Dana Desa Stimulus Atasi Lonjakan Harga Pangan
GampongRT - Lonjakan harga kebutuhan pokok hampir selalu dirasakan masyarakat ketika bulan berkat datang. Selain itu, bahaya krisis pangan masih menghantui Indonesia yang hingga sekarang belum sanggup merealisasikan swasembada pangan.
Ancaman krisis pangan dan penurunan daya beli masyarakat desa ini mendapat perhatian penuh dari Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Marwan Jafar. Ia berharap pencairan dana desa sanggup menjadi stimulus mujarab untuk mengatasi bahaya krisis pangan maupun penurunan daya beli masyarakat di desa-desa.
Dilansir dari Kementerian Desa, PDTT “Daerah rawan pangan ini masuk dalam kegiatan menyebarkan kawasan tertentu yang menjadi prioritas kerja kami. Makanya kami terus mendorong semoga dana desa yang sudah turun ke kabupaten sanggup segera diserap ke desa-desa dan sanggup dikelola oleh desa," ujar Menteri Marwan, di Jakarta, Rabu (17/6).
Marwan menjelaskan, Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi mempunyai kegiatan menyebarkan kawasan tertentu yang secara khusus membidangi kawasan rawan pangan, kawasan perbatasan, kawasan rawan peristiwa dan paska konflik, serta kawasan pulau kecil dan terluar.
Dengan adanya perhatian pemerintah serta pencairan dana desa, Menteri Marwan berharap jangan hingga ada warga masyarakat desa yang mengalami kesulitan pangan. Ibadah puasa yang dilakukan masyarakat juta dihentikan terganggu akhir lonjakan harga kebutuhan pokok yang kerap terjadi ketika bulan berkat hingga lebaran.
"Kalau daya beli masyarakat turun sebab harga-harga naik, maka saya berharap dana desa sanggup menjadi stimulus untuk mengatasi itu. Sekali lagi kita berharap dana desa sanggup cepat hingga ke rekening desa, dan bagi kabupaten dan kota yang sudah memberikan amanat dana desa itu patut kita apresiasi," tegasnya.
Marwan juga berharap berkah bulan berkat sanggup dirasakan seluruh masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat desa yang selama ini tidak mendapat saluran pembangunan yang memadai. Adapun Kementerian Desa akan memegang teguh kesepakatan percepatan pembangunan terhadap 39.091 desa tertinggal dan 17.268 desa sangat tertinggal hingga tahun 2019. "Ini kesepakatan yang akan kita perjuangkan," katanya.
Indonesia sejauh ini memang masih dikategorikan sebagai negara yang rawan pangan. Belum usang ini, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) merilis data bahwa 19,4 juta penduduk Indonesia masih mengalami kelaparan. Selain itu, 28 persen belum dewasa menderita kekurangan berat tubuh dan 42 persen mengalami stunting atau bertubuh pendek sebagai imbas dari kurangnya gizi.
Adapun Pengamat Ekonomi Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Joubert Maramis mengingatkan Indonesia masih menghadapi bahaya krisis pangan sebab masih banyak kawasan yang berpotensi mengalami rawan pangan.
"Masalah swasembada pangan sudah menjadi informasi nasional, dan banyak kawasan khususnya di Indonesia Timur berpotensi mengalami rawan pangan," kata Joubert.
Wakil Presiden Jusuf Kalla sebelumnya menilai kenaikan harga sejumlah materi pangan pokok ketika menjelang datangnya bulan berkat dan lebaran lazim terjadi setiap tahun, sebab banyak warga yang membutuhkannya pada ketika yang bersamaan. "Ini memang sifat tahunan untuk harga barang-barang tertentu," kata Jusuf Kalla.[]
Ancaman krisis pangan dan penurunan daya beli masyarakat desa ini mendapat perhatian penuh dari Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Marwan Jafar. Ia berharap pencairan dana desa sanggup menjadi stimulus mujarab untuk mengatasi bahaya krisis pangan maupun penurunan daya beli masyarakat di desa-desa.
Dilansir dari Kementerian Desa, PDTT “Daerah rawan pangan ini masuk dalam kegiatan menyebarkan kawasan tertentu yang menjadi prioritas kerja kami. Makanya kami terus mendorong semoga dana desa yang sudah turun ke kabupaten sanggup segera diserap ke desa-desa dan sanggup dikelola oleh desa," ujar Menteri Marwan, di Jakarta, Rabu (17/6).
Marwan menjelaskan, Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi mempunyai kegiatan menyebarkan kawasan tertentu yang secara khusus membidangi kawasan rawan pangan, kawasan perbatasan, kawasan rawan peristiwa dan paska konflik, serta kawasan pulau kecil dan terluar.
Dengan adanya perhatian pemerintah serta pencairan dana desa, Menteri Marwan berharap jangan hingga ada warga masyarakat desa yang mengalami kesulitan pangan. Ibadah puasa yang dilakukan masyarakat juta dihentikan terganggu akhir lonjakan harga kebutuhan pokok yang kerap terjadi ketika bulan berkat hingga lebaran.
"Kalau daya beli masyarakat turun sebab harga-harga naik, maka saya berharap dana desa sanggup menjadi stimulus untuk mengatasi itu. Sekali lagi kita berharap dana desa sanggup cepat hingga ke rekening desa, dan bagi kabupaten dan kota yang sudah memberikan amanat dana desa itu patut kita apresiasi," tegasnya.
Marwan juga berharap berkah bulan berkat sanggup dirasakan seluruh masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat desa yang selama ini tidak mendapat saluran pembangunan yang memadai. Adapun Kementerian Desa akan memegang teguh kesepakatan percepatan pembangunan terhadap 39.091 desa tertinggal dan 17.268 desa sangat tertinggal hingga tahun 2019. "Ini kesepakatan yang akan kita perjuangkan," katanya.
Indonesia sejauh ini memang masih dikategorikan sebagai negara yang rawan pangan. Belum usang ini, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) merilis data bahwa 19,4 juta penduduk Indonesia masih mengalami kelaparan. Selain itu, 28 persen belum dewasa menderita kekurangan berat tubuh dan 42 persen mengalami stunting atau bertubuh pendek sebagai imbas dari kurangnya gizi.
Adapun Pengamat Ekonomi Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Joubert Maramis mengingatkan Indonesia masih menghadapi bahaya krisis pangan sebab masih banyak kawasan yang berpotensi mengalami rawan pangan.
"Masalah swasembada pangan sudah menjadi informasi nasional, dan banyak kawasan khususnya di Indonesia Timur berpotensi mengalami rawan pangan," kata Joubert.
Wakil Presiden Jusuf Kalla sebelumnya menilai kenaikan harga sejumlah materi pangan pokok ketika menjelang datangnya bulan berkat dan lebaran lazim terjadi setiap tahun, sebab banyak warga yang membutuhkannya pada ketika yang bersamaan. "Ini memang sifat tahunan untuk harga barang-barang tertentu," kata Jusuf Kalla.[]