Mental Usang Dalam Memperlakukan Desa

Para pihak di luar desa selama ini mempunyai mental (cara pandang, perilaku dan tindakan) usang dalam memperlakukan desa, bahkan masih bertahan hingga sekarang. Setidaknya ada empat cara pandang (perspektif) yang keliru dalam memandang desa.

Pertama, perspektif yang melihat desa sebagai kampung halaman. Ini muncul dari banyak orang yang telah merantau jauh dari desa kampung halamannya, baik melalui jalur urbanisasi, transmigrasi atau mobilitas sosial.

Para petinggi maupun orang-orang sukses di kota-kota besar begitu besar hati menyebut dirinya “orang desa” dan besar hati bernostalgia dengan cara bercerita perihal kampung halamannya yang tertinggal dan bersahaja.

Fenomena pulang kampung lebaran yang hingar bingar, tetapi juga membawa korban jiwa yang tidak sedikit, setiap tahun juga menjadi teladan terkemuka perihal nostalgia para perantau terhadap kampung halamannya dan sanak saudaranya. Cara pandang ini tidak salah. Tetapi di balik cara pandang personal itu tentu ada yang salah dalam pembangunan, mengapa urbanisasi terus mengalir, mengapa pembangunan bias kota, mengapa desa tidak bisa memperlihatkan kehidupan dan penghidupan.

Kedua, perspektif desa sebagai wilayah. Perspektif ini tidak mengenal desa, melainkan wilayah/kawasan perdesaan, sebagai area untuk pelayanan publik dan pembangunan ekonomi. Pendekatan ini mengabaikan entitas lokal menyerupai desa yang berada dalam wilayah perdesaan. Karena itu masuk akal jikalau setiap jenis pembangunan daerah perdesaan mulai dari industri, perkebunan, pertambangan dan lain-lain selalu menghadirkan konflik antara desa dengan pemerintah atau dengan swasta.

Ketiga, perspektif desa sebagai pemerintahan atau unit administratif. Perspektif ini menyampaikan bahwa pemerintahan mengalir secara hirrakhis dan top down dari tangan Presiden hingga pada kepala desa. Desa ialah unit pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas adminitratif dan membantu program-program pemerintah yang masuk ke desa. Pendekatan yang mengutamakan training dan kontrol ini tidak memperkuat desa melainkan malah memperlemah desa dan membuat ketergantungan desa.

Keempat, perspektif sektoral atas desa. K/L secara sektoral menempatkan sebagai hilir, lokasi dan obyek proyek. Ini yang disebut dengan pendekatan mutilasi. Pendekatan ini memandang desa sebagai masyarakat tanpa pemerintah dan pemerintahan. Cara pandang ini yang melahirkan program-program pemberdayaan masuk ke desa dengan membawa Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat, seraya mengabaikan dan meminggirkan institusi desa.

Keempat cara pandang itu tidak mempunyai sebuah imajinasi perihal desa sebagai “negara kecil”. Desa bukan sekadar kampung halaman, pemukiman penduduk, perkumpulan komunitas, pemerintahan terendah dan wilayah administratif semata. Desa laksana “negara kecil” yang mempunyai wilayah, kekuasaan, pemerintahan, institusi lokal, penduduk, rakyat, warga, masyarakat, tanah dan sumberdaya ekonomi. Setiap orang terikat secara sosiometrik dengan masyarakat, institusi lokal dan pemerintah desa.

Keempat perspektif yang tidak utuh memandang desa itu juga menghadirkan perilaku dan tindakan yang melemahkan desa. Sikap yang tidak percaya, meremehkan dan melecehkan desa sangat lebih banyak didominasi selama ini. Desa tidak dihormati dan tidak dihargai. Alam pikiran dan sistem pemerintahan yang sudah usang bersifat sentralistik dan birokratis yang membuat pemerintah supradesa dan orang luar tidak menghargai desa. Orang luar memandang desa dengan sebelah mata. Desa dianggap bukan sebagai “aset ekonomi” yang menjanjikan, sebaliknya desa dianggap sebagai “beban politik” yang sarat dengan banyak persoalan dan membikin kewajiban berat yang merepotkan pemerintah.

Pemerintah kabupaten cenderung tidak memperlihatkan kepercayaan kepada desa. Banyak kabupaten yang hingga kini tetap enggan menetapkan kewenangan (asal seruan dan lokal) dan keuangan (ADD) kepada desa sebab didasari oleh perilaku yang tidak percaya kepada desa. Ketika ADD digulirkan pada tahun 2005 dan dana desa yang kini sedang dilaksanakan, banyak pihak menyambutnya dengan sinis. Mereka menganggap desa itu bodoh, sambil melecehkan desa dengan argumen desa tidak siap atau tidak mampu. Mereka khawatir dan membikin takut dengan kata-kata korupsi dan penjara. “Banyak gubernur dan bupati/walikota yang masuk penjara, apalagi kepala desa”, demikian argumen yang sering muncul di media massa.

Argumen perihal desa tidak siap, desa tidak mampu, desa tergantung, dan argumen-argumen sejenisnya merupakan bentuk-bentuk cara pandang defisit dan pesimis terhadap desa. Cara pandang ini bukan sebatas wacana tetapi juga melahirkan tindakan dan kebijakan pemerintah dalam memperlakukan desa. Pemerintah mempunyai bermacam-macam proyek pemberdayaan yang masuk ke ranah desa, tetapi tidak memanfaatkan dan tidak memperkuat institusi desa, bahkan mengabaikan (exclusion) terhadap desa. Pemerintah membentuk institusi-institusi gres secara instan melalui kelompok-kelompok masyarakat, termasuk kelompok perempuan, sebagai peserta manfaat dan susukan (wadah) bagi pelaksanaan proyek.

Argumen “tidak siap” itu sesungguhnya ironis. Mengapa? Kalau desa tidak siap, kemudian apa yang selama ini dikerjakan pemerintah untuk desa. Jangan-jangan pemerintah selama ini hanya bisa main perintah, menipu, dan memanipulasi desa. Jika hingga kini para pejabat selalu bicara “tidak siap” sebagai stigma terhadap desa, berarti mereka memang pantas dikatakan tidak bertanggungjawab mengelola pemerintahan.

Kekhawatiran dan ketidakpercayaan maupun perilaku yang meremehkan desa itu diikuti dengan kontrol birokratis-administratif yang ketat. Rezim keuangan membuat pengaturan dan petunjuk teknis secara detail dan ketat perihal penggunaan DD dan ADD biar kedua jenis dana ini dikelola desa secara efektif dan akuntabel, atau tidak terjadi kebocoran.

Tetapi pengaturan yang detail dan ketat yang didasari oleh kekhawatiran dan ketidakpercayaan ini sungguh bertentangan dengan asas rekognisi dan subsidiaritas, sehingga bisa menjadi belenggu yang mematikan prakarsa dan kewenangan lokal. Orang desa hanya dijadikan operator mesin manajemen keuangan, serta menggiring kepala desa sibuk dengan mesin itu, sehingga kesempatan untuk berpikir perihal desa dan rakyat menjadi berkurang.
"Jika selama ini kita telah keliru dalam memandang Desa. Maka saatnya kita harus mengakui dan menghomati eksistensi desa, asal-usul desa, prakarsa desa, karya desa dan lain-lain dengan mental baru".
Disadur dari Bahan Bacaan Revolusi Mental Berdesa. (Baca: Mental Baru dalam Memperlakukan Desa). 

Foto ilustrasi grt

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel