Inspirasi Sukses Sang Anak Desa
“Orang melihat kesuksesan saya hanya satu persen. Tapi, mereka tidak melihat 99% kegagalan saya”
17 November 1906, satu keluarga di desa terpencil dikaruniai anak laki-laki. Anak tersebut diberi nama Soichiro. Soichiro kecil merupakan anak sulung dari 9 bersaudara, tetapi hanya beliau dan 3 saudaranya yang bertahan hidup hingga dewasa, sedangkan saudara-saudaranya meninggal alasannya kekurangan gizi, obat dan hidup di lingkungan yang kumuh.
Saat kecil, Soichiro sudah suka membantu ayahnya di bengkel sepeda. Kala itu belum ada sepeda motor menyerupai sekarang. Satu-satunya mesin yang Soichiro tahu yakni mesin penumbuk padi yang letaknya beberapa kilometer dari desanya. Bahkan dengung dari mesin itu sendiri sudah membuat Soichiro kecil terpesona.
Nilai Soichiro di sekolah tidaklah bagus. Dia banyak mengulang pelajaran, tetapi ketika kelas V, Soichiro cukup menonjol di bidang sains. Pada ketika itu, mulai banyak bermunculan kendaraan beroda empat dan setiap melihat mobil, Soichiro lupa diri dan menghabiskan waktu untuk berlari mengejar mobil-mobil tersebut. Dari sinilah timbul niat Soichiro untuk membuat kendaraan beroda empat sendiri suatu saat. Soichiro hanya mengalami duduk di dingklik sekolah selama sepuluh tahun. Sesudah lulus SD, anak bandel itu dikirim ke sekolah menengah pertama yang tidak jauh dari kediamannya. Lulus dari sekolah menengah itu ia pulang ke rumah ayahnya.
Di usia 8 tahun, ia mengayuh sepeda sejauh 10 mil, hanya ingin menyaksikan pesawat terbang. Ternyata, minatnya pada mesin, tidak sia-sia. Ketika usianya 12 tahun, Soichiro berhasil membuat sebuah sepeda pancal dengan model rem kaki. Tapi, benaknya tidak bermimpi menjadi usahawan otomotif. Ia sadar berasal dari keluarga miskin. Apalagi fisiknya lemah, tidak tampan, sehingga membuatnya rendah diri. Di usia 15 tahun, Soichiro hijrah ke Jepang, bekerja di Hart Shokai Company. Bosnya, Saka Kibara, sangat bahagia melihat cara kerjanya. Soichiro teliti dan cekatan dalam soal mesin. Setiap bunyi yang mencurigakan, setiap oli yang bocor, tidak luput dari perhatiannya. Enam tahun bekerja disitu, menambah wawasannya perihal permesinan. Akhirnya, pada usia 21 tahun, bosnya mengusulkan membuka suatu kantor cabang di Hamamatsu. Tawaran ini tidak ditampiknya.
Di Hamamatsu prestasi kerjanya tetap membaik. Ia selalu mendapatkan reparasi yang ditolak oleh bengkel lain. Kerjanya pun cepat memperbaiki kendaraan beroda empat pelanggan sehingga berjalan kembali. Karena itu, jam kerjanya larut malam, dan terkadang hingga subuh. Otak jeniusnya tetap kreatif. Pada zaman itu, jari-jari kendaraan beroda empat terbuat dari kayu, hingga tidak baik meredam goncangan. Ia punya gagasan untuk menggantikan ruji-ruji itu dengan logam. Hasilnya luarbiasa. Ruji-ruji logamnya laris keras, dan diekspor ke seluruh dunia. Di usia 30, Soichiro menandatangani patennya yang pertama.
Setelah membuat ruji, Soichiro ingin melepaskan diri dari bosnya, membuat perjuangan bengkel sendiri. Ia mulai berpikir, seorang hebat apa yang dipilih? Otaknya tertuju kepada pembuatan Ring Pinston, yang dihasilkan oleh bengkelnya sendiri pada tahun 1938. Sayang, karyanya itu ditolak oleh Toyota, alasannya dianggap tidak memenuhi standar. Ring buatannya tidak lentur, dan tidak laris dijual. Ia ingat reaksi teman-temannya terhadap kegagalan itu. Mereka menyesalkan dirinya keluar dari bengkel.
Karena kegagalan itu, Soichiro jatuh sakit cukup serius. Dua bulan kemudian, kesehatannya pulih kembali. Ia kembali memimpin bengkelnya. Tapi, soal Ring Pinston itu, belum juga ada solusinya. Demi mencari jawaban, ia kuliah lagi untuk menambah pengetahuannya perihal mesin. Siang hari, sehabis pulang kuliah – pagi hari, ia pribadi ke bengkel.
Berkat kerja kerasnya, desain Ring Pinston-nya diterima. Pihak Toyota memperlihatkan kontrak, sehingga Honda berniat mendirikan pabrik. Eh malangnya, niatan itu kandas. Jepang, alasannya siap perang, tidak memperlihatkan dana. Ia pun tidak kehabisan logika mengumpulkan modal dari sekelompok orang untuk mendirikan pabrik. Lagi-lagi peristiwa alam datang. Setelah perang meletus, pabriknya terbakar dua kali. Namun, Soichiro tidak patah semangat.
Ia bergegas mengumpulkan karyawannya. Mereka diperintahkan mengambil sisa kaleng bensol yang dibuang oleh kapal Amerika Serikat, dipakai sebagai materi mendirikan pabrik. Tanpa diduga, gempa bumi meletus menghancurkan pabriknya, sehingga diputuskan menjual pabrik Ring Pinstonnya ke Toyota. Setelah itu, Soichiro mencoba beberapa perjuangan lain. Sayang semuanya gagal. Akhirnya, tahun 1947, sehabis perang Jepang kekurangan bensin.
Di sini kondisi ekonomi Jepang porak-poranda. Sampai-sampai Soichiro tidak sanggup menjual mobilnya untuk membeli makanan bagi keluarganya. Dalam keadaan terdesak, ia memasang motor kecil pada sepeda. Siapa sangka, “sepeda motor” itu diminati oleh para tetangga. Mereka berbondong-bondong memesan, sehingga Soichiro kehabisan stok. Disinilah, Soichiro kembali mendirikan pabrik motor. Sejak itu, kesuksesan tak pernah lepas dari tangannya. Nama sepeda motornya memakai nama belakang Soichiro, yaitu HONDA.
Bagi Soichiro Honda, janganlah melihat keberhasilan dalam menggeluti industri otomotif. Tapi lihatlah kegagalan-kegagalan yang dialaminya. “Orang melihat kesuksesan saya hanya satu persen. Tapi, mereka tidak melihat 99% kegagalan saya”, tuturnya. Ia memperlihatkan petuah ketika Anda mengalami kegagalan, yaitu mulailah bermimpi, mimpikanlah mimpi baru. Kisah Honda ini, yakni rujukan bahwa Sukses itu sanggup diraih seseorang dengan modal seadanya, tidak akil di sekolah, ataupun berasal dari keluarga miskin.
Itulah sebuah cerita yang kami sadur dari kalbis. Semoga bermanfaat.