Desa Baru: Maju, Kuat, Berdikari Dan Demokratis (1)

Dalam buku Visi dan Semangat Undang-Undang Desa. Desa Baru, secara garis besar perubahan ditunjukkan dengan pembalikan paradigma dalam memandang desa, pemerintahan dan pembangunan yang selama ini telah mengakar di Indonesia. Pembalikan itu membuahkan perspektif “desa lama” yang bermetamorfosis “desa baru”. (Baca: Desa Lama).

Sekarang kita langsung masuk dalam perspektif "Desa Baru" yang Maju, Kuat, Mandiri dan Demokratis.

UU Desa tidak melawan dan menantang tradisionalisme (kearifan lokal, adab istiadat) melainkan menantang ketertinggalan, keterbelakangan dan kemiskinan. Untuk menantang kesenjangan struktural itu, UU Desa mengedepakan visi kemajuan desa. Kemajuan desa, atau desa maju, bukan dalam pengertian modernisasi atau westernisasi, bukan juga mengubah seluruh desa menjadi kota atau menjadi kelurahan.

Menurut teori modernisasi, tradisi adab merupakan kebiasaan kuno (kolot) dan menjadi penghambat pembangunan, sehingga harus dimodernisasi semoga membuahkan kemajuan.

Dihadapkan pada konteks kekinian, pandangan yang melemahkan adab itu tidak relevan. Kini semangat lokalisasi (hijrah ke ranah lokal) merupakan sebuah manifesto global yang setara dengan modernisasi dan globalisasi. Di tengah globalisasi, orang juga rindu dan mencari kearifan lokal yang dihadirkan oleh adat. Adat tidak lagi dipahami sebagai kebiasaan usang yang kolot, tetapi dipahami sebagai nilai-nilai dan kearifan lokal serta prakarsa gres entitas lokal yang adaptif terhadap perubahan, yang di dalamnya mengandung roh dan jati diri sebagai benteng atas gempuran globalisasi.

Karena itu ada sebuah spirit dalam UU Desa, bahwa desa harus semakin maju tetapi tidak meninggalkan tradisi, dan tetap merawat tradisi tetapi tidak ketinggalan jaman. Tradisi merupakan merupakan roh kehidupan dan sekaligus menjadi infrastruktur sosial bagi kebaikan pembangunan dan pemerintahan. 

Bruce Mitchell (1994), menurut hasil studinya wacana pembangunan desa di Bali, mengambil kesimpulan bahwa kearifan lokal dan struktur pemerintahan tradisional Bali, yang mengutamakan kerjasama, konsensus dan keseimbangan, telah menawarkan fondasi yang besar lengan berkuasa bagi pembangunan desa yang berkelanjutan.

Karena itu ekspresi, revitalisasi dan representasi tradisi lokal menjadi sangat penting dalam kegiatan pemberdayaan desa sesuai semangat UU Desa. Sedangkan frasa kemajuan desa (desa maju) sanggup dimaknai sebagai transformasi atau perubahan menuju kehidupan dan penghidupan desa yang lebih baik. Tolok ukur kemajuan desa antara lain ketersediaan sarana dan prasarana desa yang lebih baik, pelayanan dasar yang semakin baik, melek gosip dan teknologi, ekonomi yang menguat, kualitas hidup insan yang kian meningkat, dan lain-lain.

Desa maju juga paralel dengan desa besar lengan berkuasa dan desa mandiri. Desa besar lengan berkuasa dan desa mandiri, keduanya menjadi visi-misi UU Desa, merupakan dua sisi mata uang. Di dalam desa besar lengan berkuasa dan desa berdikari terkandung prakarsa lokal, kapasitas, bahkan pada titik tertinggi yakni desa yang berdaulat secara politik. Konsep desa besar lengan berkuasa senantiasa diletakkan dalam satu tarikan nafas dengan tempat besar lengan berkuasa dan negara kuat. 

Negara besar lengan berkuasa bukan berarti mempunyai struktur yang besar dan berkuasa secara mayoritas terhadap semua aspek kehidupan. Otonomi dan kapasitas merupakan tolok ukur negara kuat. Negara otonom yakni negara yang sanggup mengambil keputusan secara mandiri, sekaligus kebal dari imbas banyak sekali kelompok ekonomi politik maupun kekuatan global. 

Kapasitas negara terkait dengan kemampuan negara memakai alat-alat kekerasan dan sistem pemaksa untuk membuat law and order (keamanan, keteraturan, ketertiban, ketentraman, dan sebagainya), mengelola pelayanan publik dan pembangunan untuk fungsi welfare (kesejahteraan), serta melaksanakan perlindungan terhadap wilayah, tanah air, manusia, masyarakat maupun sumberdaya alam.

Negara besar lengan berkuasa yakni cita-cita umat manusia, kecuali insan yang membela ideologi anti negara. Manusia begitu prihatin kalau melihat negara lemah dan negara gagal. Daron Acemoglu dan James A. Robinson (2014), dalam bukunya Mengapa Negara Gagal, menegaskan bahwa negara gagal vs negara sukses (kuat, makmur) sangat tergantung pada institusi politik-ekonomi. Negara yang mempunyai institusi politik-ekonomi inklusif, cenderung berpotensi untuk menjadi negara sukses. Sementara negara dengan institusi politik-ekonomi yang bersifat ekstraktif, cenderung tinggal menunggu waktu untuk terseret ke dalam jurang kemiskinan, instabilitas politik, dan berujung pada negara gagal.

Argumen itu penting untuk memahami betapa pentingnya satu tarikan nafas antara negara kuat, tempat kuat, desa kuat, masyarakat kuat, warga kuat. Cara pandang kapasitas distribusi (power to) secara inklusif, yang berbeda dengan cara pandang akumulasi (baik akumulasi kekuasaan dan akumulasi ekonomi) yang pribadi dan ekstraktif, mengajarkan bahwa negara yang besar lengan berkuasa bukanlah terpusat pada institusi-institusi negara di pusat, tetapi juga disertai oleh tempat kuat, masyarakat kuat, institusi lokal yang kuat, desa kuat, warga yang besar lengan berkuasa (active citizen). 

Formasi inklusif tentu tidak tiba dari atas ke bawah (top down), tetapi dari bawah dan dari pinggir ibarat pesan Nawacita: membangun Indonesia dari pinggiran, dengan memperkuat tempat dan desa. Kalau negara besar lengan berkuasa belum tentu desa kuat, tetapi kalau desa besar lengan berkuasa niscaya negara akan kuat.

Apa makna desa besar lengan berkuasa dan desa mandiri? Sebagai dua sisi mata uang, antara desa besar lengan berkuasa dan desa mandiri, merupakan sebuah kesatuan organik. Dalam desa besar lengan berkuasa terdapat kemandirian desa, dan dalam desa berdikari terdapat kandungan desa kuat. Kapasitas tentu merupakan jantung dalam desa besar lengan berkuasa dan desa mandiri. Tetapi secara khusus dalam desa  kuat terdapat dua makna penting. 

Pertama, desa mempunyai legitimasi di mata masyarakat desa. Masyarakat menerima, menghormati dan mematuhi terhadap institusi, kebijakan dan regulasi desa. Tentu legitimasi bisa terjadi kalau desa mempunyai kinerja dan bermanfaat secara nyata bagi masyarakat, bukan hanya manfaat secara administratif, tetapi juga manfaat sosial dan ekonomi. 

Kedua, desa memperoleh ratifikasi dan penghormatan (rekognisi) dan kepercayaan dari pihak negara (institusi negara apapun), pemerintah daerah, perusahaan, dan lembaga-lembaga lain. Jika mereka meremehkan desa, contohnya menganggap desa tidak bisa atau desa tidak siap, maka desa itu masih lemah. Rekognisi itu tidak hanya di atas kertas sebagaimana pesan UU Desa, tetapi juga diikuti dengan perilaku dan tindakan kasatmata yang tidak meremehkan tetapi memercayai.

Desa yang demokratis serupa dengan makna “rakyat berdaulat secara politik”. Demokrasi merupakan keharusan dalam UU Desa, sekaligus keharusan dalam penyelenggaraan desa. Jika rekognisi dan subsidiaritas merupakan solusi terbaik untuk menata ulang korelasi desa dengan negara, maka demokrasi merupakan solusi terbaik untuk menata ulang korelasi antara desa dengan warga atau antara pemimpin desa dengan warga masyarakat. 

Rekognisi, subsidiaritas dan demokrasi merupakan satu kesatuan dalam UU Desa. Rekognisi dan subsidiaritas, ibarat halnya desentralisasi, hendak membawa negara, arena dan sumberdaya lebih akrab kepada desa; sementara demokrasi hendak mendekatkan terusan rakyat desa pada negara, arena dan sumberdaya. 

Tanpa demokrasi, rekognisi-subsidiaritas dan kemandirian desa hanya akan memindahkan korupsi, sentralisme dan elitisme ke desa. Sebaliknya, demokrasi tanpa rekognisi-subsidiritas hanya akan membuat jarak yang jauh antara rakyat dengan arena, sumberdaya dan negara. (Selanjutnya; Hakekat Desa)


Note: tulisan ini disadur dari materi materi training pra kiprah pendamping desa/gampong (PD/G) Aceh.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel