Menteri Marwan Beberkan 6 Kendala Uu Desa

GampongRT - Berlakunya Undang-undang No.6/2014 perihal Desa memberi impian dan peluang bagi Desa untuk membangun dan menata desa secara mandiri. Namun banyak hambatan yang menciptakan implementasi UU Desa tak berjalan optimal.

Dalam program Rembug Nasional Desa Membangun Indonesia di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Selasa (15/12), Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar memaparkan sedikitnya enam hambatan implementasi UU Desa.

Pertama, adanya fragmentasi penafsiran Undang-Undang Desa di tingkat elit yang berimplikasi pada proses implementasi dan pencapaian mandat yang tidak utuh, bahkan mengarah pada pembelokan terhadap mandat Undang-Undang Desa. (Baca: Desa Maju, Kuat, Mandiri dan Demokratis).

Kedua, di tingkat pemerintahan Desa terjadi pragmatisme yang mengarah pada hilangnya kreativitas dalam menggali sumber daya lokal di desa. Dana Desa yang seharusnya dimanfaatkan untuk meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat Desa belum dipakai secara optimal untuk menggali sumber pendapatan gres melalui investasi produktif yang dijalankan oleh masyarakat.

“Penggunaan Dana Desa masih melaksanakan replikasi atas “village project” sebelumnya yang bias pembangunan infrastruktur,” papar Menteri Marwan.

Ketiga, Menteri Marwan menyebutkan demokratisasi Desa masih menghadapi hambatan praktek administratif. Aparatur Pemda cenderung melaksanakan tindakan kepatuhan dari “Pusat” untuk mengendalikan Pemerintah Desa, termasuk dalamhal penggunaan Dana Desa. 

Padahal Undang-Undang Desa telah mengakui kewenangan yang dimiliki oleh Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut hak asal-usul, susila istiadat, dan nilai sosial budaya secara demokratis dan partisipatif. (Baca: Mempercayai Desa Dalam Berdesa)

“Demokratisasi Desa juga terkendala oleh lemahnya tingkat partisipasi yang substantif dan konstruksif dari masyarakat Desa.Pada dimensi inilah pemerintah dan pemerintah daerah dapatberperan aktif untuk membina dan memberdayakan masyarakat Desa dalam rangka meningkatkan kualitas partisipasi mereka,” tandasnya.

Permasalahan Keempat, lanjut Menteri Marwan, ialah problem penguasaan rakyat atas tanah dan sumber daya alam belum terintegrasi dan menjadi basis dari proses pembangunan dan pemberdayaan desa. Masalah struktural menyerupai konflik agraria, kepastian hak Desa atas daerahnya dan kedaulatan dalam mengatur ruang Desa belum tercermin dalam kebijakan pembangunan dan pemberdayaan Desa.

Kelima, praktek pelaksanaan Musyawarah Desa cenderung patriarki, tugas wanita mengalami marjinalisasi saat mereka memberikan tawaran yang berkaitan dengan kepentingan tubuh, nalar, dan keberlangsungan hidupnya.

“Persoalan terakhir ialah tata ruang daerah perdesaan yang harus tunduk dengan tata daerah cenderung tidak sesuai dengan aspirasi desa. Pembangunan Desa skala lokal terkendala dengan contoh kebijakan Tata Ruang Perdesaan yang berpola “top-down”. Hal ini tidak jarang menyebabkan Desa kehilangan jalan masuk sumber daya akhir kebijakan tata ruang yang belum mengakomodir aspirasi Desa,” tutupnya.

Dengan adanya aktivitas rembug nasional desa membangun Menteri Marwan berharap bias menghasilkan konsensus mengenai perilaku dan langkah terkait dengan implementasi Undang-undang desa secara lebih utuh dan substantive. (Sumber: kemendesa)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel