Dana Desa Dan Kala Depan Pertanian


Pada 2016 ini, menyerupai disampaikan Gubernur Zaini Abdullah, Aceh menerima alokasi dana desa (ADD) sebesar Rp 3,8 triliun, yang diperuntukkan bagi 6.474 gampong yang tersebar di 23 kabupaten/kota (Serambi, 4/11/2015). Kita tentu berharap dengan alokasi dana desa yang begitu besar, tidak menciptakan para pemangku jabatan atau aparatur gampong, semisal keuchik (kepala desa) selaku pemegang amanah tertinggi dalam pemerintahan gampong terjerat dengan masalah aturan di kemudian hari.

Dana tersebut menjadi beban berat sekaligus juga modal berharga bagi pembangunan di tingkat gampong kalau dikelola dengan baik dan sempurna sasaran. Namun kalau pengelolaan tidak menurut mekanisme yang telah ditetapkan, maka dana besar itu justru akan menjadi musibah. Seperti kasus yang terjadi di beberapa tempat ketika pertanggungjawaban ADD 2015 lalu. Kita ketahui, di gampong, dana yang bergulir biasanya hanya sekitar puluhan juta, sehingga tidak terlalu memusingkan mereka dalam mengelolannya.

Tujuan ADD menyerupai yang tercantum dalam Permendes No.5 Tahun 2015 perihal Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015, pada Pasal 5 dinyatakan bahwa dana tersebut sanggup dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup insan serta penanggulangan kemiskinan, melalui pengembangan potensi ekonomi lokal (poin c). Pada Pasal 7 ditambahkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 aksara b dan aksara c ADD bisa dimanfaatkan untuk mendukung sasaran pembangunan sektor unggulan seperti: a) mendukung kedaulatan pangan; b) mendukung kedaulatan energi dan c) mendukung pembangunan kemaritiman dan kelautan.

BerdayakanPotensi Desa

Dari beberapa poin yang disebutkan di atas memperlihatkan bahwa, kesempatan desa untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakatnya sangat terbuka lebar dengan adanya anutan dana ADD. Pemerintah menawarkan wewenang penuh kepada otoritas desa untuk memberdayakan potensi lokal yang dimiliki desa.

Potensi besar

Aceh mempunyai potensi besar di sektor pertanian, perikanan dan kelautan. BPS (2014) melaporkan, sektor pertanian masih merupakan bidang yang menawarkan porsi paling besar dalam peresapan tenaga kerja di Indonesia termasuk Aceh, yakni 46,52%, diikuti sektor jasa 20,72%, dan perdagangan 17,06%, sisanya sektor industri pengolahan 4,05% dan lainnya 11,64%.
Dari data di atas sanggup kita lihat bahwa sektor pertanian masih menjadi tulang punggung perekonomian bagi masyarakat Aceh ketika ini, bahkan hingga ke depan. Maka sudah sepatutnya pemerintah menimbulkan pertanian sebagai leading sector dalam pembangunan. Terlebih semenjak 1 Januari 2016, Indonesia termasuk dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang membuka pasar seluas-luas bagi setiap negara yang tergabung dalam lembaga tersebut.

Permasalahan utama sektor pertanian hingga hari ini masih sangat kompleks mulai dari hulu hingga hilir. Di hulu, bulat yang sulit diselesaikan ialah luas lahan yang sempit (0,5 ha/petani), status kepemilikan lahan, sistem akal daya masih tradisional, penggunaan benih non akta (tanaman pangan, perkebunan, hortkultura). Sedangkan di hilir, soal ketersediaan modal dalam perjuangan tani. Hingga sekarang petani sulit mengakses modal untuk membiayai perjuangan taninya, lembaga keuangan semisal bank konvensional enggan menawarkan kredit kepada petani alasannya ialah pertanian masih dianggap sebagai sektor yang tidak menjanjikan dan penuh risiko (high risk).

Dengan adanya UU No.6 Tahun 2014 perihal Desa, semua pihak berharap dana desa sanggup menjadi solusi dalam mengatasi aneka macam dilema yang dihadapi petani, terutama masalah modal sanggup teratasi sehingga ketergantungan mereka kepada pemodal (tauke-tauke) di gampong sanggup diminimilisir. Dengan dana tersebut diharapkan bisa menetapkan sistem patron-client antara tuan tanah-petani yang sudah terjalin semenjak masa kolonial dan sanggup mengangkat kembali posisi tawar (bargaining position) petani atas hasil perjuangan taninya. Mark Granovetter (2013) menyebutkan, kelompok-kelompok sosial tradisional (petani) sangat menderita dan sulit untuk bangun alasannya ialah ketiadaan modal, sehingga menimbulkan mereka sulit untuk membangun jaringan sosial antarmasyarakat.

Tanpa sumber daya insan (SDM) yang mumpuni, dana desa yang melimpah tidak akan mempunyai kegunaan bagi pembagunan, bahkan akan menjadi bumerang bagi pengelola di gampong. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota harus menyiapkan seni manajemen untuk merealisasikan dana tersebut secara efektif. Hal ini tentu dengan menyiapkan pendamping yang benar-benar berkompeten di bidangnya (expert), tanpa intervensi dari pihak manapun dalam proses perekrutannya dan bukan alasannya ialah faktor “ureung dalam”, sehingga mereka diluluskan. Sebagai garda terdepan dalam menyukseskan jadwal pemberdayaan, mereka dituntut untuk bekerja ekstra dan memahami kebutuhan riil masyarakat.

Selain perekrutan pendamping yang mempunyai kompetensi tinggi, pemerintah juga harus meningkatkan SDM Gampong terutama para pemangku jabatan menyerupai Keuchik dan perangkat desa lainnya yang terlibat secara pribadi dalam pembangunan, termasuk juga masyarakat umum lainnya. Untuk kelancaran jadwal pembangunan, dimensi yang juga perlu diperhatikan ialah partisipasi masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawalan pembangunan.

Partisipasi tersebut tak hadir dengan sendiri tanpa adanya modal sosial yang besar lengan berkuasa di kalangan masyarakat. Seperti disampaikan Fukuyama (1999), modal sosial masyarakat merupakan indikator suksesnya satu jadwal pembangunan dan sebagai penyangga yang besar lengan berkuasa dalam pelaksanaan pembangunan. Modal sosial yang dimaksud adalahberfungsinya masyarakat modern dalam menawarkan tugas pada pembangunan ekonomi, sosial, politik dan demokrasi.

Dalam beberapa tahun terakhir, modal sosial pada masyarakat Aceh semisal sifat kebersamaan atau kepercayaan (trust) termasuk dalam gotong-royong semakin renggang. Banyak hal yang mempengaruhinya menyerupai sikap lingkungan, apalagi pascatsunami di Aceh. Ditambah lagi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap legislatif dan administrator yang kian pudar, akhir tingkah mereka yang feodalistik yang mengecewakan masyarakat kelas bawah, sehingga modal sosial yang dimilikipun mulai terkikis dan cenderung materialistik.

Upaya strategis

Untuk memantapkan Gerakan Desa Membangun yang dicanangkan pemerintah melalui Kementerian Desa, Transmigrasi dan Daerah Tertinggal, dibutuhkan beberapa upaya strategis: Pertama, adanya upaya responsif. Upaya responsif ialah kepekaan atau mempunyai daya tanggap terhadap aspirasi atau kebutuhan warga masyarakat sebagai basis dalam perencanaan kebijakan pembangunan desa. Kemampuan ini untuk memasukkan masyarakat dalam aktivitas perencanaan pembangunan desa. Jangan hingga perencanaan desa dilakukan atas kepentingan elite desa. Penting menawarkan porsi lebih kepada masyarakat, terutama dalam merencanakan kebutuhannya dengan mekanisme yang diatur, di sinilah pondasi kemandirian desa dibangun.

Kedua, memperkuat kembali struktur kelembagaan desa termasuk didalamnya kelembagaan kelompok tani yang menjadi sektor unggulan. Susunan kelembagaan masyarakat dan struktur sosial mempunyai tugas sentral dalam pembangunan. Perubahan sikap sosial dan norma-norma di masyarakat sangat diharapkan dalam mendukung keberlangsungan jadwal pembangunan. Dalam menguatkan kembali kelompok tani dibutuhkan lembaga keuangan mikro dengan bunga rendah (soft loan) yang tidak mencekik petani. Dengan adanya lembaga keuangan mikro ditingkat petani sanggup menyelamatkan petani dari sistem kapitalistik dan untuk menghadang serta mengusir kapitalisme masuk ke desa yang akan merusak tatanan ekonomi petani.

Ketiga, penerapan teknologi info sempurna guna. Dalam masa teknologi info sampaumur ini, desa mau tak mau harus mengikuti perkembangan terutama penerapan sistem komputerisasi dalam tertib administrasi. Dalam meningkatkan produktivitas sektor unggulan menyerupai pertanian pun perlu memanfaatkan teknologi sempurna guna, tentu dengan tetap memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan generasi yang akan datang.

Dan, terakhir, pentingnya jaringan (network) dan relasi. Jaringan ialah kemampuan pemerintah desa dan warga masyarakat membuatkan korelasi dengan pihak-pihak luar dalam rangka membuatkan perekonomian desa. Asosiasi kepala desa atau lembaga pasar, misalnya, bisa dipakai sebagai wadah untuk membangun kolaborasi antardesa. Sehingga produk yang dihasilkan di desa, ada jaminan pasar dan tidak menjadi barang “penyumbat parit” menyerupai kasus di beberapa tempat ketika melimpahnya produk pertanian ketika panen raya. Semoga!

Oleh Husaini Yusuf, S.P
Mahasiswa jadwal Magister jurusan Sosiologi Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor (IPB) Bogor. Email: hussainiyussuf85@gmail.com | Sumber: Serambi Indonesia

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel