Nasib Koperasi Pascakelahiran Bumdes

Koperasi sudah mencatatkan sejarah panjang dan mengawal masyarakat Indonesia sebagai salah satu berdiri forum perekonomian yang paling bersahabat dengan rakyat.

Koperasi sudah mencatatkan sejarah panjang dan mengawal masyarakat Indonesia sebagai salah Nasib Koperasi Pascakelahiran BUMDes

Namun, kiprahnya kini akan semakin dipertanyakan sesudah lahirnya Peraturan Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi yang terkait dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

BUMDes ditegaskan sebagai sesuatu yang inklusif dan berbeda dengan koperasi, sehingga banyak yang mengharapkan keberadaannya lebih lantaran menginginkan sesuatu yang gres disamping juga lantaran jenuh pada koperasi.

Dalam praktiknya Peraturan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Permen) Nomor 4 Tahun 2015 wacana Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) justru dikecam lantaran tidak memasukkan koperasi dalam bisnis yang akan dikembangkan BUMDes.

Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (Akses) forum nirlaba yang mengkader calon pemimpin merupakan salah satu pihak yang memprotes keras dan mengecam Permen tersebut.

“Masalahnya ialah dalam Permen tersebut bisnis yang akan dikembangkan ialah hanya dalam bentuk Perseroan (PT) dan mengacu pada UU Perseroan,” kata Ketua Akses Suroto.

Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDT &T) telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 4 Tahun 2015 yang berisi wacana Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Pengembangan BUMDes merupakan amanat UU Nomor 6 Tahun 2014 wacana Desa. Suroto menyayangkan Permen itu lantaran koperasi yang justru sesuai dengan filosofi tolong-menolong dan kultur masyarakat di desa, sama sekali diabaikan dan bahkan didiskriminasikan dengan tidak dimasukkan sebagai pilihan tubuh hukum. “Hal ini tentu akan berakibat fatal lantaran desa akan segera masuk dalam cengkeraman korporat kapitalis yang bertujuan untuk mengejar keuntungan semata itu,” katanya.

Ia menyarankan Menteri Desa, PDT &T segera mencabut Permen tersebut lantaran dikhawatirkan masyarakat desa akan jatuh dalam cengkeraman para pemilik modal besar yang sangat mungkin mengeksploitasi desa untuk kepentingan bisnis mereka sendiri.

Menurut dia, analogi pengembangan BUMDes itu ialah sama dengan BUMN di tingkat pusat dan BUMD di tingkat daerah.

“Tapi tampaknya ada yang belum dipahami oleh Menteri Desa PDT &T bahwa BUMN itu ialah untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan besar dari atas yang tidak bisa dikerjakan oleh masyarakat alias difungsikan sebagai biro pembangunan untuk mendorong bisnis alamiah di masyarakat bukan menggantikannya,” katanya.

Ia berpendapat, begitu BUMDes dikelola dalam bentuk Persero maka semua asset desa bisa dikapitalisasikan dan tunduk pada UU Persero yang berlaku prinsip satu saham satu bunyi alias siapa yang punya saham lebih banyak didominasi ia akan menguasai atau mengendalikan keputusan.

Hal itu berbeda dengan konsep koperasi yang bagaimanapun tetap menjamin hak bunyi anggota untuk mengambil keputusan dengan prinsip satu orang satu suara.

Kalau tetap dipaksakan dengan konsep tersebut bahkan akan mengoposisi natur bisnis di masyarakat. “BUMDes bisa menjadi kapitalis estatis dan bahayanya terjadi masif hingga di desa dan ini juga bertentangan dengan konstitusi yang menganut sistem demokrasi ekonomi,” katanya.

Ia menegaskan, ketika menentukan tubuh hukum, sebaiknya BUMDes itu memakai koperasi lantaran motif maupun sistem organisasinya sesuai dengan kultur masyarakat desa.

Skemanya bisa dalam bentuk Penyertaan Modal Pemerintah ( PMN/D) tapi tidak dominan. Fungsinya untuk mengakselerasi bisnis di kalangan masyarakat dalam bentuk tubuh aturan koperasi dan bukan mengoposisinya. “Jadi Permen ini jikalau dijalankan potensial mengakibatkan ketidakpastian hukum,” katanya.

Jangan Khawatir Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi Marwan Jafar justru menyampaikan Permen ini menjadi penting mengingat Nawa Kerja prioritas kementerian yang dikomandaninya ini ialah Pembangunan dan Pengembangan 5.000 BUMDes.

Jika idealnya setiap desa mempunyai BUMDes, berarti masih ada sekitar 69.000 BUMDes lagi yang perlu diwujudkan. Secara teknis, BUMDes yang ada kini masih mengacu kepada Permendagri Nomor 39 Tahun 2010 wacana Badan Usaha Milik Desa.

“Permendagri tersebut sudah tidak memadai lagi dengan perkembangan desa dan BUMDes ketika ini pascalahirnya UU Nomor 6 Tahun 2014 serta Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa,” ujar Marwan.

Itulah sebabnya, kata Marwan, Peraturan Menteri Desa wacana Badan Usaha Milik Desa harus segera diterbitkan. “Melalui Permendesa ini, desa melalui BUMDes menerima peluang yang lebih besar untuk meningkatkan kiprahnya dalam pengembangan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat,” kata Marwan.

Permendesa tersebut akan mengatur ketentuan wacana BUMDes. Di antaranya, desa sanggup mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUMDes yang dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan.

Usaha yang sanggup dijalankan BUMDes yaitu perjuangan di bidang ekonomi dan atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pendirian BUMDes disepakati melalui Musyawarah Desa dan ditetapkan dengan Peraturan Desa.

BUMDes juga diperlukan bisa menjadi motor pelopor kegiatan ekonomi di desa yang juga berfungsi sebagai forum sosial dan komersial. Sebagai forum komersial, BUMDes bertujuan mencari keuntungan untuk meningkatkan pendapatan desa.

“Dengan tugas BUMDes sebagai akselerator perekonomian desa ini, saya optimis di desa-desa akan segera tercipta banyak sekali peluang perjuangan dan lapangan kerja baru, warga desa juga makin banyak punya kegiatan usaha, punya pendapatan jelas, pengangguran berkurang drastis, dan kesejahteraan desa akan meningkat pesat,” kata Menteri Marwan.

Saling Melengkapi Pada praktiknya koperasi dan BUMDes diperlukan bisa hadir bersamaan dan saling melengkapi. Pasca-lahirnya BUMDes bukan berarti simpulan bagi perjalanan koperasi lantaran BUMDes sejatinya juga masih mempunyai kelemahan.

Pakar antropologi Yunanto dalam makalahnya Police Paper Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) menjelaskan ada sejumlah kelemahan yang secara inheren ada pada BUMDes, yaitu penataan kelembagaan desa belum berjalan secara maksimal sehingga BUMDes pun belum dilembagakan dalam format kepemerintahan dan perekonomian desa.

Selain itu keterbatasan kapasitas sumber daya insan di desa untuk mengelola dan berbagi BUMDes yang akuntabel dan berkinerja baik. “Rendahnya inisiatif lokal untuk menggerakkan potensi ekonomi lokal bagi peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi warga desa,” katanya.

Ia juga menyoroti soal belum berkembangnya proses konsolidasi dan kolaborasi antar pihak terkait untuk mewujudkan BUMDes sebagai patron ekonomi yang berperan memajukan ekonomi kerakyatan. Kurangnya responsivitas Pemerintah Daerah untuk menimbulkan BUMDes sebagai kegiatan unggulan untuk memberdayakan desa dan kesejahteraan masyarakat.

Secara substansial, UU No 6 tahun 2014 mendorong desa sebagai subjek pembangunan secara emansipatoris untuk pemenuhan pelayanan dasar kepada warga, termasuk menggerakan aset-aset ekonomi lokal. Oleh lantaran itu BUMDes diposisikan menjadi forum yang memunculkan sentra-sentra ekonomi di desa dengan semangat ekonomi kolektif.

Jadi, Yunanto beropini bedanya BUMDes dengan forum masyarakat lainnya termasuk koperasi bekerjsama tidak ada yang perlu dipertentangkan. “Semuanya saling melengkapi untuk menggairahkan ekonomi desa. Namun, BUMDes merupakan forum yang unik dan khas sepadan dengan keunikan desa,” katanya.

Yunanto menjelaskan keunikan BUMDes yakni merupakan sebuah perjuangan desa milik kolektif yang digerakkan oleh agresi kolektif antara pemerintah desa dan masyarakat.

BUMDes merupakan bentuk ‘public and community partnership’ atau kemitraan antara pemerintah desa sebagai sektor publik dengan masyarakat setempat. BUMDes lebih inklusif dibanding dengan koperasi, perjuangan langsung maupun perjuangan kelompok masyarakat yang bekerja di ranah desa.

Koperasi memang inklusif bagi anggotanya, baik di tingkat desa maupun tingkat yang lebih luas, namun koperasi tetap ekslusif lantaran hanya untuk anggota. Namun BUMDes bukan lantas menjadi babak simpulan bagi perjalanan koperasi di Indonesia. Keduanya haruslah seiring sejalan untuk menyejahterakan bangsa. [tar]

Sumber: https://m.inilah.com/news/detail/2194251/nasib-koperasi-pascakelahiran-bumdes

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel