Mempercayai Desa Dalam Berdesa

Dengan lahirnya UU Desa No 6 wacana Desa, niscaya akan berubah pula visi dan misi, arah pembangunan desa hingga pada tatacara mengelola desa dengan regulasi yang baru. 

Pertanyaan yang sering muncul, dimananya hakekat yang paling fundamental perubahan itu terjadi? Bila disandingkan dengan dua undang-undang yang lahir pada abad reformasi, yaitu UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004. 

Untuk menjawab pertanyaan diatas, tentu membutuhkan bacaan dan rujukan yang sangat panjang. Mulai dari memahami dasar konstitusi, payung aturan yang memayungi desa, visi dan misi berdesa, asas berdesa, kedudukan desa dalam bernegara, dan lain-lainya sebagainya. (Baca: Regulasi Desa Baru)

Namun, secara garis besar perubahan yang sangat fundamental antara regulasi "Desa Lama dengan Desa Baru" dapat dimaknakan bahwa konstitusi telah mengembalikan posisi desa kepada jati dirinya dengan mengakui hak-hak dasarnya yang telah hidup dan mengakar di masyarakat Desa, sebelum NKRI Merdeka. 

Dalam perspektif lama, keberadaan Desa dilindungi oleh konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat 7. Sedangkan, dalam perspektif yang baru keberadaan Desa dilindungi oleh konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 B ayat 2 dan Pasal 18 ayat 7.

Selanjutnya, dilihat dari sisi payung hukum, desa usang keberadaannya dipayungi oleh UU No 32 tahun 2004 dan PP Nomor 72 tahun 2005. Sedangkan dalam regulasi yang baru, keberadaan desa dipayungi oleh UU No 6 Tahun 2014 dan PP 47 perubahan atas PP 43 wacana Peraturan Pelaksana UU Desa.

Dilihat dari sisi asas pengaturan desa, desa usang sangat kental dengan Desentralisasi dan Residualitas. Kedudukan Desa hanya sebatas sebagai organisasi pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota (local state government).

Sedangkan asas yang baru, pengaturan desa meganut asas Rekognisi dan Subsidiaritas. Dengan asas yang gres ini, desa diakui sebagai pemerintahan masyarakat, hybrid antara self governing community dan local self government.

Dengan asas rekognisi dan subsidiaritas, desa sanggup mengatur dan mengurus dirinya menurut hak asal-usul yang menempel pada dirinya (hak asal usul) dan kewenangan-kewenangan berskala lokal desa, serta kewenangan lain-nya yang diberikan oleh pemerintah diatasnya.

Bersamaan dengan diterapkannya azas rekognisi dan subsidiaritas, UU desa diperlukan akan membawa perubahan dalam prosedur anggaran Pemerintah, Pusat dan Daerah, Masuk Desa. 

Dengan kewenangan Desa yang sangat besar, apakah semua kita bisa, tulus dan ikhlas; "Mempercayai Desa dalam Berdesa"? Biarlah waktu yang menjawabnya...! 

Bersambung.....

Keterangan Foto: Pelatihan Pra Tugas Pendamping Desa/Gampong (PD/G) Aceh di Hottel Mekkah.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel