Kemendagri: Dana Desa Gres Terserap Rp.30 Triliun

Ayo Bangun Desa - Dana desa yang dialokasikan pada 2017 sebanyak Rp60 triliun hingga pertengahan tahun gres terserap sekitar Rp30 triliun alasannya kapasitas sumber daya manusianya kurang memadai untuk mengelola anggaran.


Pernyataan itu disampaikan oleh Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri Nata Irawan dikala membuka diskusi bertajuk "Menyoal Keberpihakan Negara terhadap Masyarakat Adat Beserta Hak Ulayat dalam Pembangunan Ekonomi dan Pembentukan Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia", di Jakarta, Kamis.

"Sudah beberapa tahun berjalan, dana desa sepertinya kurang berdampak pada peningkatan kesejahteraan. Misalnya saja, angka kemiskinan masih di kisaran 28,5 juta jiwa. Kondisi itu terjadi alasannya perembesan dana desa belum maksimal, salah satu penyebabnya, kapasitas pemerintah desa mengelola anggaran masih cukup rendah," kata Nata. 



Alhasil, pihaknya di Bina Pemerintahan Desa akan terus berupaya meningkatkan kapasitas SDM sehingga dana desa sanggup dikelola secara baik.

"Kendala kami, anggaran di Kemendagri untuk membina aparatur pemerintahan desa hanya mencapai sekitar Rp21 milyar. Padahal pihak kementerian bertanggung jawab meningkatkan kapasitas SDM di sekitar 74.010 desa di Indonesia. Misalnya, satu desa dikali lima orang, tentu hal tersebut akan jadi masalah," tambahnya.

Dalam kesempatan sama, ia mengapresiasi pembentukan asosiasi pengajar aturan tabiat (APHA) dan berjanji akan menfasilitasi diskusi lebih lanjut dengan pihak kementerian.

"Saya harap lembaga diskusi mengenai negara dan aturan tabiat hari ini sanggup terus berlanjut dan dibuat lebih besar lagi demi memetakan duduk kasus aturan dan hak ulayat di Indonesia," kata Nata dalam pidato pembukaannya, Kamis.

Acara yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) di Jakarta, Kamis, turut diisi paparan dari sejumlah pakar, diantaranya Dekan FH Universitas Pancasila Ade Saptomo, Guru Besar FH Universitas Parahyangan Catharina Dewi Wulansari, dan Pengajar FH Universitas Atma Jaya Caritas Woro Murdiati.


Dalam lembaga diskusi itu, Prof Ade menjelaskan keutuhan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ditentukan dari keberadaan masyarakat adat.

"Power (kekuatan) dari Indonesia sebagai state (negara) ada pada masyarakat adat. Pasalnya, bila negara bubar, masyarakat tabiat akan tetap utuh," kata Ade di Jakarta, Kamis. Dengan demikian, negara harus berpihak terhadap hak dan kepentingan masyarakat adat.

Meski demikian, Ade menambahkan kebijakan pemerintah terhadap masyarakat tabiat cenderung menafikkan perspektif hidup komunitas tersebut.

"Misalnya dalam urusan kepastian aturan dalam kepemilikan tanah. Negara cenderung memaksakan adanya pengukuran dan pinjaman sertifikat, tetapi buat masyarakat adat, contohnya suku Nagari di Sumatera Barat itu tidak cocok dengan sistem atau aturan tabiat komunitasnya," kata Dekan FH Universitas Pancasila tersebut.

Di penghujung acara, ketua Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) sekaligus salah satu pelopor dibentuknya Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Laksanto Utomo menyampaikan jurnal yang berisi kajian aturan tabiat akan segera diluncurkan.

"Sumbangan fatwa dari pengajar aturan tabiat ini nantinya sanggup menjadi materi pertimbangan dan pijakan bagi para pembuat kebijakan dalam upayanya mengakui dan berpihak terhadap masyarakat adat," kata Laksanto dalam lembaga yang dihadiri sekitar 40 pengajar, pakar, dan perwakilan pemerintahan. (Antaranews.com).

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel