Menggunting Dana Ke Desa

Akhirnya dana desa dipotong Rp 2,8 triliun (Kompas, 27/8), padahal beberapa bulan kemudian sempat kalis dari pemotongan APBN Perubahan 2016. Dibandingkan rencana Rp 46,7 triliun, dana tergunting 6 persen. Konsekuensinya, 4.482 desa batal mendapat dana senilai Rp 625 juta per desa.

Hal yang paling merisaukan, pemerintah tidak merasa memotong dana desa, tetapi meyakini bahwa 6 persen desa itu tidak bakal bisa menyiapkan prasyarat dan laporan pencairannya. Secara ironis, hal ini bisa dimaknai pemerintah tak memercayai kapasitas pemerintah desa sekaligus menafikan sendiri manfaat training pegawanegeri desa oleh Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT).

Sebagai catatan, pemotongan anggaran kementerian diperkirakan turut menghilangkan rencana training dan pendampingan seluruh desa setidaknya Rp 1 triliun. Momentum mengenaskan ini sebaiknya sudah cukup melecut desa untuk mengalihkan fokus: dari menadah transfer dana sentra dan tempat menjadi sanggup berdiri diatas kaki sendiri mencipta investasi dari dalam desa.

Efek bagi Desa

Rasionalisasi anggaran menegaskan kekhawatiran pegawanegeri desa setahun terakhir, yaitu mungkinkah dana desa digelontorkan secara kontinu sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 perihal Desa? Mengingat penghitungannya terpaut dengan 10 persen transfer dana sentra ke daerah, setiap guncangan pada keuangan tempat berefek domino pada dana desa.

Tanpa pemotongan dana transfer ke tempat pun, anggaran dana desa pada 2015 sebesar Rp 20,7 triliun dan anggaran pada 2016 sebanyak Rp 46,7 triliun gres memenuhi 32 persen, kemudian 64 persen dari mandat UU.

Luput dari penghitungan yakni turut melemahnya penghasilan tetap pegawanegeri desa. Honor tetap itu diperoleh dari 30 persen transfer kabupaten kepada desa. Meskipun surat edaran Kemendagri menyarankan 10 persen dari Rp 644 triliun dana transfer pemerintah sentra ke tempat pada 2015, kenyataannya transfer alokasi dana desa (ADD) itu hanya Rp 33 triliun atau 5 persen. Alhasil, penghasilan tetap seluruh pegawanegeri desa hanya Rp 11 triliun. Sayang, dana ke tempat kali ini dipotong Rp 70 triliun sehingga berpeluang menurunkan penghasilan tetap pegawanegeri desa Rp 3,5 triliun. Ini senilai batalnya honor bagi pegawanegeri pada 23.810 desa.

Tanpa honor dari ADD, keberlangsungan pemerintahan desa sanggup menggerogoti dana desa (DD), melalui pengalihan Rp 147 juta tiap desa guna menggaji aparat. Namun, Peraturan Menteri Desa PDTT No 8/2016 mengharamkan penggunaannya bagi bidang pemerintahan dan pembinaan kemasyarakatan. Artinya, hukum ini melarang pengalokasian dana desa untuk honor kepada pegawanegeri desa dan tubuh permusyawaratan desa. Maka, penggunaan secara tidak sah menerbitkan perkara somasi korupsi kepada pegawanegeri desa atau mandeknya pemerintahan faktual terbawah ini.

Pengguntingan anggaran ke desa perlu direspons dengan surat edaran Mendagri semoga pemerintah provinsi dan kabupaten bergotong royong menyelenggarakan training bagi pegawanegeri desa. Relevansi training berkulminasi karena 14 persen kepala desa berikut perangkatnya gres dilantik pada 2015, sementara 29 persen kepala desa segera diganti tahun ini. Pemerintahan gres terang membutuhkan training administrasi penyelenggaraan desa, penyusunan peraturan perundang-undangan yang sah, deliberasi musyawarah desa, dan alokasi keuangan desa.

Menteri Desa PDTT perlu merevisi peraturan No 8/2016 perihal Penggunaan Dana Desa sekalipun hukum itu sudah mengubah peraturan No 21/2015. Aturan mutakhir sebaiknya justru menghapus pembatasan penggunaan dana desa oleh menteri, tetapi dialihkan kepada kebebasan keputusan musyawarah desa. Akuntabilitas rancangan dan realisasi penggunaan dana desa perlu ditetapkan dalam peraturan desa sehingga niscaya dibahas bersama tubuh permusyawaratan desa serta wajib dipublikasikan kepada warga.

Investasi Desa

Dalam Peraturan Mendagri No 113/2014, investasi desa terselip sebagai komponen penyertaan modal tubuh perjuangan milik desa (bumdes) dan kolaborasi desa. Kalau kapasitas alokasi anggaran permodalan terlalu rendah, kolaborasi antardesa perlu ditempuh guna mengakumulasi modal bersama. Namun, bila sama sekali tidak bisa menganggarkan biaya permodalan, kolaborasi dengan pihak ketiga diharapkan untuk mengapitalisasi aset semoga produktif mengisi kas desa.

Menurut Nata Irawan, Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kemendagri, nilai aset tak bergerak tiap desa mencapai Rp 5,4 miliar. Aset meliputi lahan pertanian, tanah tidak produktif, gedung pertemuan, irigasi, dan jalan yang dibangun desa.

Penyertaan modal pemerintah desa dalam jumlah besar sebaiknya disalurkan ke bumdes. Lembaga ini sanggup mewadahi hasil retribusi lahan pertanian berikut irigasinya, parkir tempat wisata, penyewaan gedung dan perangkat pesta. Keuntungan bumdes memasok pendapatan orisinil desa.

Saat ini, Nata Irawan mencatat, penyertaan modal kurang dari 1 persen anggaran desa sehingga resiliensi keuangan desa terlalu rapuh menghadapi tekanan fiskal dan moneter. Perlu penguatan daya saing melalui penyertaan modal secara sedikit demi sedikit berdasarkan tangga 2,5 persen, 5 persen, 10 persen, dan terakhir 20 persen. Dengan tetap menjaga politik deliberatif, itulah tahapan investasi desa menuju tinggal landas.

DITULIS OLEH 
IVANOVICH AGUSTA, SOSIOLOG PEDESAAN IPB BOGOR. 

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/09/02/Menggunting-Dana-ke-Desa

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel