dan koperasi berbasis warga perdesaan serta kelompok-kelompok swadaya masyarakat.
UU No 6/2014 telah memperlihatkan solusi bahwa desa bisa mendirikan BUMDesa cukup melalui musyawarah dan dikukuhkan dengan peraturan desa.
BUMDesa dan koperasi
Kelompok rentan perdesaan, khususnya petani kecil dan buruh tani, sangat mungkin tidak mempunyai jalan masuk untuk memperlihatkan donasi signifikan dalam penyertaan modal BUMDesa, sebagaimana kelompok elite desa dan pemerintah desa.
Akan tetapi, setidaknya mereka akan sanggup mendapatkan manfaat dalam bentuk harga produk dan rantai pasok yang lebih adil, biaya input dan biaya pemasaran yang lebih ekonomis, serta program-program derma sosial tertentu, bahkan tersedianya lapangan pekerjaan sejalan dengan berkembangnya BUMDesa tersebut.
UU No 6/2014 secara implisit menghendaki BUMDesa hadir sebagai forum kewirausahaan sosial perdesaan.
Selain itu, kelompok rentan perdesaan juga sanggup membangun wahana pemberdayaan dengan membentuk koperasi berbasis kelompok-kelompok swadaya. Sebagai catatan, tentu saja koperasi ini tidak menafikan penyertaan modal dari kelompok elite desa ataupun pemerintah desa.
Koperasi ini sanggup menggarap bidang-bidang perjuangan penyediaan bahan-bahan pokok dan layanan keuangan mikro, sedangkan BUMDesa mengelola sumber daya alam, layanan umum, dan penyediaan sarana produksi pertanian, serta penyaluran program-program derma dari pemerintah pusat, provinsi, atau kabupaten.
Bukan itu saja, kelompok rentan perdesaan, tak terkecuali perempuan, mempunyai peluang untuk memperoleh pekerjaan dan meningkatkan pendapatan dari proyek-proyek infrastruktur fisik perdesaan yang dilaksanakan setiap tahun secara swakelola dan gotong royong.
Dengan demikian, akanterbangun suatu contoh alokasi sumber daya dan distribusi pendapatan yang adil, saat kelompok elite desa akan memperoleh embel-embel pendapatan dari hasil "urun" modalnya di BUMDesa, sementara kelompok-kelompok rentan diberdayakan melalui koperasi, peluang pekerjaan dari berkembangnya BUMDesa, dan dari pelaksanaan proyek-proyek pembangunan infrastruktur fisik perdesaan.
Masih ada lagi manfaat lainnya, yakni terbukanya peluang-peluang perjuangan dengan dana bergulir dan layanan keuangan mikro serta program-program pemberdayaan masyarakat.
Sinergi antara BUMDesa yang berkarakter wirausaha sosial dan koperasi berbasis warga desayang berkarakter wirausaha kolektif, bersamaan dengan pemanfaatan Dana Desa secara efektif baik untuk pembangunan desa maupun pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan inklusif, dan disokong oleh pemerintahan desa dengan tata kelola yang baik, akan memperlihatkan jaminan terbebasnya desa-desa dari keterbelakangan dan kemiskinan serta terbangunnya desa-desa yang maju, mandiri, dan sejahtera.(*)
Oleh Bambang Ismawan, Pendiri dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina Swadaya.
Sumber: Kompas.com