Masril Koto: Membangun Jaringan Forum Keuangan Mikro Di Sumatera Barat
Masril Koto ialah social entrepreneur yang membidani kelahiran Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) Prima Tani di Sumetera Barat. Awalnya, Masril ingin membantu para petani untuk lebih memproduktifkan lahan pertaniannya. Kini, LKMA Prima Tani sudah mempunyai 500 unit yang tersebar di Sumatera Barat. Masril Koto menuturkan lika-liku pembentukan LKMA Prima Tani kepada Radito Wicaksono dari SWA. Inilah wawancaranya:
Bagaimana Anda mulai memberdayakan para petani di Sumatera Barat ini?
Untuk Bank Petani sendiri dimulai sekitar tahun 2007-an. Tapi semua tidak bermula dari situ saja. Usaha aku dalam memberdayakan masyarakat miskin, khususnya petani sudah dimulai semenjak awal. Saya terlahir di keluarga miskin. Bapak aku hanya kuli bangunan, ibu aku bertani. Bahkan aku berhenti sekolah ketika masuk ke kelas 4 SD. Saya keluar dari sekolah sebab aku kecewa dengan kebijakan yang mengharuskan siswa untuk membeli sepatu pramuka. Orang bau tanah aku tidak punya uang, jadi aku tidak sanggup beli. Untuk itu aku keluar saja.
Keluar dari sekolah aku coba untuk bantu-bantu orang bau tanah dengan bekerja apa saja, termasuk menjadi tukang pulung. Dari hasil memulung itu, ternyata aku berhasil mengumpulkan uang. Uang dari hasil memulung itu pun lantas aku belikan mesin jahit. Saya mencar ilmu menjahit dan mulai bantu-bantu menjahit di kampung. Kebetulan kampung aku dulu banyak tempat konveksi, jadi aku bantu-bantu jahit orang-orang yang punya perjuangan konveksi di kampung saya. Setelah itu, aku serahkan mesin jahit ke orang tua, supaya mereka sanggup ikut menjahit, tidak perlu bertani lagi. Saya bantu-bantu pasang kancing.
Apa yang menjadi pemicunya ketika itu?
Pada suatu waktu, keluarga aku termasuk aku pindah ke kampung lain, tepatnya ke Pasar Padang Luar. Di sana aku beralih profesi menjadi kuli angkut di pasar. Tapi ternyata dari aktivitas aku menjadi kuli ketika itu, aku sanggup bangkit rumah untuk orang tua, walaupun kecil ukurannya. Tidak usang sesudah itu, aku memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta, aku mendapat pekerjaan di percetakan, yang kebetulan dimiliki oleh orang Agam, kampung saya. Namun, beberapa tahun kemudian, di tahun 1998, pecahlah kerusuhan yang mengakibatkan banyak perjuangan tutup. Saya pun memutuskan untuk kembali pulang ke kampung saya.
Tiba di kampung, aku tidak mempunyai pekerjaan. Daripada diam, aku menyibukkan diri di banyak sekali macam organisasi kepemudaan, semacam Karang Taruna. Saya ingin menggerakan perjaka di kampung aku biar lebih aktif dengan berkumpul. Ketika di Jakarta, aku melihat ada olahraga yang memakai bola dan dimasukan ke dalam keranjang tinggi, yang gres aku ketahu ketika itu nama olahraga tersebut ialah bola basket.
Saya bikin tempat bermain olahraga menyerupai itu di kampung. Dan ternyata pemuda-pemuda disini menyukainya. Pemuda di kampung aku lebih suka dengan sesuatu yang gres dan berbeda, kalau yang biasa-biasa saja mereka tidak tertarik. Maka berkumpul lah pemuda-pemuda di kampung aku itu. Dari kumpul-kumpul tersebut, kami coba bikin aktivitas yang lebih positif lagi. Kami coba bereskan kampung kami yang sebelumnya terlihat tidak begitu terawat. Ternyata, kami berhasil membereskan kampung kami, dan membuatnya menjadi lebih higienis dan nyaman. Hal ini membuahkan apresiasi dari orang-orang bau tanah di sana.
Beres dari sana, aku memutuskan untuk kembali ke pasar, di mana aku pernah menjadi kuli di sana. Ketika itu aku gres menyadari ternyata banyak kuli di sana yang mempunyai keahlian lain, selain mengangkat-angkat barang. Ada yang sanggup menyetir kendaraan dan lain-lainnya. Saya pikir, kenapa mereka tidak menjadi tenaga hebat yang lain selain kuli. Ternyata, sesudah aku cari tahu, mereka terbentur dengan problem ijazah ketika melamar pekerjaan yang lebih tinggi.
Untuk itu, sebab aku sanggup mencicipi hal yang sama dengan mereka, sebab aku sama-sama miskin dan tidak mempunyai ijazah, maka aku coba bantu mereka.
Caranya bagaimana?
Caranya dengan mengumpulkan mereka dan aku bikin Sekolah Kejar Paket, bekerja sama dengan forum pengajaran di sana. Awalnya banyak buruh yang tertarik untuk ikut, tapi usang kelamaan semakin berkurang. Saya coba dengan cara lain, yaitu dengan menghadirkan guru-guru cantik, kuli-kuli itu pun kembali.
Di sana, aku juga menjadi siswanya. Walaupun sekolah tersebut aku yang bikin, dan aku juga ikut mengajar, aku juga menjadi murid di sana. Dan dari situlah balasannya aku mempunyai ijazah Paket A, untuk setara SMP, sama dengan kuli-kuli yang lain.
Saya kembali ke kampung dengan para perjaka di sana.Saya mencoba kembali untuk membentuk suatu kegiatan-kegiatan perjaka yang positif. Kami mencoba untuk berdagang dan lain-lain. Hasilnya pun ternyata tidak terlalu baik. Akhirnya, aku punya ilham untuk bikin ruko bersama teman-teman. Modalnya hanya dari minta dispensasi kebijakan ke toko material untuk memperkenankan mereka membeli materi material dengan cara bayar mundur. Ruko selesai dan ada yang menyewa, gres kami bayar ke material.
Dari sana, aku dan rekan-rekan diberi penghargaan sebagai perjaka yang berprestasi. Kami diberikan hadiah komputer dari Dinas Pendidikan Sumatera Barat berkat hasil kerja keras kami. Awalnya, pemuda-pemuda di kampung mencar ilmu memakai komputer tersebut. Hingga balasannya kami semua sanggup memakai komputer tersebut. Bahkan kami juga menerbitkan sebuah buletin kampung yang nantinya dikirim ke beberapa orang kampung kami yang sedang merantau.
Atas keberhasilan tersebut, kami pun dipercaya untuk menjadi pengurus pasar di lingkungan kami. Kami diangkat menjadi pengurus pasar atas persetujuan warga, tokoh masyarakat, para perantau, dan beberapa pengurus pasar yang lama. Ternyata banyak kepingan di pasar termasuk manajemennya yang perlu dibenahi. Saya coba keliling pasar-pasar di seluruh Sumatera Barat.
Beberapa waktu sesudah itu, aku memutuskan untuk berhenti dari pasar. Hal tersebut diperkuat sebab aku menikah dengan perempuan pujaan saya. Setelah menikah, sebab sesuai adat, aku harus ikut keluarga wanita. Maka aku hijrah ke keluarga istri aku di Baso. Baso ini populer sebagai kecamatan penghasil pisang di Sumatera Barat.
Namun ketika itu hampir seluruh ladang pisang di sana mengalami musibah. Pohon-pohon pisang di sana terjangkit penyakit yang mengakibatkan pohon tersebut menjadi mati. Alhasil, banyak lahan di sana yang terbengkalai, tidak ditanami apa-apa. Petani di sana pun galau untuk membuatkan ladang mereka. Akhirnya tak jarang dari mereka yang menjadi buruh tani di lahan orang lain.
Semenjak aku berada di Baso, aku lebih menentukan untuk menanam jahe dan ubi jalar.Awalnya aktivitas aku tersebut dianggap hal yang absurd oleh orang-orang di sana. Namun, sebab peristiwa alam yang menimpa landang pisang mereka, balasannya mereka pun turut menanam jahe dan ubi jalar di ladang mereka.
Ternyata sesudah itu, banyak petani di Baso yang beralih untuk bertanam ubi jalar, sebab ubi jalar lebih simpel ketimbang pisang dan jahe. Ubi jalar yang dihasilkan di kampung kami itupun ternyata cukup baik. Pemerintah pun melihat hal tersebut dan lantas memperlihatkan training kepada para petani di kampung kami bagaimana cara menanam ubi jalar.
Ketika sedang bertani tersebut, aku sering bertemu dan berkomunikasi dengan petani-petani lainnya. Dari hasil diskusi tersebut, aku mendapat keluhan-keluhan yang sama di antara petani-petani tersebut. Mereka selalu mengeluhkan permasalahan ihwal modal. Mereka ingin memperluas kebun mereka dan meningkatkan hasil panen mereka, namun terkendala di urusan modal.
Saya coba bantu bikin koperasi, namun ditolak mereka sebab sebagian besar dari mereka sudah tidak percaya lagi dengan koperasi. Mereka menganggap koperasi hanya menguntungkan para pengurusnya saja. Hanya ketua, wakil, sekretaris, dan bendahara saja yang akan mendapat keuntungan.
Saya coba pikir-pikir lagi, apa yang sanggup bikin para petani percaya dengan lembaga-lembaga semacam itu. Saya terpikir untuk membangun sebuah bank khusus bagi petani. Alasannya sebab banyak petani yang percaya dengan sistem bank, namun mereka tidak berani ke bank. Bagi mereka, bank hanya diperuntukan bagi orang-orang yang rapi saja. Ditambah lagi, mereka tidak ingin menemukan ketentuan-ketentuan yang rumit dari bank.
Dari situ, aku bertekad untuk menciptakan bank. Langkah awal, aku berusaha mencari isu sebanyak-banyaknya bagaimana cara untuk menciptakan bank. Saya pergi ke banyak sekali macam bank yang ada di Sumatera Barat. Saya tiba ke banyak sekali macam seminar ihwal perbankan. Padahal ketika itu aku tidak mempunyai biaya yang banyak untuk mencari isu mengenai perbankan ini. Benar-benar ketika itu aku dan beberapa rekan-rekan saya, hanya bermodalkan semangat.
Pengalaman-pengalaman jelek sempat aku temui. Mulai dari kondisi perjalanan ke kota yang cukup jauh dan sulit, kehabisan uang, kena tilang, hingga dibohongi oleh pihak dari salah satu bank. Namun, semua terbayarkan ketika aku bertemu dengan orang dari Bank Indonesia di sebuah seminar yang diadakan oleh Bank Indonesia. Saya bertemu dengan Pak Yiyuk Herlambang, dia banyak kasih pinjaman isu ke aku bagaiamana cara menciptakan bank. Selain itu, ada Pak Joni dari Dinas Pertanian Sumatera Barat yang turut membantu aku membentuk sebuah bank tani. Dari situlah balasannya terbentuk sebuah forum keuangan bagi para petani di kampung kami.
Kami semua coba membuatkan forum keuangan ini. Hingga balasannya keluarlah sistem saham di forum keuangan kami tersebut. Bahkan, ketika awal, banyak saham yang terjual, hingga menyentuh angka Rp 15.000.000. Ketika itu harga saham per lembarnya ialah Rp 100.000. Meski begitu, ada beberapa petani yang membeli saham tersebut dengan cara menyicil. Hingga lama-kelamaan, secara resmi forum keuangan ini berdiri.
Pola aktivitas apa yang dipilih bagaimana referensi pemberdayaan masyarakatnya?
Walaupun apa yang aku dan kawan-kawan bentuk ini berjulukan forum keuangan, namun secara prakteknya, forum ini lebih sempurna disebut sebagai bank. Hanya sebab terbentur oleh ketentuan dari Bank Indonesia bahwa untuk membentuk sebuah bank harus ada data di Bank Indonesia, maka forum ini pun dinamakan menjadi Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) Prima Tani. Lembaga ini pun sahamnya dimiliki oleh para petani di sana. Yang mengelolanya ialah bawah umur muda, di mana sebagian besar dari anak muda tersebut ialah putra-putri dari petani di sana.
Di bank tani ini, ada bermacam-macam produk tabungan atau pinjaman yang berbasis sesuai dengan kebutuhan eksklusif para petani secara spesifik, menyerupai tabungan ibu hamil, tabungan pajak motor untuk pengojek, dan tabungan pendidikan anak, tabungan untuk persiapan pernikahan, dan lain-lain.
Sistem control yang diterapkan oleh LKMA ini cukup unik, sebab diadaptasi dengan kearifan lokal yang ada di tempat LKMA masing-masing. Ada yang memakai Dato atau orang yang dituakan di kampung untuk dijadikan jaminan, hingga ada yang menerapkan pengumuman di masjid dan seluruh kampung bagi mereka yang melanggar perjanjian dengan LKMA. Alhamdulillah, hingga sajauh ini belum ada permasalahan dalam hal kontrol pinjaman dari LKMA.
Bagaimana liku-liku pemberdayaan? Tantangan apa saja yang dihadapi ketika melaksanakan pemberdayaan?
Ada beberapa hal yang cukup sulit bagi aku dalam membuatkan LKMA ini. Pertama, ialah kondisi aku ketika itu. Saya sudah punya keluarga ketika itu. Kondisi keluarga terutama perekonomian keluarga harus aku pikirkan. Saat itu, kondisi ekonomi aku dan keluarga tidak sanggup dibilang baik, bahkan sanggup dikatakan sedang goyah. Kemudian, aku harus sanggup membagi waktu dengan keluarga. Tapi aku selalu berusaha untuk meyakinkan istri aku terutama, untuk sanggup bersabar.
Hal sulit berikutnya adalah, meyakinkan para petani biar percaya dengan forum keuangan semacam ini. Tidak simpel meyakinkan orang Minang. Ada yang harus pakai langgar dulu, ada yang saling curiga. Tapi, lagi-lagi, aku coba untuk sabar. Saya berusaha untuk meyakinkan mereka lebih dalam lagi dan balasannya mereka pun percaya terhadap forum keuangan ini.
Kemudian hal sulit lainnya ialah pekerjaan ini pekerjaan yang penuh rjsiko. Saya pergi ke mana-mana naik motor. Padahal jarak antar satu tempat ke tempat lainnya di sini cukup jauh dan menantang. Tapi, lagi-lagi, kembali ke awal, aku harus bersabar dalam menghadapi ini semua. Tidak cepat menyerah, maka hasilnya pun akan sesuai dengan yang diharapkan.
Hasilnya menyerupai apa, terutama kalau dibandingkan dengan kondisi pada ketika aktivitas ini dimulai dan kondisi ketika ini? Kemajuan apa saja yang telah diperoleh?
Dulu, banyak lahan yang tidak tergarap oleh para petani di sini. Bahkan ada beberapa kepingan yang cenderung terbengkalai. Namun sekarang, hampir semua lahan di sini dipakai untuk bertani.
Petani-petani di sini pun ketika ini sudah mencicipi laba dengan memakai fasilitas-fasilitas di bank tani ini. Setiap petani kini sudah sanggup membuatkan lahan yang mereka garap. Selain itu, bawah umur muda di kampung-kampung, kini ini menjadi lebih aktif dengan bekerja di LKMA. Mereka pun bekerja layaknya para pekerja bank, dengan pakaian rapi.
Saat ini LKMA Prima Tani sudah mempunyai 550 unit di seluruh wilayah Sumatera Barat, dengan total aset mencapai Rp 250 miliar. Seluruh unit LKMA telah mempekerjakan 1.500 bawah umur petani di kampung-kampung di Sumatera Barat. Mereka tidak mempunyai sistem honor dalam bekerja di sana. Namun, sesudah 6 bulan bekerja, mereka sanggup menentukan honor mereka sendiri. Caranya? Dengan mencari nasabah sebanyak-banyaknya.
Apa sasaran dan rencana ke depan untuk semakin meningkatkan pemberdayaan ini?
Saya menargetkan unit LKMA bertambah, setidaknya di wilayah Sumatera Barat. Yang ketika ini ada 550 unit, aku ingin menjadi 1.100 unit. Saya juga menargetkan para petani dan unit di sini menjadi naik tingkat menjadi lebih besar. Dengan cara membentuk sebuah konsorsium yang sahamnya berasal dari unit-unit LKMA di banyak sekali tempat di Sumatera Barat.
Saya juga ingin mempunyai jasa keuangan di sektor riil, terutama dengan menciptakan sebuah “Bulog” sendiri. Kemudian, kami ingin punya perusahaan sawah. Dengan jasa keuangan ini pula, kami ingin menjadi fasilitator pinjaman ke pihak-pihak ketiga. Saya juga ingin mengadakan produk asuransi dalam jasa keuangan ini. Intinya, aku ingin semua sawah dan ladang di sini, yang tidak tergarap menjadi tergarap.
Belum lagi beberapa rencana CSR kami yang mengarah ke bidang pendidikan petani. Kami ingin meningkatkan kapasitas para pemilik dan pengelola LKMA dengan mengadakan pelatihan-pelatihan rutin untuk meningkatkan kapasitas mereka.
Seperti apa governance dari aktivitas ini? Bagaimana bentuk pertanggungjawaban dari dana-dana yang masuk? Bagaimana laporan keuangan aktivitas ini? Siapa yang mengontrol?
Semua yang mengelola LKMA ini ialah bawah umur petani, di mana orang bau tanah mereka justru menjadi pemilik saham di sana. Kaprikornus mereka bertanggung jawab kepada pemilik saham yang tidak lain dan tidak bukan ialah orang bau tanah mereka sendiri. Layaknya perusahaan-perusahaan pada umumnya, di sini pun ada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). (Didin Abidin Mas’ud)
Masril Koto, Pendiri Bank Tani dan Lembaga Keuangan Mikro |
Untuk Bank Petani sendiri dimulai sekitar tahun 2007-an. Tapi semua tidak bermula dari situ saja. Usaha aku dalam memberdayakan masyarakat miskin, khususnya petani sudah dimulai semenjak awal. Saya terlahir di keluarga miskin. Bapak aku hanya kuli bangunan, ibu aku bertani. Bahkan aku berhenti sekolah ketika masuk ke kelas 4 SD. Saya keluar dari sekolah sebab aku kecewa dengan kebijakan yang mengharuskan siswa untuk membeli sepatu pramuka. Orang bau tanah aku tidak punya uang, jadi aku tidak sanggup beli. Untuk itu aku keluar saja.
Keluar dari sekolah aku coba untuk bantu-bantu orang bau tanah dengan bekerja apa saja, termasuk menjadi tukang pulung. Dari hasil memulung itu, ternyata aku berhasil mengumpulkan uang. Uang dari hasil memulung itu pun lantas aku belikan mesin jahit. Saya mencar ilmu menjahit dan mulai bantu-bantu menjahit di kampung. Kebetulan kampung aku dulu banyak tempat konveksi, jadi aku bantu-bantu jahit orang-orang yang punya perjuangan konveksi di kampung saya. Setelah itu, aku serahkan mesin jahit ke orang tua, supaya mereka sanggup ikut menjahit, tidak perlu bertani lagi. Saya bantu-bantu pasang kancing.
Apa yang menjadi pemicunya ketika itu?
Pada suatu waktu, keluarga aku termasuk aku pindah ke kampung lain, tepatnya ke Pasar Padang Luar. Di sana aku beralih profesi menjadi kuli angkut di pasar. Tapi ternyata dari aktivitas aku menjadi kuli ketika itu, aku sanggup bangkit rumah untuk orang tua, walaupun kecil ukurannya. Tidak usang sesudah itu, aku memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta, aku mendapat pekerjaan di percetakan, yang kebetulan dimiliki oleh orang Agam, kampung saya. Namun, beberapa tahun kemudian, di tahun 1998, pecahlah kerusuhan yang mengakibatkan banyak perjuangan tutup. Saya pun memutuskan untuk kembali pulang ke kampung saya.
Tiba di kampung, aku tidak mempunyai pekerjaan. Daripada diam, aku menyibukkan diri di banyak sekali macam organisasi kepemudaan, semacam Karang Taruna. Saya ingin menggerakan perjaka di kampung aku biar lebih aktif dengan berkumpul. Ketika di Jakarta, aku melihat ada olahraga yang memakai bola dan dimasukan ke dalam keranjang tinggi, yang gres aku ketahu ketika itu nama olahraga tersebut ialah bola basket.
Saya bikin tempat bermain olahraga menyerupai itu di kampung. Dan ternyata pemuda-pemuda disini menyukainya. Pemuda di kampung aku lebih suka dengan sesuatu yang gres dan berbeda, kalau yang biasa-biasa saja mereka tidak tertarik. Maka berkumpul lah pemuda-pemuda di kampung aku itu. Dari kumpul-kumpul tersebut, kami coba bikin aktivitas yang lebih positif lagi. Kami coba bereskan kampung kami yang sebelumnya terlihat tidak begitu terawat. Ternyata, kami berhasil membereskan kampung kami, dan membuatnya menjadi lebih higienis dan nyaman. Hal ini membuahkan apresiasi dari orang-orang bau tanah di sana.
Beres dari sana, aku memutuskan untuk kembali ke pasar, di mana aku pernah menjadi kuli di sana. Ketika itu aku gres menyadari ternyata banyak kuli di sana yang mempunyai keahlian lain, selain mengangkat-angkat barang. Ada yang sanggup menyetir kendaraan dan lain-lainnya. Saya pikir, kenapa mereka tidak menjadi tenaga hebat yang lain selain kuli. Ternyata, sesudah aku cari tahu, mereka terbentur dengan problem ijazah ketika melamar pekerjaan yang lebih tinggi.
Untuk itu, sebab aku sanggup mencicipi hal yang sama dengan mereka, sebab aku sama-sama miskin dan tidak mempunyai ijazah, maka aku coba bantu mereka.
Caranya bagaimana?
Caranya dengan mengumpulkan mereka dan aku bikin Sekolah Kejar Paket, bekerja sama dengan forum pengajaran di sana. Awalnya banyak buruh yang tertarik untuk ikut, tapi usang kelamaan semakin berkurang. Saya coba dengan cara lain, yaitu dengan menghadirkan guru-guru cantik, kuli-kuli itu pun kembali.
Di sana, aku juga menjadi siswanya. Walaupun sekolah tersebut aku yang bikin, dan aku juga ikut mengajar, aku juga menjadi murid di sana. Dan dari situlah balasannya aku mempunyai ijazah Paket A, untuk setara SMP, sama dengan kuli-kuli yang lain.
Saya kembali ke kampung dengan para perjaka di sana.Saya mencoba kembali untuk membentuk suatu kegiatan-kegiatan perjaka yang positif. Kami mencoba untuk berdagang dan lain-lain. Hasilnya pun ternyata tidak terlalu baik. Akhirnya, aku punya ilham untuk bikin ruko bersama teman-teman. Modalnya hanya dari minta dispensasi kebijakan ke toko material untuk memperkenankan mereka membeli materi material dengan cara bayar mundur. Ruko selesai dan ada yang menyewa, gres kami bayar ke material.
Dari sana, aku dan rekan-rekan diberi penghargaan sebagai perjaka yang berprestasi. Kami diberikan hadiah komputer dari Dinas Pendidikan Sumatera Barat berkat hasil kerja keras kami. Awalnya, pemuda-pemuda di kampung mencar ilmu memakai komputer tersebut. Hingga balasannya kami semua sanggup memakai komputer tersebut. Bahkan kami juga menerbitkan sebuah buletin kampung yang nantinya dikirim ke beberapa orang kampung kami yang sedang merantau.
Atas keberhasilan tersebut, kami pun dipercaya untuk menjadi pengurus pasar di lingkungan kami. Kami diangkat menjadi pengurus pasar atas persetujuan warga, tokoh masyarakat, para perantau, dan beberapa pengurus pasar yang lama. Ternyata banyak kepingan di pasar termasuk manajemennya yang perlu dibenahi. Saya coba keliling pasar-pasar di seluruh Sumatera Barat.
Beberapa waktu sesudah itu, aku memutuskan untuk berhenti dari pasar. Hal tersebut diperkuat sebab aku menikah dengan perempuan pujaan saya. Setelah menikah, sebab sesuai adat, aku harus ikut keluarga wanita. Maka aku hijrah ke keluarga istri aku di Baso. Baso ini populer sebagai kecamatan penghasil pisang di Sumatera Barat.
Namun ketika itu hampir seluruh ladang pisang di sana mengalami musibah. Pohon-pohon pisang di sana terjangkit penyakit yang mengakibatkan pohon tersebut menjadi mati. Alhasil, banyak lahan di sana yang terbengkalai, tidak ditanami apa-apa. Petani di sana pun galau untuk membuatkan ladang mereka. Akhirnya tak jarang dari mereka yang menjadi buruh tani di lahan orang lain.
Semenjak aku berada di Baso, aku lebih menentukan untuk menanam jahe dan ubi jalar.Awalnya aktivitas aku tersebut dianggap hal yang absurd oleh orang-orang di sana. Namun, sebab peristiwa alam yang menimpa landang pisang mereka, balasannya mereka pun turut menanam jahe dan ubi jalar di ladang mereka.
Ternyata sesudah itu, banyak petani di Baso yang beralih untuk bertanam ubi jalar, sebab ubi jalar lebih simpel ketimbang pisang dan jahe. Ubi jalar yang dihasilkan di kampung kami itupun ternyata cukup baik. Pemerintah pun melihat hal tersebut dan lantas memperlihatkan training kepada para petani di kampung kami bagaimana cara menanam ubi jalar.
Ketika sedang bertani tersebut, aku sering bertemu dan berkomunikasi dengan petani-petani lainnya. Dari hasil diskusi tersebut, aku mendapat keluhan-keluhan yang sama di antara petani-petani tersebut. Mereka selalu mengeluhkan permasalahan ihwal modal. Mereka ingin memperluas kebun mereka dan meningkatkan hasil panen mereka, namun terkendala di urusan modal.
Saya coba bantu bikin koperasi, namun ditolak mereka sebab sebagian besar dari mereka sudah tidak percaya lagi dengan koperasi. Mereka menganggap koperasi hanya menguntungkan para pengurusnya saja. Hanya ketua, wakil, sekretaris, dan bendahara saja yang akan mendapat keuntungan.
Saya coba pikir-pikir lagi, apa yang sanggup bikin para petani percaya dengan lembaga-lembaga semacam itu. Saya terpikir untuk membangun sebuah bank khusus bagi petani. Alasannya sebab banyak petani yang percaya dengan sistem bank, namun mereka tidak berani ke bank. Bagi mereka, bank hanya diperuntukan bagi orang-orang yang rapi saja. Ditambah lagi, mereka tidak ingin menemukan ketentuan-ketentuan yang rumit dari bank.
Dari situ, aku bertekad untuk menciptakan bank. Langkah awal, aku berusaha mencari isu sebanyak-banyaknya bagaimana cara untuk menciptakan bank. Saya pergi ke banyak sekali macam bank yang ada di Sumatera Barat. Saya tiba ke banyak sekali macam seminar ihwal perbankan. Padahal ketika itu aku tidak mempunyai biaya yang banyak untuk mencari isu mengenai perbankan ini. Benar-benar ketika itu aku dan beberapa rekan-rekan saya, hanya bermodalkan semangat.
Pengalaman-pengalaman jelek sempat aku temui. Mulai dari kondisi perjalanan ke kota yang cukup jauh dan sulit, kehabisan uang, kena tilang, hingga dibohongi oleh pihak dari salah satu bank. Namun, semua terbayarkan ketika aku bertemu dengan orang dari Bank Indonesia di sebuah seminar yang diadakan oleh Bank Indonesia. Saya bertemu dengan Pak Yiyuk Herlambang, dia banyak kasih pinjaman isu ke aku bagaiamana cara menciptakan bank. Selain itu, ada Pak Joni dari Dinas Pertanian Sumatera Barat yang turut membantu aku membentuk sebuah bank tani. Dari situlah balasannya terbentuk sebuah forum keuangan bagi para petani di kampung kami.
Kami semua coba membuatkan forum keuangan ini. Hingga balasannya keluarlah sistem saham di forum keuangan kami tersebut. Bahkan, ketika awal, banyak saham yang terjual, hingga menyentuh angka Rp 15.000.000. Ketika itu harga saham per lembarnya ialah Rp 100.000. Meski begitu, ada beberapa petani yang membeli saham tersebut dengan cara menyicil. Hingga lama-kelamaan, secara resmi forum keuangan ini berdiri.
Pola aktivitas apa yang dipilih bagaimana referensi pemberdayaan masyarakatnya?
Walaupun apa yang aku dan kawan-kawan bentuk ini berjulukan forum keuangan, namun secara prakteknya, forum ini lebih sempurna disebut sebagai bank. Hanya sebab terbentur oleh ketentuan dari Bank Indonesia bahwa untuk membentuk sebuah bank harus ada data di Bank Indonesia, maka forum ini pun dinamakan menjadi Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) Prima Tani. Lembaga ini pun sahamnya dimiliki oleh para petani di sana. Yang mengelolanya ialah bawah umur muda, di mana sebagian besar dari anak muda tersebut ialah putra-putri dari petani di sana.
Di bank tani ini, ada bermacam-macam produk tabungan atau pinjaman yang berbasis sesuai dengan kebutuhan eksklusif para petani secara spesifik, menyerupai tabungan ibu hamil, tabungan pajak motor untuk pengojek, dan tabungan pendidikan anak, tabungan untuk persiapan pernikahan, dan lain-lain.
Sistem control yang diterapkan oleh LKMA ini cukup unik, sebab diadaptasi dengan kearifan lokal yang ada di tempat LKMA masing-masing. Ada yang memakai Dato atau orang yang dituakan di kampung untuk dijadikan jaminan, hingga ada yang menerapkan pengumuman di masjid dan seluruh kampung bagi mereka yang melanggar perjanjian dengan LKMA. Alhamdulillah, hingga sajauh ini belum ada permasalahan dalam hal kontrol pinjaman dari LKMA.
Bagaimana liku-liku pemberdayaan? Tantangan apa saja yang dihadapi ketika melaksanakan pemberdayaan?
Ada beberapa hal yang cukup sulit bagi aku dalam membuatkan LKMA ini. Pertama, ialah kondisi aku ketika itu. Saya sudah punya keluarga ketika itu. Kondisi keluarga terutama perekonomian keluarga harus aku pikirkan. Saat itu, kondisi ekonomi aku dan keluarga tidak sanggup dibilang baik, bahkan sanggup dikatakan sedang goyah. Kemudian, aku harus sanggup membagi waktu dengan keluarga. Tapi aku selalu berusaha untuk meyakinkan istri aku terutama, untuk sanggup bersabar.
Hal sulit berikutnya adalah, meyakinkan para petani biar percaya dengan forum keuangan semacam ini. Tidak simpel meyakinkan orang Minang. Ada yang harus pakai langgar dulu, ada yang saling curiga. Tapi, lagi-lagi, aku coba untuk sabar. Saya berusaha untuk meyakinkan mereka lebih dalam lagi dan balasannya mereka pun percaya terhadap forum keuangan ini.
Kemudian hal sulit lainnya ialah pekerjaan ini pekerjaan yang penuh rjsiko. Saya pergi ke mana-mana naik motor. Padahal jarak antar satu tempat ke tempat lainnya di sini cukup jauh dan menantang. Tapi, lagi-lagi, kembali ke awal, aku harus bersabar dalam menghadapi ini semua. Tidak cepat menyerah, maka hasilnya pun akan sesuai dengan yang diharapkan.
Hasilnya menyerupai apa, terutama kalau dibandingkan dengan kondisi pada ketika aktivitas ini dimulai dan kondisi ketika ini? Kemajuan apa saja yang telah diperoleh?
Dulu, banyak lahan yang tidak tergarap oleh para petani di sini. Bahkan ada beberapa kepingan yang cenderung terbengkalai. Namun sekarang, hampir semua lahan di sini dipakai untuk bertani.
Petani-petani di sini pun ketika ini sudah mencicipi laba dengan memakai fasilitas-fasilitas di bank tani ini. Setiap petani kini sudah sanggup membuatkan lahan yang mereka garap. Selain itu, bawah umur muda di kampung-kampung, kini ini menjadi lebih aktif dengan bekerja di LKMA. Mereka pun bekerja layaknya para pekerja bank, dengan pakaian rapi.
Saat ini LKMA Prima Tani sudah mempunyai 550 unit di seluruh wilayah Sumatera Barat, dengan total aset mencapai Rp 250 miliar. Seluruh unit LKMA telah mempekerjakan 1.500 bawah umur petani di kampung-kampung di Sumatera Barat. Mereka tidak mempunyai sistem honor dalam bekerja di sana. Namun, sesudah 6 bulan bekerja, mereka sanggup menentukan honor mereka sendiri. Caranya? Dengan mencari nasabah sebanyak-banyaknya.
Apa sasaran dan rencana ke depan untuk semakin meningkatkan pemberdayaan ini?
Saya menargetkan unit LKMA bertambah, setidaknya di wilayah Sumatera Barat. Yang ketika ini ada 550 unit, aku ingin menjadi 1.100 unit. Saya juga menargetkan para petani dan unit di sini menjadi naik tingkat menjadi lebih besar. Dengan cara membentuk sebuah konsorsium yang sahamnya berasal dari unit-unit LKMA di banyak sekali tempat di Sumatera Barat.
Saya juga ingin mempunyai jasa keuangan di sektor riil, terutama dengan menciptakan sebuah “Bulog” sendiri. Kemudian, kami ingin punya perusahaan sawah. Dengan jasa keuangan ini pula, kami ingin menjadi fasilitator pinjaman ke pihak-pihak ketiga. Saya juga ingin mengadakan produk asuransi dalam jasa keuangan ini. Intinya, aku ingin semua sawah dan ladang di sini, yang tidak tergarap menjadi tergarap.
Belum lagi beberapa rencana CSR kami yang mengarah ke bidang pendidikan petani. Kami ingin meningkatkan kapasitas para pemilik dan pengelola LKMA dengan mengadakan pelatihan-pelatihan rutin untuk meningkatkan kapasitas mereka.
Seperti apa governance dari aktivitas ini? Bagaimana bentuk pertanggungjawaban dari dana-dana yang masuk? Bagaimana laporan keuangan aktivitas ini? Siapa yang mengontrol?
Semua yang mengelola LKMA ini ialah bawah umur petani, di mana orang bau tanah mereka justru menjadi pemilik saham di sana. Kaprikornus mereka bertanggung jawab kepada pemilik saham yang tidak lain dan tidak bukan ialah orang bau tanah mereka sendiri. Layaknya perusahaan-perusahaan pada umumnya, di sini pun ada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). (Didin Abidin Mas’ud)
Sumber: www.swa.co.id