Bumdes Dan Ekonomi Kerakyatan

Desa - desa tampak mulai bergeliat dengan aneka macam potensi yang dimilikinya. Di bawah pengelolaan tubuh perjuangan milik desa, sejumlah desa wisata bahkan telah membuat sebuah desa menjadi sangat mandiri.
 desa tampak mulai bergeliat dengan aneka macam potensi yang dimilikinya BUMDes dan Ekonomi Kerakyatan
Badan Usaha Milik Desa 
Tengoklah Desa Ponggok (Klaten) yang beromzet Rp 1,3 miliar per tahun, Desa Bleberan (Gunung Kidul) beromzet Rp 2 miliar per tahun, Desa Karang Duwur (Kebumen) beromzet Rp 1 miliar per tahun, atau Desa Kertayasa (Pangandaran) yang beromzet Rp 300 juta per tahun.

Beberapa desa di atas ialah teladan kecil dari desa-desa di pelosok Tanah Air yang mulai sadar memetakan potensi yang dimilikinya. Keberadaan dana desa punya andil besar dalam mendorong tumbuhnya tubuh perjuangan milik desa (BUMDes) di desa-desa. Dana desa yang terus mengalami peningkatan memang telah memberi keinginan tersendiri bagi pembangunan di desa. Dari anggaran sebesar Rp 20,5 triliun pada 2015, kemudian Rp 47 triliun tahun 2016, dan pada 2017 dana desa meningkat menjadi Rp 60 triliun.

Nilai strategis

Peningkatan keberadaan BUMDes memang sangat signifikan. Jika pada 2014 BUMDes di Indonesia hanya 1.022 unit, awal 2017 jumlahnya telah 18.446 unit. Jumlah ini pun diyakini akan terus meningkat sebab salah satu amanah dalam penggunaan dana desa, selain untuk pembangunan infrastruktur, juga untuk peningkatan perekonomian masyarakat, salah satunya melalui wadah berjulukan BUMDes.

Nilai strategis keberadaan ribuan BUMDes yang tersebar di penjuru Tanah Air ialah sebab ia tumbuh dari kesadaran masyarakat desa dan bergerak pada sektor riil. Ia juga berbasis pada perjuangan mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Di titik itulah keberadaan BUMDes sebagai pengejawantahan gagasan ihwal ekonomi kerakyatan menemukan relevansi serta titik sumbunya. Ini bisa menjadi salah satu taktik pembangunan pada masa depan.

Nilai strategisnya bukan saja keberadaan BUMDes yang kebanyakan berbasis pada kegiatan ekonomi sektor kecil itu menjadi salah satu katup penampung kasus ketenagakerjaan, melainkan juga merupakan salah satu penyangga penting kasus perekonomian di Indonesia. Pertumbuhan jumlah UMKM yang sangat besar secara otomatis terang telah mendonorkan peresapan tenaga kerja yang banyak.

Persoalan kemudian, dalam realitasnya perkembangan perjuangan kecil yang begitu pesat—saat ini banyak yang diwadahi oleh BUMDes—ternyata sering kali tak diimbangi percepatan perhatian pemerintah terhadap sektor perjuangan itu. Banyak kasus menunjukkan, pemerintah bukannya memproduksi kebijakan yang memperkuat sektor ini, melainkan malah sering kali kebijakan yang dilahirkan berpotensi mematikan daya hidup perkembangan mereka.

Oleh sebab itu, derma pemerintah terhadap keberadaan perjuangan kecil, baik yang di bawah BUMDes maupun tidak, sebenarnya bisa dengan penghindaran penciptaan kebijakan-kebijakan diskriminatif. Selain itu, dibutuhkan juga kebijakan hukum main yang menawarkan kesepadanan yang sama bagi tiap pelaku ekonomi untuk menjalankan aktivitasnya, termasuk pelaku ekonomi kecil dan menengah. Di sinilah kolaborasi lintas kementerian/lembaga mutlak perlu.

Komitmen ini penting sebab sebagai salah satu pilar ekonomi kerakyatan, keberadaan perjuangan kecil di sektor riil jadi acuan sebagian besar tenaga kerja di Indonesia. Banyak alasan yang melatarbelakanginya, di antaranya sektor itu tidak perlu modal banyak dan tidak mensyaratkan tingkat keterampilan yang tinggi. Ia juga tidak membutuhkan perizinan yang berbelit.

Dengan karakteristik semacam itu, jumlah pertumbuhan sektor-sektor perjuangan kecil menengah jadi sangat besar dan secara otomatis mendonorkan peresapan tenaga kerja yang banyak. Hanya saja, jumlah UMKM yang begitu besar—saat ini mencapai 59 juta—dengan tingkat peresapan tenaga kerja yang tinggi tersebut ternyata tidak dibarengi kesejahteraan pelaku ekonominya. Pada titik inilah pemerintah melalui kolaborasi lintas sektoral perlu mengeluarkan paket-paket kebijakan yang tepat.

Keberadaan ribuan BUMDes yang berbasis pada sektor riil serta sumber daya yang ada di desa ialah penggalan dari pengembangan gagasan ekonomi kerakyatan. Gagasan pembangunan ekonomi kerakyatan, menyerupai dikatakan Gran (1988), ialah sebuah konsep pembangunan di mana rakyat punya kuasa mutlak tetapkan tujuan dan mengelola swasembada ataupun mengarahkan jalannya pembangunan.

Ada dua hal yang bisa disimpulkan dari aliran ini. Pertama, partisipasi rakyat merupakan unsur mutlak dalam pembangunan. Tugas pemerintah hanya membuat keadaan yang mendorong inisiatif rakyat dalam memenuhi kebutuhannya. Kedua, apa yang dikehendaki rakyat merupakan pilihan terbaik dari negaranya.

Dengan paradigma semacam itu, pembangunan yang berbasis kerakyatan juga berarti pembangunan ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Artinya, kalau sebagian besar kegiatan ekonomi disusun dan dibangun oleh perjuangan menengah dan kecil yang banyak menampung tenaga kerja, seharusnya sektor menengah dan kecil mendapat perhatian yang lebih besar. Usaha skala besar tentu tetap diberi keleluasaan berkembang selama tidak mengganggu keharmonisan ekonomi.

Komitmen atas gagasan ekonomi kerakyatan ini penting untuk terus didesakkan kepada pengambil kebijakan sebab selama ini pengembangan perjuangan kecil dan menengah terbukti lebih bisa menjawab kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Selain itu, pembangunan ekonomi kerakyatan juga dinilai tidak hanya bisa menumbuhkembangkan kegiatan ekonomi semata, tetapi juga menawarkan kesejahteraan secara merata.

Kebijakan yang aplikatif

Guna mewujudkan gagasan ekonomi kerakyatan dalam bentuk kebijakan yang lebih aplikatif, ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, mengembalikan moral kebijakan publik pada tempatnya semula, yakni tidak hanya mendapat legitimasi rasional, tetapi juga memperoleh pembenaran secara etis. Pada aras ini, setiap kebijakan dihentikan meninggalkan kepentingan rakyat walaupun secara ekonomi mungkin merugikan negara.

Kedua, mengagendakan taktik pembangunan ekonomi yang memberi nisbah secara proporsional bagi seluruh rakyat. Dalam pengertian ini, setiap taktik dan kebijakan pembangunan harus mencerminkan pada pemenuhan kebutuhan rakyat sehingga setiap hasil yang diperoleh benar-benar jatuh kepada sebagian besar masyarakat.

Ketiga, memberi aksentuasi terhadap penciptaan akomodasi publik yang ditujukan bagi sebagian rakyat yang terpuruk dalam proses pembangunan. Kebijakan ini penting sebab dalam setiap proses pembangunan selalu menyisakan sebagian rakyat dalam posisi tidak beruntung.

BUMDes sebagai penggalan dari pengembangan ekonomi kerakyatan dan sebagai salah satu wadah bagi perjuangan sektor kecil di desa harus bisa melaksanakan transformasi sosial ekonomi di desa.

Untuk itu, ke depan, pemerintah harus bisa mengikis kebijakan diskriminatif yang hanya berpihak pada perjuangan skala besar semata. Tanpa janji itu, perjuangan kecil sebagai katup penangkal krisis sekaligus penampung tenaga kerja akan terus mengalami jalan buntu.

(Oleh: ACHMAD MAULANI, Kandidat Doktor Universitas Indonesia; Staf Ahli Unit Kebijakan Strategis pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi).

Sumber: Kompas.com.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel