Sejarah Pembentukan Jkma Aceh

Wilayah Aceh terletak di bab Utara Pulau Sumatera seluas 5.736.557 hektare. Populasi penduduk Aceh berdasarkan data tahun 2011 yakni 4,597,308 jiwa. Mereka hidup dan tinggal mulai dari daerah-daerah pesisir hingga ke tempat pegunungan dan hutan. Pada tahun 1964, Lebar membagi populasi Aceh ini ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan kondisi geografisnya, yaitu ureung gunong (kelompok masyarakat yang hidup di wilayah dataran tinggi atau pegunungan) dan Ureung Barôh (kelompok masyarakat yang hidup di dataran rendah).

Dalam konteks sosial, budaya, dan sejarah Aceh, keberadaan masyarakat sopan santun sudah diakui semenjak tempo dulu. Secara umum mereka sering kali menyebut diri mereka sebagai ureueng Aceh (orang Aceh). Lebih khusus, terdapat beberapa kelompok etnik/adat dengan identitas dan keberadaan sesuai sejarah keturunan, unit-unit wilayah, dialek atau bahasa ibu, sosial dan budaya, hukum-hukum tradisional, yang setiap kelompok komunitas ini merupakan kelompok otonom dan independen dalam mengatur komunitasnya sebagaimana halnya pengelolaan sumber daya alam.


Unit sosial politik terkecil dari kelompok sopan santun ini disebut gampông (setara dengan kampung/desa) dan dikepalai oleh seorang kechik atau geuchik. Beberapa gampông biasanya tergabung dalam unit pemerintahan yang lebih besar. Unit lebih besar itu disebut kemukiman. Kemukiman dikepalai oleh seorang imam mukim atau dalam masyarakat Aceh disebut imuem mukim. Baik di tingkat gampông dan tingkat kemukiman, terdapat institusi sopan santun yang berfungsi dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik. Selain itu, terdapat aturan sopan santun yang juga otonom di setiap unit kewilayahan.

Dalam konteks politik dan aturan nasional, kelompok etnis ureung Aceh dan juga hak-hak mereka secara turun temurun telah diakui oleh Negara Indonesia sebagai “Masyarakat Hukum Adat”’. Namun, pembangunan sosial politik di Provinsi Aceh serta kebijakan dan praktik pembangunan di Aceh tidak menghargai, menghormati, maupun mengakui keberadaan masyarakat sopan santun Aceh tersebut.

Sumber daya alam yang telah dipraktikkan secara bebuyutan dan dimiliki sesuai dengan aturan sopan santun telah dieksploitasi sedemikian rupa. Di lain pihak hak-hak sosial ekonomi masyarakat sopan santun tidak dihormati oleh perusahaan yang didukung kebijakan pemerintah. Peran dan otoritas kepemerintahan sopan santun yang ada selama ini telah dikooptasi dan dibatasi, sedangkan hak untuk mengeluarkan pendapat dan hak untuk berkumpul dibatasi sedemikian rupa sehingga hak-hak sosial politik serta hak-hak ekonomi sosial budaya mereka terkesan diabaikan atau tidak diperhatikan. Komunitas-komunitas masyarakat sopan santun menjadi korban kekerasan bersenjata dan kebrutalan tindakan militeristik yang telah menciptakan mereka menjadi kehilangan saluran terhadap pengelolaan sumber daya alam, menjadi korban peristiwa banjir tahunan, pencemaran dan imbas lainnya sebagai konsekuensi dari acara pembangunan serta kerusakan lingkungan hidup.

Konflik sosial politik di Aceh telah memakan korban yang sangat besar. Berdasarkan data tahun 2004, selama operasi militer, 340 masyarakat sipil telah menjadi korban, 140 terluka dan sekitar 23.000 orang harus menjadi pengungsi. Sekitar 525 sekolah terbakar dan 60.000 murid sekolah ketika ini harus terabaikan, ditambah lagi peristiwa maha dahsyat 26 Desember 2004, keadaan masyarakat sopan santun Aceh semakin memprihatinkan.

Beberapa kasus kasatmata yang harus dihadapi oleh komunitas masyarakat sopan santun di antaranya:

- Konflik antara penduduk gampong yang bermukim di sekitar zona industri Lhokseumawe dengan perusahaan, menyerupai PT Arun, PT Exxon Mobil, PT Kertas Kraft Aceh, PT ASEAN Aceh Fertilizer (AAF) dan PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), telah mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup dan menciptakan masyarakat kehilangan sumber penghidupannya.

- Konflik antara masyarakat sopan santun dengan perusahaan penebangan kayu PT Hargas Industri Timber di Tapak Tuan, Aceh Selatan. Perusahaan tersebut mendapat konsesi untuk melaksanakan penebangan hutan. Selain mengeksploitasi kayu batangan, perusahaan itu juga melaksanakan teror kepada masyarakat yang memprotes acara perusahaan dan aben pondok-pondok masyarakat. Mereka juga menuduh masyarakat sebagai pencuri kayu.

- Konflik antara kelompok masyarakat sopan santun di Sawang, Aceh Utara, dengan perusahaan PT Kertas Kraft Aceh yang dimiliki oleh Bob Hasan yang didirikan pada tahun 1982. Perusahaan tersebut juga dimiliki oleh Sigit Harjojudanto serta Ibnu Sutowo dan A.R. Ramli, dua orang mantan petinggi Pertamina.

- Konflik antara kelompok masyarakat sopan santun di Takengon, Aceh Tengah, dengan perusahaan penebangan hutan PT Halas Helau. Perusahaan ini mempunyai konsesi seluas 330.000 hektare dan juga mempunyai konsesi untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 175.000 hektare, serta HTI untuk Takengon Pulp and Paper Ltd., seluas 166.500 hektare. Perusahaan ini dimiliki oleh pengusaha asal Aceh, Ibrahim Risyad dan Gunadharma Hartarto.

Pendirian JKMA Aceh

Pada tanggal 31 Januari 1999 di Ujong Bate, Aceh Besar, telah berkumpul para perwakilan masyarakat sopan santun dari 50 gampông di Aceh. Mereka yakni kelompok-kelompok masyarakat sopan santun yang sejauh ini melaksanakan usaha bagi diakuinya hak-hak mereka yang selama ini diabaikan dalam proyek-proyek pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam, dan juga telah menjadi korban dari kebijakan politik pemerintahan desa yang mengkooptasi dan mendepolitisasi tugas dan fungsi sistem institusi kepemerintahan adat. Pertemuan tersebut merekomendasikan dan mendeklarasikan berdirinya organisasi JKMA yang merupakan payung pergerakan untuk menyatukan usaha masyarakat sopan santun di Aceh. Semula JKMA merupakan kependekan dari Jaringan Kerja Masyarakat Aceh, tetapi dalam diskusi langkah-langkah kerja yang diadakan melalui kongres seluruh masyarakat sopan santun Aceh I, kependekan JKMA diubah menjadi Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh.

Gerakan dan usaha JKMA Aceh tidak sanggup dipisahkan dari gerakan masyarakat sopan santun di tingkat nasional dan internasional. Di tingkat nasional JKMA Aceh menjalin aliansi strategis dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), tetapi pada Kongres AMAN III di Pontianak tanggal 17-21 Maret 2007 JKMA Aceh menyatakan diri keluar dari keanggotaan AMAN, dikarenakan perbedaan visi dan misi. Dan di tingkat internasional JKMA Aceh bekerja sama dengan Assembly of First Nations (AFN) Canada (masyarakat sopan santun Kanada).

Logo JKMA Aceh

Logo JKMA Aceh mempunyai makna, yaitu: Warna hijau menyiratkan keagamaan, warna kuning menyiratkan kebangsawanan, warna merah menyiratkan patriotisme, warna putih menyiratkan kesucian, warna hitam menyiratkan kerakyatan.

Gabungan warna-warna merupakan simbol bersatunya ulama, pejabat, para pejuang dan rakyat di dalam satu wadah untuk menuju ke hubungan sosial antar insan dan hubungan antara insan dan penciptanya. (Sumber: www.jkma-aceh.org)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel