Desa Dan Harga Pangan
Desa merupakan kawasan produksi pangan. Namun, pangan justru berkontribusi besar atau menjadi sumber kemiskinan di perdesaan.
Petani Padi/Image: Ist |
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, batas garis kemiskinan di perdesaan pada September 2016 sebesar Rp 350.420 per kapita per bulan. Dalam waktu setahun atau semenjak September 2015, garis kemiskinan di perdesaan naik 5,2 persen. Bahan makanan masih berkontribusi terbesar terhadap garis kemiskinan di perdesaan, yaitu 77,08 persen. Adapun di kota, kontribusinya 69,84 persen.
Beras yaitu materi pangan yang menunjukkan andil terbesar, yaitu 25,35 persen. Hal ini diikuti materi makanan lain yang juga dihasilkan di desa, menyerupai daging sapi (3,47 persen), gula pasir (3,01 persen), telur ayam ras (2,76 persen), daging ayam ras (2,19 persen), dan bawang merah (2,10 persen).
Hal itu tidak terlepas dari kenaikan harga pangan pokok yang selalu terjadi setiap tahun. Tidak ada perbaikan pendapatan masyarakat desa, terutama petani, secara signifikan. Saat petani hanya menikmati laba 2 persen dari penjualan gabah kering panen, pedagang bisa meraup laba sampai 10 persen dari hasil penjualan beras.
Atau ketika petani tebu bisa melelang harga gula pasir Rp 9.500-Rp 11.000 per kilogram tahun ini, petani harus membeli kembali gulanya seharga Rp 13.500-Rp 14.000 per kg. Semakin tinggi harga pangan, semakin banyak biaya yang dikeluarkan masyarakat ekonomi bawah untuk pangan.
Dari tahun ke tahun, contoh konsumsi masyarakat kian meningkat. Rata-rata pengeluaran per kapita selama sebulan, berdasarkan kelompok barang, pada 2015 sudah Rp 954.430. Dari jumlah tersebut, pengeluaran untuk makanan sekitar 49,91 persen atau Rp 478.062. Itu pun berdasarkan penghitungan komponen makanan secara normal atau tanpa memperhitungkan kenaikan harga.
Pengeluaran untuk beras meningkat dari Rp 55.216 per kapita per bulan pada 2013 menjadi Rp 64.759 per kapita per bulan pada 2015. Adapun pengeluaran untuk daging meningkat cukup signifikan, dari Rp 13.322 per kapita per bulan pada 2013 menjadi Rp 21.157 per kapita per bulan pada 2015.
Tahun ini, stabilitas stok dan harga pangan masih menjadi tantangan pemerintah. Faktor yang memengaruhi yaitu pembiasaan harga materi bakar minyak (BBM) seiring dengan kenaikan harga minyak dunia.
Di sisi lain, pemerintah mulai mengurangi subsidi listrik 900 VA secara sedikit demi sedikit bagi masyarakat yang dianggap mampu. Kedua hal ini akan berdampak pada kenaikan harga pangan yang gampang bergejolak.
Ada cara yang bisa dilakukan, yakni dengan penyediaan stok pangan yang harganya gampang bergejolak itu. Pemerintah bisa bekerja sama dengan asosiasi-asosiasi pedagang dan distributor.
Dengan demikian, pemerintah bisa membeli materi pangan itu dari biro dikala harga pangan bergejolak. Hal lain yang bisa dilakukan yaitu mengoptimalkan lumbung pangan. Harapannya, stok dan harga pangan terjaga. (Sumber: Kompas)