Menteri Desa Ajak Akademisi Turun Tangan Berdiri Desa
GampongRT - Menteri Desa mengajak akademisi berpartisipasi aktif dalam perubahan paradigma pembangunan desa yang bergeser dari corak sentralistik menjadi pembangunan yang bersifat partisipatoris. Para akademisi dibutuhkan turun tangan dan mendampingi masyarakat desa biar sanggup mewujudkan harapan Desa Membangun Indonesia.
Kemendesa, PDTT Marwan Jafar mengakui pembangunan partisipatoris menjadi semangat yang menjiwai reformasi dan dipertegas dalam UU No. 6 Tahun 2014 wacana Desa.
"UU Desa berupaya mengangkat Desa pada posisi yang semestinya. Secara konstitusional UU tersebut telah mengukuhkan ratifikasi dan penghormatan serta proteksi kewenangan berdasarkan asal-usul desa dan kewenangan skala lokal, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 B ayat 2," ujar Menteri Marwan ketika menghadiri program diskusi dengan tema; "Peran Akademisi Dalam Pembangunan Desa, Daerah Tertinggal dan Kawasan Transmigrasi' di Kampus UIN Sunan Ampel, Surabaya, Kamis (5/10).
Dengan menempatkan Desa sebagai subjek pembangunan, Desa akan memegang peranan strategis dalam mendukung pembangunan nasional. "Selama ini kondisi desa memang sangat ironis. Bisa dilihat desa sebagai daerah produsen pangan, ketika ini desa justru mengalami tren kekurangan materi pangan. Tahun 2013 sebanyak 47.02 juta jiwa yang rawan pangan tersebar di 349 kabupaten di Indonesia yang secara tipologi masuk dalam cluster kabupaten Tertinggal, Terluar, dan Terpencil," tandasnya.
Disisi lain, fenomena pergeseran atau peralihan teladan konsumsi masyarakat perdesaan yang sangat cepat bahkan lebih tinggi dari perkotaan terhadap bahan-bahan yang berasal dari gandum atau tepung terigu. Hingga tahun 2014, konsumsi per kapita tepung terigu di perkotaan dan perdesaan cenderung meningkat.
"Konsumsi per kapita tepung terigu di perkotaan bertumbuh 7,10%, sedangkan di perdesaan bertumbuh 9,67% per tahun. Sementara itu, konsumsi per kapita mie instan di perkotaan bertumbuh sebesar 12,11% per tahun, sedangkan di perdesaan bertumbuh jauh lebih tinggi sebesar 16,99% per tahun," ujarnya.
Fenomena ini, berdasarkan Marwan dinilai sangat memprihatinkan, mengingat desa merupakan daerah produsen pangan pokok nasional (beras, jagung, ubi jalar, dan lain-lain). "Seolah-olah desa harus menanggung kebutuhan pangan masyarakat perkotaan, namun disisi lain harus memenuhi kebutuhan pokok untuk pangannya sendiri," paparnya.
Melihat banyak sekali permasalahan tersebut, sebagai wujud komitmen pemerintah dalam membangun desa, Marwan mengajak seluruh pemangku kepentingan termasuk civitas akademik untuk mewujudkan harapan desa membangun Indonesia.
Berdasarkan data Kemenristek Dikti tahun 2015, jumlah dosen mencapai 160.000 orang dan jumlah mahasiswa yang aktif mencapai 5,4 juta orang. Dengan jumlah yang tidak sedikit ini, peran/kontribusi akademisi merupakan salah satu unsur penting dalam percepatan pembangunan desa di Indonesia. "Sudah saatnya akademisi berbondong-bondong untuk turun tangan membangun Desa. "Gerakan Turun Tangan Membangun Desa," imbuhnya.
Selain itu, imbuh Marwan, penelitian yang dilakukan oleh para civitas akademika harusnya tidak hanya melahirkan ilmu untuk ilmu (science for science) saja tetapi penelitian harus sanggup diterapkan secara pribadi untuk kesejahteraan masyarakat.
"Berdasakan data Kementerian Ristek bahwa tahun 2013 jumlah publikasi di Indonesia mencapai 171.037 publikasi selama satu tahun. Jumlah publikasi ini tidak sedikit kalau betul-betul mempunyai penemuan sehingga sanggup diterapkan dan dipatenkan untuk kesejahteraan masyarakat," tutupnya. (Kemendesa/admin)
Dengan menempatkan Desa sebagai subjek pembangunan, Desa akan memegang peranan strategis dalam mendukung pembangunan nasional. "Selama ini kondisi desa memang sangat ironis. Bisa dilihat desa sebagai daerah produsen pangan, ketika ini desa justru mengalami tren kekurangan materi pangan. Tahun 2013 sebanyak 47.02 juta jiwa yang rawan pangan tersebar di 349 kabupaten di Indonesia yang secara tipologi masuk dalam cluster kabupaten Tertinggal, Terluar, dan Terpencil," tandasnya.
Disisi lain, fenomena pergeseran atau peralihan teladan konsumsi masyarakat perdesaan yang sangat cepat bahkan lebih tinggi dari perkotaan terhadap bahan-bahan yang berasal dari gandum atau tepung terigu. Hingga tahun 2014, konsumsi per kapita tepung terigu di perkotaan dan perdesaan cenderung meningkat.
"Konsumsi per kapita tepung terigu di perkotaan bertumbuh 7,10%, sedangkan di perdesaan bertumbuh 9,67% per tahun. Sementara itu, konsumsi per kapita mie instan di perkotaan bertumbuh sebesar 12,11% per tahun, sedangkan di perdesaan bertumbuh jauh lebih tinggi sebesar 16,99% per tahun," ujarnya.
Fenomena ini, berdasarkan Marwan dinilai sangat memprihatinkan, mengingat desa merupakan daerah produsen pangan pokok nasional (beras, jagung, ubi jalar, dan lain-lain). "Seolah-olah desa harus menanggung kebutuhan pangan masyarakat perkotaan, namun disisi lain harus memenuhi kebutuhan pokok untuk pangannya sendiri," paparnya.
Melihat banyak sekali permasalahan tersebut, sebagai wujud komitmen pemerintah dalam membangun desa, Marwan mengajak seluruh pemangku kepentingan termasuk civitas akademik untuk mewujudkan harapan desa membangun Indonesia.
Berdasarkan data Kemenristek Dikti tahun 2015, jumlah dosen mencapai 160.000 orang dan jumlah mahasiswa yang aktif mencapai 5,4 juta orang. Dengan jumlah yang tidak sedikit ini, peran/kontribusi akademisi merupakan salah satu unsur penting dalam percepatan pembangunan desa di Indonesia. "Sudah saatnya akademisi berbondong-bondong untuk turun tangan membangun Desa. "Gerakan Turun Tangan Membangun Desa," imbuhnya.
Selain itu, imbuh Marwan, penelitian yang dilakukan oleh para civitas akademika harusnya tidak hanya melahirkan ilmu untuk ilmu (science for science) saja tetapi penelitian harus sanggup diterapkan secara pribadi untuk kesejahteraan masyarakat.
"Berdasakan data Kementerian Ristek bahwa tahun 2013 jumlah publikasi di Indonesia mencapai 171.037 publikasi selama satu tahun. Jumlah publikasi ini tidak sedikit kalau betul-betul mempunyai penemuan sehingga sanggup diterapkan dan dipatenkan untuk kesejahteraan masyarakat," tutupnya. (Kemendesa/admin)