Mencari Kunci Pembangunan Desa

Desaku yang kucinta, pujaan hatiku
Tempat ayah dan bunda, dan handai taulanku
Tak gampang kulupakan, tak gampang bercerai
Selalu ku rindukan, desaku yang permai

Ayo Bangun Desa - Bait lagu anak ciptaan L Manik di atas bercerita betapa eratnya relasi emosional masyarakat dengan desa. Lagu ini juga menggambarkan desa sebagai identitas, bukan hanya tempat tinggal.


Dalam antropogogi bahkan kesatuan masyarakat berbentuk desa menjadi entitas yang dikenal jauh lebih bau tanah ketimbang hampir semua bentuk kesatuan lain. Aktivis pergerakan desa Budiman Sudjatmiko bahkan menyebut bahwa peradaban desa tolong-menolong lebih dulu ada sebelum kehadiran negara.

Namun, laki-laki yang sudah bergerak bersama penduduk-penduduk desa Indonesia jauh sebelum duduk di dewan legislatif selama dua periode ini melihat desa dengan perasaan miris. Sebab, persepsi negatif justru menempel pada desa dan masyarakatnya.

“Sampai kini kita selalu mendeskreditkan orang desa. Merendahkan masyarakat desa,” ujar Budiman Sudjatmiko di Jakarta, mirip dilansir oleh metrotvnews.com, Kamis (4/1/2016).

Antara lain dengan stigma perihal orang yang kelakukannya norak atau tidak bisa gaya sebagai orang kampung. “Bahkan orang bermuka buruk dibilang ndeso,” kata anggota Komisi II dewan perwakilan rakyat RI Fraksi PDI-Perjuangan ini sembari menggelengkan kepala.

Desa juga selalu diidentikan dengan sarang kemiskinan, kebodohan, serta banyak sekali cap buruk lainnya. Padahal, berdasarkan Budiman, kemuliaan desa jauh melebihi kota. Walau kota tempat uang bersarang, tetap orang desa yang memberi makan.

Kenyataan bahwa kemiskinan desa memang tidak sanggup dipungkiri. Secara spasial, setidaknya ada dua pola kemiskinan yang mencolok di Indonesia. Pertama, kemiskinan di daerah perdesaan selalu lebih tinggi daripada di daerah perkotaan. Selama 2004-2014, persentase penduduk miskin di perdesaan berkisar antara 14-20%, sementara di perkotaan hanya sekitar 8-14%. Kedua, kantong kemiskinan terkonsentrasi di Kawasan Timur Indonesia (KTI), pantai selatan Jawa, dan pantai Barat Sumatra.

Data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi memperlihatkan masih ada 183 kabupaten yang tergolong tertinggal di Indonesia pada tahun 2015, dengan 70 persen di antaranya berada di KTI. Jumlah tersebut terdiri dari 149 kabupaten yang masih berstatus daerah tertinggal selama 2004-2009 dan 34 daerah kabupaten gres hasil pemekaran.

Data Kementerian Desa itu juga menyebut ada 20.182 desa tertinggal di Indonesia atau sekitar 27,23% dari total 74.093 desa yang ada.

Jumlah desa yang dianggap masih berkembang pun masih sangat besar. Sebanyak 51.010 desa di Indonesia dinilai masih dalam status berkembang atau sekitar 68,84% dari total desa yang ada di Tanah Air. Baru 2.901 desa di Indonesia yang benar-benar sudah sanggup dibilang sanggup berdiri diatas kaki sendiri secara ekonomi, sosial, dan pemerintahan.

“Sangat gila bila semisalnya desa menjadi sarang kemiskinan. Penduduk desa yang dikelilingi sawah dan kebun bisa kelaparan. Karena apa? Karena mereka tidak diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Karena mereka tidak diberi petunjuk bagaimana memperbaiki diri,” kata Budiman.

Mengubah Pola Pikir

Budiman menyampaikan selama ini desa hanya disuapi sebagian kecil laba dari sumber daya yang mereka hasilkan. Produk mereka yang diperoleh dengan susah payah tidak bernilai jual tinggi. Tidak jarang pula hasil pertanian yang mereka miliki pada kesannya tidak mereka kuasai sendiri.

Beberapa desa di Sumatera dari hasil dari jadwal transmigrasi pemerintahan Orde Baru misalnya. Mereka hidup di tengah lahan sawit dan bergantung dari sawit. Namun, lahan sawit tersebut tidak mereka miliki langsung. Penduduk hanya menjadi buruh, sedangkan laba besar yang dinikmati si pemilik lahan.

Pembangunan Indonesia selama ini berjalan dan desa hanya menjadi objek. Seharusnya, kata Budiman, jadwal pemerintah sanggup mendorong desa menjadi entitas yang sanggup membangun dirinya sendiri. Jika desa sanggup memenuhi kebutuhannya secara mandiri, maka desa menjadi sebuah kekuatan yang bisa menopang pembangunan Indonesia.

“Dengan begitu Indonesia sanggup tumbuh dari bawah,” kata Budiman.

Pemerintahan Indonesia pasca-reformasi lambat laun memandang perlu ada perubahan pola pikir, dari desa sebagai objek menjadi desa sebagai pelaku pembangunan. Akhirnya undang-undang yang menjadi titik tolak perubahan ini dilahirkan.

“Lewat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 perihal Desa, desa tidak lagi objek tetapi subjek dan pelaku pembangunan,” tutur Direktur Jenderal dan Pemberdayaan Masyararakat Desa Kemendes PDTT Ahmad Erani Yustika ketika berbincang dengan metrotvnews.com di Jakarta, Jumat (5/1/2016).

UU Desa ini kemudian menjadi dasar pembentukan Kementerian Desa yang membawa pembaruan konsep desa dalam pemerintahan Indonesia. Desa tidak lagi menjadi serpihan yang lebih kecil di bawah pemerintah daerah, akan tetapi mempunyai kiprah yang lebih besar.

Desa semakin didorong untuk tumbuh secara sanggup berdiri diatas kaki sendiri dengan memperbesar kiprah masyarakat. Sedangkan pemerintah memastikan desa sanggup semakin sanggup berdiri diatas kaki sendiri dengan stimulasi berbentuk Dana Desa.

“Jadi kiprah dari Pemda itu tidak mengatur bagaimana desa tumbuh. Mereka harusnya membimbing dan menjadi tempat konsultasi bagaimana masyarakat desa membangun dirinya. Desa mirip anak kecil, negara bukan bertugas untuk menciptakan mereka pandai alasannya yaitu intinya sudah pintar. Negara hanya perlu membimbing bagaimana desa memanfaatkan sumberdayanya untuk tumbuh,” kata Budiman.

Membangun dengan kekhasan Desa

Dengan kehadiran UU Desa, kini masyarakat desa sanggup memanfaatkan peluang yang ada untuk membangun kemandiriannya sendiri. Selama ini desa hanya tumbuh sesuai dengan arah pembangunan yang disiapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Akibatnya kesenjangan sosial dan ekonomi antara desa-desa di satu daerah dengan daerah lainnya semakin terlihat.

Seharusnya kesenjangan ini sanggup dipersempit atau bahkan dihilangkan dengan perubahan konsep pembangunan desa. Ada empat penyebab utama suatu kabupaten tergolong daerah tertinggal. Pertama, letak geografisnya terpencil dan sulit dijangkau. Kedua, kondisi infrastruktur sosial ekonomi kurang memadai. Ketiga,kegiatan investasi dan produksi masih minim. Keempat,berada di daerah perbatasan antar negara.

Inilah asal muasal mengapa daerah tertinggal di Indonesia dicap sebagai daerah “pinggiran” alasannya yaitu berada di daerah perbatasan, sulit dijangkau bahkan terisolasi secara ekonomi, tingkat kesejahteraannya relatif rendah, dan mempunyai infrastruktur seadanya.

Akibatnya, pola pembangunan yang tidak imbang di Indonesia masih terus terjadi. Tercermin dari kuatnya “pusat” (Jawa-Sumatra) sebagai gravitasi pembangunan dan menyisakan “pinggiran” (KTI dan desa). Hingga simpulan 2014, struktur perekonomian Indonesia secara spasial masih didominasi oleh kelompok provinsi dan kabupaten/kota di Pulau Jawa yang memperlihatkan bantuan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sekitar 58,51%, kemudian diikuti oleh Pulau Sumatera sekitar 23,63%. KTI, sebagai daerah pinggiran, hanya kebagian sisanya yaitu sekitar 17,96%.

Dalam UU Desa ada dua asas unik yang belum ada di aturan-aturan lain. Pertama, asas rekognisi atau akreditasi bahwa desa itu sebagai komunitas yang mempunyai ciri khas. Kedua, asas subsidiaritas atau akreditasi bahwa desa sanggup mengurusi pemerintahannya secara mandiri.

UU Desa memandatkan negara untuk membimbing desa semoga tumbuh dan berkembang sampai mandiri. Terutama dengan memanfaatkan sumber daya, tradisi, dan kekhasan yang dimilikinya.

“Selama ini pembangunan kan tidak banyak perhatikan hal itu. Contoh sederhananya bentuk bangunan. Di Eropa, desa-desa mempertahankan kekhasan bangunannya. Bahkan dijaga. Tapi di Indonesia, kita jarang melihat desa yang membangun rumah adatnya,” kata Erani.

Hal ini juga terkait dengan kesiapan desa. Baik dari sisi pemerintahan desa sampai masyarakatnya. Baik Budiman maupun Erani mengakui kesiapan desa untuk membangun sejalan dengan konsep yang tertuang di dalam UU Desa masih sedikit bermasalah.

“Ini bicara kepercayaan diri desa untuk membangun dirinya. Karena bila bicara pembagunan dari desa, itu bicara tiga hal: mimpi, kepemimpinan dan kreativitas,” kata Budiman.

Masih banyak desa-desa yang resah ke arah mana mereka akan membangun. Secara kepemimpinan pun, masih ada kepala desa yang belum terbuka dengan masyarakatnya. Selain itu desa-desa juga masih terbiasa pakem pembangunan lama. Hal ini pun juga ditemukan oleh Kemendes PDTT.


Sebagai pola dalam penggunaan Dana Desa yang nilainya Rp749 juta pada tahun 2015, masih ada desa yang menggunakannya untuk pembangunan tak produktif. “Ada sekitar delapan persen yang menggunakannya untuk membangun kantor kepala desa, membangun pagar penduduk, dan lain-lain. Tidak salah, tapi melenceng dari kode prioritas,” ungkap Erani.

Dana Desa yang seharusnya sanggup menjadi stimulan untuk pembangunan ekonomi dan penguatan sosial budaya masyarakat desa. Apalagi kerangka besar nilai Dana Desa akan dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan setiap tahunnya akan meningkat.

“Karena itu, penemuan merupakan kata kunci dalam pembangunan desa ketika ini,” kata Erani.

Penyaluran Desa Desa yang mempunyai kiprah penting dalam pembagunan ekonomi desa ini memang tak lepas dari hambatan. Penyaluran dana yang dibagi ke tiga tahap ini terbentur pula dengan ketidaksiapan beberapa pemerintah daerah dalam menciptakan hukum turunan penyaluran dana desa. Beberapa kepala daerah juga masih melaksanakan intervensi dalam penyaluran dana desa.

Selain itu, beberapa desa juga masih belum menyiapkan struktur yang sesuai dengan hukum UU Desa. Beberapa desa belum Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Pembangunan Desa (RPD). Akhirnya Dana Desa belum sanggup cair sepenuhnya secara merata. Untuk mengatasi permasalah ini, kesannya pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan tiga menteri (Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa PDTT) untuk mempermudah proses penyaluran dana desa tahun anggaran 2015 ini.

Pengawasan pelaksanaan juga menjadi perkara tersendiri alasannya yaitu belum ada instrumen yang cocok digunakan. Namun pembentukan instrumen ini akan menjadi prioritas perbaikan pelaksanaan UU Desa di tahun 2016.

Tidak hanya di penyaluran dana desa dan pelaksanaan di lapangan, sosialisasi UU Desa juga menerima kendala tersendiri. Erani tak memungkiri sosialisasi UU Desa, penggunaan Dana Desa, serta peningkatan kapasitas kepala dan warga desa belum maksimal.

“Jumlah desa sudah bertambah menjadi 74.543 desa di 2016. Tapi kita sudah sosialisasi sampai tingkat kabupaten dan perwakilan desa,” kata dia.

Hal ini semakin dipersulit faktor geografis Indonesia yang sangat luas. Ditambah lagi beberapa desa mempunyai posisi yang sangat sulit dicapai. Kementerian Desa PDTT sendiri juga belum sanggup bergerak maksimal alasannya yaitu mereka gres sanggup bekerja maksimal pertengahan tahun kemarin. DIPA untuk Kemendes PDTT gres dipindahkan pada April. Sedangkan pejabat eselon I gres dilantik pada Juni 2015.

Belum lagi dilema pendamping desa yang mempunyai kiprah penting untuk membantu pertumbuhan desa. Untuk pendamping desa, Kemendes PDTT telah melatih 38 ribu tenaga pendamping. Namun angka ini masih kurang banyak dari jumlah desa yang ada.

Karena itu, seluruh elemen pemerintahan dan masyarakat harus saling mendukung semoga tujuan membangun desa menjadi pilar pembangunan ekonomi sanggup tercapai. Hal ini pun diamini oleh Budiman.

“Kalau mirip taktik sepakbola, harus total football. Semua elemen harus terlibat dalam mendorong pembagunan desa. Harus bergerak dan semuanya harus jemput bola,” tegas Budiman.

BUMDes sebagai pusat pertumbuhan desa

Perubahan konsep dari pembangunan desa menjadi desa membangun ini perlu memerhatikan tiga pilar utama. Jaring komunitas desa, lingkar budaya desa, dan lumbung ekonomi. Komunitas desa terkait dengan peningkatan kapasitas warga desa, sedangkan lingkar budaya memastikan kekhasan tradisi dan budaya desa tidak hilang seiring dengan semakin berkembangnya desa.

Lumbung ekonomi desa terkait dengan bagaiman desa sanggup berkembang dengan sanggup bertumbuh tanpa bergantung kepada pihak lain. Tapi bagaimana meningkatkan kesejahteraan penduduknya dengan bergantung kepada perekonomian dan perjuangan yang mereka bangun.

“Hal ini bisa tercapai dengan memastikan sumber daya itu dikuasai oleh desa,” kata Erani.

Salah satu elemen terpenting dalam pembangunan desa seiring dengan disahkannya UU Desa yaitu Badan Usaha Milik Desa. Dengan memanfaatkan BUMDes, dana desa seharusnya sanggup dikelola dengan baik untuk perkembangan ekonomi.

Mendorong terbentuknya BUMDes ini menjadi pekerjaan rumah penting bagi Kemendes PDTT. Erani yakin, BUMDes sanggup memperlihatkan imbas besar terhadap pertumbuhan ekonomi desa. Bahkan Indonesia.

“Kalau semisalnya satu BUMDes bisa mempunyai omzet satu miliar saja, sekitar 4000 BUMDes yang ada kini sudah memperlihatkan bantuan Rp4 triliun. Coba dibayangkan bila semisalnya seluruh desa di Indonesia punya BUMDes,” ujar Erani tersenyum lebar dengan pandangan jauh ke depan.

Bukan hal yang mustahil sebuah BUMDes bermetamorfosis sebuah unit perjuangan yang omsetnya miliaran rupiah. Erani mencontohkan BUMDes yang dimiliki Desa Cangkudu, Balaraja, Banten. BUMDes yang dimiliki desa tersebut sanggup mempunyai pendapatan Rp 4 miliar pada sampai simpulan tahun lalu. Keuntungan tersebut kemudian digunakan sebagai modal pembangunan desa. Akhirnya desa tersebut dijadikan salah satu percontohan untuk desa-desa di Indonesia.

Sementara itu Budiman juga mencontohkan beberapa desa di Jawa Tengah yang bekerja sama untuk menciptakan Sentra Peternakan Rakyat. “Di sana diajarkan bagaimana teknik beternak, pangan, segala macam. Ada kurikulum mirip sekolah peternakan untuk warga desa. Awalnya sih kita kasih nama Sekolah, tapi Mendikbud protes alasannya yaitu Sekolah kan patennya mereka,” gurau Budiman diiringi tawa terkekeh.

Tidak tanggungg-tanggung, SPR yang ikut dibinanya itu sudah menghasilkan sekitar 745 peternak. Peternak-peternak tersebut kemudian memperlihatkan bantuan yang tidak sedikit untuk desanya. Desa-desa yang terlibat pun saling bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Selain menjadi modal untuk pertumbuhan desa, BUMDes sanggup memastikan sumber daya yang dimiliki desa dikelola pribadi oleh masyarakat desa. Bukan mirip yang selama ini banyak terjadi. Masyarakat desa sanggup bekerja untuk BUMDes yang ada tanpa harus menjadi buruh di kota atau luar negeri.

Potensi pengembangan BUMDes hampir tidak terbatas. Bahkan dana yang diputar dalam BUMDes sanggup digunakan untuk semakin meningkatkan kualitas desa.

“Bisa saja kan, dana tersebut digunakan untuk menyekolahkan belum dewasa pintar. Namun mereka diberi ikatan dinas di desa tersebut. 10 anak disekolahkan, setiap desa di Indonesia bisa punya dokter spesialis, insinyur, pakar pertanian, atau jago apapun. Desa pun semakin diuntungkan,” kata Budiman.

Inovasi memang menjadi kata kunci desa memanfaatkan potensi yang ada. Bimbingan juga diharapkan untuk yang masih kaget dengan perubahan konsep desa. Walau demikian, masyarakat desa tetaplah harus diberi percaya. Sebab desa niscaya bisa berubah untuk Indonesia.[]

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel